Sabtu, 04 Agustus 2012

RUU PT dan Pendidikan Tinggi Indonesia

RUU PT Dan Pendidikan Tinggi Indonesia
 
Oleh Sumadi PS
 
Sejarah pendidikan nasional Indonesia memang tidak terlepas dari dikte yang dilakukan pemerintahan asing. Pada jaman pemerintahan Belanda, sejak dijalankannya program politik etis seiring pemberlakuan kebijakan perundang-undangan Pemerintah kolonial Belanda yang mengatur soal Agraria yang dikenal dengan Agrarische Weet. Pada masa itu, pendidikan hanya diperuntukan bagi  golongan "Priyayi" atau bangsawan yang selain untuk mengakomodir kepentingan Bangsawan lokal yang senantiasa memberikan pelayanannya terhadap pemerintah Belanda. Hal tersebut juga ditujukan untuk menegaskan kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia, serta untuk memenuhi kebutuhan tenaga administratif diperusahaan-perusahaan perkebunan milikkolonial Belanda dan Negeri-Negeri asing lainnya.
Kebijakan pendidikan Indonesia saat ini yang tidak terlepas dari kepentingan Negara- Imperialisme seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia dan Cina. Mereka menjadikan pendidikan sebagai salah satu sektor jasa yang mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda. Selain itu, pendidikan dijadikan sebagai "corong propaganda" yang mempromosikan kepentingan Negara-Negra Imperialisme. Kurikulum pendidikan yang ditujukan untuk mempertahankan dominasi mereka atas monopoli sumber daya alam, tenaga kerja murah, serta pasar dan menjadi sasaran investasi bagi keserakahan mereka.Pada tahun 1999, pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran hutang sebesar US $ 400 juta dari IMF (dana moneter internasional), yang kemudian melahirkan penandatanganan kesepakatan Letter of Inten/LoI. Dalam kesepakatan tersebut pemerintah Indonesia diharuskan melakukan pencabutan subsidi publik termasuk kesehatan dan pendidikan. Kesepakatan inilah yang kemudian melatar belakangi lahirnya PP. 61 Tahun 1999 tentang BHMN perguruan tinggi (Menjadikan Perguruan Tinggai Badan Hukum Milik Negara) yang kemudian diuji cobakan di 7 kampus negri besar di Indonesia yaitu; UI, ITB, IPB, UPI, USU, UGM dan UNAIR.
 
Tahun 2001 pemerintah Indonesia kembali meratifikasi kesepakatan internasional, yakni kesepakatan bersama tentang perdagangan jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Orgnization/WTO), dimana pendidikan dijadikan sebagai salah satu dari 12 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian para investor bisa menanamkan modalnya disektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi). Kesepakatan inilah yang kemudian yang melahirkan UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Kemudian melalui Bank Dunia (World Bank), pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran hutang sebesar US$ 114,54 juta untuk membiayai program Indonesian Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati pada juni 2005 dan berakhir pada tahun 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir UU Badan Hukum Pendidikan (BHP). Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot APBN sehingga harus dipanggkas subsidinya. Pemangkasan  tersebut juga meliputi pemangkasan anggaran Guru dan Dosen.  Dalam perjalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) banyak menuai protes dari berbagai elemen rakyat Indonesia, tidak sedikit dari masyarakat Indonesia khususnya Mahasiswa melakukan berbagai aksi massa supaya UU BHP harus dicabut. Tanggal 30 Maret 2010, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan pencabutan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) karena bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945), ini tidak terlepas dari protes rakyat yang cukup lama. Akan tetapi hal ini tidak serta merta menghentikan praktik komersialisasi pendidikan di Indonesia. Semenjak dikeluarkannya rancangannya sampai disahkannya pada tanggal 17 Desember 2008, UU BHP selalu mendapatkan kecaman yang keras dari berbagai gerakan rakyat.. Hal ini membuktikan bahwa sekali lagi perjuangan mampu melahirkan perubahan.
 
Sudah menjadi tradisi dan membudaya dalam sebuah sistem setengah jajahan dan setengah feodal yang memiliki karakter rezim penghamba bagi kepentingan investasi, segala sesuatu yang dirumuskan hanyalah sebuah genta penyakit bagi rakyat secara umum diberbgai sektor. Dibawah kepemimpinan rezim fasis Susilo Bambang Yudoyono tercatat telah melakukan beberapa regulasi skema penghisapan dan penindasan terhadap rakyat. Kenyataan itu merupakan upaya keras Pemerintah untuk mendapatkan nilai bagus dari sang "Raja Gurita Imperialisme AS". Apapun yang diinginkan sang raja, maka sang pelayan setip siap menggelontorkan kekayaan yang dimiliki rakyat, termasuk harus mencabut subsidi-subsidi publik seperti subsidi pendidikan.Salah satu kebijakan anti rakyat yang sedang dirancang adalah Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT). Keberadaan RUU PT sendiri ialah sebagai pengganti dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), dimana keberadaan Undang-Undang tersebut hakekatnya penuh dengan muatan privatisasi dan liberalisasi. Kaitannya dengan hal tersebut, meskipun telah menuai protes dan perlawanan dari berbagai kalangan, Pemerintah tetap kekeh untuk Mengesahkan UU tersebut, terbukti dengan berbagai rasionalisasi dan pembelaan yang dilakukan oleh Pemerintah untuk tetap mendorong RUU tersebut, bahkan  sampai saat ini RUU tersebut sudah mengalami Revisi hingga kesekian kalinya.Namun yang harus menjadi catatan bahwa berkaitan dengan RUU PT persoalannya bukanlah semata-mata pada pasal per-pasal, malainkan pada persoalan Perspketif dan Orientasi dari Undang-undang tersebut yang sudah sangat terang secara Hitoris bahwa RUU tersebut sebagai Pengganti UU BHP yang telah menjauhkan Rakyat dari Akses pendidikan Tinggi. Secara Ekonomi, pastinya dengan RUU tersebut jika tetap disahkan akan semakin memberikan ruang bagi Lembaga kampus untuk mengkomersilkan Pendidikan baik melalui kurikulum, dan distribusi Output sebagai tenaga kerja murah, kerjasama pembangunan dan pengembangan Usaha. Secara Politik, tentunya RUU tersebut akan bertententangan dengan UU SISDIKNAS dan UU 1945.
 
Disamping itu juga bahwa RUU tersebut kemudian akan menjadi Legitimasi dari pemerintah untuk melepaskan tanggungjawabnya atas pendidikan, khususnya Pendidikan tinggi. Selanjutnya, diaspek kebudayaan, melalui kurikulum yang akan diterapkan, selain hanya akan mewakili kepentingan dari Imperialisme atas tenaga Kerja, maka kurikulum yang akan diterapkan juga tidak akan jauh dari kepentingan tersebut, bahkan yang paling buruk adalah dimana kurikulum yang akan dijalankan akan semakin luas memberikan ruang transpormasi ide dan kebudayaan dari Imperialis yang sangat jauh dari relaitas hidup Rakyat Indonesia. Hal tersebut juga sudah sejak lama diterangkan dari program kerjasama pemerintah dikancah Internasional khususnya dilapangan Kebudayaan, seperti US-Indo Komprehensif ataupun kesepakatan-kesepakatan yang dibangun di regional tingkat ASEAN maupun Asia Timur, dimana akan diberlakukan keseragaman dalam Sistem Pendidikan, baik dari keseragaman kurikulum, sistem penyelenggaraan hingga pembiayaan. Sebagai lembaga penyelenggara pendidikan tinggi, tentu kampus memiliki peran penting dalam ranah kemajuan bangsa, karena kampus adalah merupakan instrument untuk melakukan pengkajian  atas persoalan yang dihadapi rakyat indonesia. Sehingga berangkat dari hal tersebut kampus menjadi ibu yang akan melahirkan tenaga ahli yang mengabdi atas kemajuan bangsa dan rakyat indonesia. Akan tetapi kenyataannya lembaga Pendidikan Tinggi/Kampus selalu terlibat dalam setiap skema kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah boneka imperialisme di indonesia yaitu Susilo Bambang Yudoyono.Dalam praktiknya, lembaga pendidikan tinggi selalu terlibat dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh rezim boneka untuk menyelamatkan beban krisis yang kian hari semakin meyulitkan imperialisme dalam upaya penyelesaiannya, Oleh karenanya, imperialisme akan menggunakan berbagai macam cara untuk melepaskan dirinya dari jeratan krisis tersebut. salah satunya adalah program Counter Insurgency (CO-IN) dilapangan kebudayaan, dimana imperialisme mempromosikan budaya individualisme, anti nasionalisme, tidak ilmiah dan anti rakyat tentunya. Demi melancarkan dominasinya dilapangan kebudayaan, imperialisme telah melakukan kerjasama komprehensif antara pemerintahan Amerika Serikat dengan Pemerintahan Indonesia (US-INDO), dimana AS telah menginfestasikan dana sebesar USD 165 juta selama 5 tahun.
 
Berangkat dari program-program kerjasama inilah yang kemudian menguatkan posisi kampus untuk terus berlomba-lomba melakukan praktik komersialisasi pendidikan, tidak sedikit kampus-kampus besar di indonesia melakukan kerjasama secara langsung dengan negara-negara imperialisme lainnya, secara setahap demi setahap kampus-kampus di Indonesia kehilangan orientasinya dalam memajukan ekonomi, politik dan kebudayaan bangsa. Kampus-kampus akan berubah menjadi warung siap saji yang menyediakan paket menu yang telah ditentukan besaran harganya, menu yang disediakanpun adalah menu pesanan dari negeri-neri imperialisme, tidak heran jika kampus telah jauh dari nilai-nilai budaya ilmiah rakyat, jauh dari setiap kenyataan yang dihadapi bangsa indonesia. Para tokoh akademisi, Guru besar berpangku tangan ketika melihat persoalan bangsa indonesia yang tiada henti-hentinya diterpa persoalan. Untuk memahami persoalan bangsa saja, para tokoh Akademisi dan Guru Besar yang dilahirkan oleh kampus-kampus siap saji tidak tau menahu apa yang menjadi persoalan bangsa Indonesia. Sehingga wajar kemudian mereka dangkal pemikiran dan pandangannya atas keadaan bangsa dan persoalan rakyat Indonesia, yang mereka pahami adalah budaya negara-negara Amerika Serikat, Eropa, Jepang, Australia dan lain sebagainya. Mereka hanya bisa berbual membanding-bandingkan negara Indonesia dengan negara maju.  Hal inilah yang melatar belakangi mahasiswa saat ini kehilangan semangat belajar, kehilangan semangat pengabdiannya terhadap bangsa dan rakyat indonesia, karena sejak dini telah di didik dan dicengkoki dengan teori-teori yang tidak bisa di ilmiahkan kebenarannya dalam praktik sosial kebangsaan. Selain itu juga, kampus tidak memberikan jaminan kepada mahasiswa dalam melakukan percobaan ilmiah, kebebesan mengeluarkan pendapat. Kebijakan-kebijakan kampus telah membatasi gerak demokrasi mahasiswa, tidak sedikit mahasiswa yang terkena skorsing, dipersulit nilai akademik, bahkan ancaman droup out (DO) karena memperjuangakan hak-hak sosial ekonomi dikampus. Kita bisa simpulkan tentang karekteristik perguruan tinggi Indonesia yang masih menjujung tinggi budaya-budaya feodal, tidak heran jika kampus-kampus besar di Indonesia adalah cerminan eksisnya budaya feodal (anti kemajuan tenaga produktif).  
Penuli sadalah sekretaris umum gerakan mahasiswa nasional Indonesia GMNI Kalimantan barat

Tidak ada komentar: