Senin, 13 Agustus 2012

BAB XIII : Keluar Dari Penjara

BELANDA telah menjalankan daja upaya untuk mencegah agar kebebasanku jangan menimbulkan pawai dari rakyat. Dimana‐mana diawasi oleh pasukan patroli. Agar tercapai maksud tersebut, maka jalanan di

sekeliling rumahpun dikosongkan. Aku telah menyampaikan supaya bertindak lebih bijaksana menghadapi ini dan tidak mengadakan penyambutan secara besar‐besaran. Sungguhpun demikian Inggit

dan beberapa ratus pengikut yang setia berbaris dengan rapi di pinggir jalan pada jam tujuh pagi yang

cerah, ketika aku mengakhiri tugasku dengan masyarakat Belanda.

Sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia untuk mengadakan selamatan, apabila seseorang keluar dari

penjara. Bukan maksudku sebagai kebiasaan orang Indonesia bila keluar dari penjara saja. Yang

kumaksud, segala kejadian —seperti dalam hal perkawinan, kenaikan kedudukan, anak lahir, ya, malah

keluar dari penjarapun— ditandai oleh suatu pesta kedamaian. Karena itu penyesuaian diriku kepada

masyarakat ramai hampir tidak dapat dilakukan secara berangsur‐angsur. Dari kakus yang gelap dan sepi

langsung melompat ke rumah Inggit, tempat bayar makan yang ribut.

Peristiwa itu menggembirakan sekali dan aku dikuasai oleh perasaan haru. Akan tetapi harus kuakui, di

saat itu yang pertama‐tama kuinginkan bukanlah pesta yang gembira atau alas tempat‐tidur sutera yang

mentereng maupun mandi yang enak, tak satupun dari kesenangan itu. Yang pertama‐tama kuinginkan

adalah seorang perempuan. Akan tetapi walaupun bagaimana, rupanya kehendak ini terpaksa mengalah

dulu. Karena soal‐soal sekunder lebih mendesak kemuka. Ratusan orang datang menyerbu siang dan

malam hendak melihat wajahku. Di malam itu, kawanku Bung Thamrin menyatakan kepadaku, “Mata

Bung Karno menyinarkan cahaya baru.”

“Tidak,” jawabku. “Mata saya menonjol karena saya semakin kurus. Kalau muka kurus, mata kelihatan

cekung.”

“Tidak,” ia menegaskan., Mata Bung jadi sangat besar. Biar gemuk sekalipun dia tetap bersinar menyalanyala.

Saya melihat ada cahaya baru di dalamnya.”

“Entahlah,” jawabku, “Saya hanya merasa bahwa saya betul‐betul dikuasai oleh suatu semangat.”

Pidatoku yang paling terkenal yang pernah kuucapkan selama hidupku adalah pidato yang kusampaikan

di malam berikutnya. Aku berangkat ke Surabaya dengan kereta ekspres untuk menyampaikan kepada

Kongres Indonesia Raya supaya mereka tetap membulatkan tekad, oleh karena Bung Karno sekarang

sudah kembali lagi dan sudah siap untuk berjuang di sisi mereka dan untuk mereka. Dengan mata yang

berlinang‐linang, aku mengakhiri pidato itu dengan menyatakan “Kecintaanku terhadap tanah air kita

yang tercinta ini belumlah padam. Pun tidak ada maksudku untuk sekedar membikin roman dan bersain,.

Tidak. Tekad saya hendak berjuang. Insua Allah, di satu saat kita akan bersatu kembali.” Menghukum

Sukarno berarti menghukum seluruh pergerakan. Belanda mengetahui hal ini. Ketika aku masuk penjara

Sukamiskin, P.N.I. dengan resmi dinyatakan sebagai partai terlarang. Kemudian, wakil‐wakilku

mendirikan Partai Indonesia, yang disingkat Partindo, akan tetapi pergerakan itu tetap tidak berdaya.

Kegiatannya terbatas, jarang mengadakan pertemuan‐pertemuan dan kalaupun diadakan, sedikit sekali

dikunjungi orang, karena tidak adanya tokoh yang menjadi lambang kekuatan.

Karena tidak adanya kepemimpinan yang kuat dan bersifat menentukan, maka dua orang tokoh

berpendidikan Negeri Belanda yaitu Sutan Syahrir dan Hatta, tidak menyetujui cara‐cara bergerak dari

kawan‐kawan seperjuangannya. Maka timbullah pertentangan antara pengikut Hatta dengan pengikut

Sukarno. Akibatnya adalah perpecahan yang tak dapat dihindarkan. Aku memerintahkan Maskun dan

Gatot, yang dibebaskan beberapa bulan sebelumku, untuk membenteng jurang yang timbul itu. Mereka

tak sanggup. Maskun lalu mengirimkan pesan ke dalam penjara, “Saya terlalu muda. Saya tidak dapat

melakukannya.” Gatot kemudian memberi kabar lagi, “Kami berdua terlalu kecil untuk dapat melakukan

pekerjaan ini. Lebih baik kami tunggu empat bulan lagi sampai Bung Karno keluar.”

Segera setelah aku keluar dari penjara, ketika anggota‐anggotaku yang lama meminta supaya aku

memasuki Partindo, aku menolak. “Tidak,” kataku dengan tegas. “Pertama saya harus berbicara dengan

Hatta dulu. Saya ingin mendengar isi hatinya. “Mereka menyatakan kepadaku, “Rakyat akan mengikuti

kemana Bung Karno pergi. Apakah mungkin Bung mengikuti Pendidikan Nasional Indonesia, partai dari

Bung Hatta?”

“Tidak ada pikiranku untuk mengikuti salah satu pihak, saya lebih condong untuk menempa keduaduanya

kembali menjadi satu. Dua partai adalah bertentangan dengan keyakinanku untuk persatuan.

Perpecahan ini hanya menguntungkan pihak lawan.”

Aku bertemu dengan pihak jang bertentangan di rumah Gatot tidak lama setelah aku bebas. “Baiklah

saudara‐saudara, sekarang apa sesungguhnya yang menjadi perbedaan pokok kita,” kataku ketika kami

bertemu pertamakali.

Dengan cara Bung Karno, partai tidak akan bisa stabil,” Hatta mengemukakan, seorang yang berlainan

samasekali denganku dalam sifat dan pembawaan. Bung Hatta adalah seorang ahli ekonomi dalam segi

dagang dan pembawaannya. Saksama, tidak dipengaruhi oleh perasaan, pedantik. Seorang lulusan

Fakultas Ekonomi di Rotterdam, cara berpikirnya masih saja menurut buku‐buku, mencoba menerapkan

rumus‐rumus ilmiah yang tidak dapat dirubah ke dalam suatu revolusi. Seperti biasa ia langsung

memasuki pokok persoalan tanpa omong iseng secara berolok‐olok sebelumnya. “Pada waktu Bung

Karno dengan ketiga orang kawan kita lainnya masuk penjara, seluruh pergerakan bercerai‐berai. Saya

mempunyai ide untuk mengadakan suatu inti dari organisasi yang akan melatih kader yang digembleng

dengan cita‐cita kita.”

“Apa gunanya kader ini? Bukankah lebih baik kita mendatangi langsung rakyat jelata dan membakar hati

mereka, seperti selama ini telah saya kerjakan?”

“Tidak,” katanya. “Konsepsi saya kita menjalankan perjuangan melalui pendidikan praktis untuk rakyat, ini

lebih baik daripada kita bekerja atas dasar daya penarik pribadi dari satu orang pemimpin. Dengan jalan

demikian, kalau para pemimpin atasan tidak ada, partai akan tetap berjalan dengan pimpinan bawahan

yang sudah sadar betul‐betul untuk apa kita berjuang. Dan menurut gilirannya, mereka akan

menyampaikan cita‐cita ini kepada generasi yang akan datang, sehingga untuk seterusnya banyak tenaga

yang akan melanjutkan cita‐cita kita. Kenyataannya sekarang, kalau tidak ada pribadi Sukarno maka tidak

ada partai. Ia terpecah samasekali oleh karena tidak adanya kepercayaan rakyat kepada partai itu sendiri,

yang ada hanya kepercayaan terhadap Sukarno.”

“Mendidik rakyat supaya cerdas akan memerlukan waktu bertahun‐tahun, Bung Hatta. Jalan yang Bung

tempuh baru akan tercapai kalau hari sudah kiamat,” kataku.

“Kemerdekaan tidak akan tercapai selagi saya masih hidup” katanja mempertahankan. “Tapi setidaktidaknya

cara ini pasti. Pergerakan kita akan terus berjalan selama bertahun‐tahun.”

“Siapakah yang akan jadi pimpinan Bung? Bukukah? Kepada siapakah jutaan rakyat akan berpegang?

Kepada kata‐katakah? Tidak seorangpun dapat digerakkan oleh kata‐kata. Kita tidak mungkin

memperoleh kekuatan dengan kata‐kata dalam buku pelajaran. Belanda tidak takut pada kata‐kata itu.

Mereka hanya takut kepada kekuatan nyata, yang terdiri dari rakyat yang menggerumutinya seperti

semut. Mereka tahu, bahwa dengan jalan mencerdaskan rakyat kekuasaan mereka tidak akan terancam.

Memang dengan mencerdaskan rakyat kita terhindar dari penjara, akan tetapi kita juga akan terhindar

dari kemerdekaan.”

“Rakyat akan mentertawakan Bung Karno kalau masuk penjara sekali lagi,” jawab Hatta. “Rakyat akan

mengatakan: Itu salahnya sendiri. Kenapa Sukarno selalu mempropagandakan Indonesia Merdeka,

sedang dia tahu bahwa Belanda akan menyetopnya. Dia itu gila. Jadi perjuangan untuk kemerdekaan

masih akan memakan waktu bertahun‐tahun lagi. Rakyat harus dididik dulu kearah itu.”

Hatta tidak berkisar setapakpun dan dengan hati yang tawar aku meninggalkan pertemuan yang

berlangsung selama beberapa jam itu Perbedaan kami seperti siang dan malam, dan Hatta sama sekali

tidak berubah pendiriannya. Masih aku mencoba untuk menghilangkan keretakan ini. Selama beberapa

bulan aku mencoba. Pada pertemuan kami selanjutnya Hatta mengatakan, “Saya hendak memberikan

jandji kepada para pengikut kita. Kalau Belanda menghalang‐halangi generasi kita ini untuk bergerak —

dan tiap gerakan selanjutnya daripada para pemimpin nasionalis tentu akan mendapat balasan yang

demikian— maka tak usahlah generasi kita ini bergerak lagi. Sebagai gantinya kita mengajar para

intellektuil yang muda‐muda yang pada satu saat akan menggantikan kita untuk meneruskan ajaranajaran

kita dan yang nanti di belakang hari akan membawa kita kepada kemerdekaan. lni adalah jandji

kepada tanah air kita. Ia merupakan soal prinsip. Soal kehormatan.”

Aku tak pernah mengerti sama sekali perkara tetek bengek secara intellektuil yang khayal ini. Hatta dan

Syahrir tak pernah membangun kekuatan. Apa yang mereka kerjakan hanya bicara. Tidak ada tindakan,

hanja bersoal jawab. Aku mencoba usaha yang terakhir. “lni adalah peperangan,” kataku. “Suatu

perjuangan untuk hidup. Ini bukanlah soal keteguhan pendirian dengan generasi yang akan datang

ataupun suatu kehormatan bagi sisa dari pergerakan, sehingga tingkatan yang lebih bawah dapat

memegang tegak prinsip‐prinsip yang telah dikurangi setelah para pemimpin mereka masuk bui.

Kehormatan tidaklah pada tempatnya dalam perjuangan mati‐matian ini. Ini adalah semata‐mata

persoalan kekuatan. Di saat Bung Hatta dan Sjahrir maju terus dengan usaha pendidikan pada waktu itu

pula kepala saudara‐saudara akan dipukul oleh musuh.

“Politik adalah machtsvorming dan machtsaanwending—pembentukan kekuatan dan pemakaian

kekuatan. Dengan tenaga yang terhimpun kita dapat mendesak musuh ke pojok dan kalau perlu

menyerangnya. Mempersiapkan teori dan membuat keputusan kebijaksanaan penting yang berasal dari

buku‐buku tidaklah praktis. Saya kuatir, Hatta, saudara berpijak diatas landasan revolusioner yang

khajal.”

Pada tahun‐tahun duapuluhan, antara kami telah terdapat keretakan ketika aku menjadi eksponen utama

dari non‐kooperasi, sedang dia sebagai eksponen‐utama dengan pendirian bahwa kerjasama dengan

Pemerintah tidak menjadi halangan untuk mencapai tujuan. Hatta dan aku tak pernah berada dalam

getaran gelombang yang sama. Cara yang paling baik untuk melukiskan tentang pribadi Hatta ialah

dengan menceritakan tentang kejadian di suatu sore, ketika dalam perjalanan ke suatu tempat dan satusatunya

penumpang lain dalam kendaraan itu adalah seorang gadis yang cantik. Di suatu tempat yang

sepi dan terasing ban pecah. Jejaka Hatta adalan seorang yang pemerah muka apabila bertemu dengan

seorang gadis. Ia tak pernah menari, tertawa atau menikmati kehidupan ini.

Ketika dua jam kemudian supirnya kembali dengan bantuan ia mendapati gadis itu berbaring enak di

sudut yang jauh dalam kendaraan itu dan Hatta mendengkur di sudut yang lain. Ah, susah orangnya. Kami

tak pernah sependapat mengenai suatu persoalan.

Pada tanggal 28 Djuli 1932, aku memasuki Partindo dan dengan suara bulat terpilih sebagai ketua.

Pergerakan ini hidup kembali.

Sebagai pemimpin partai aku mendapat 70 rupiah sebulan. Dan sebagai Pemimpin Besar Revolusi di masa

yang akan datang, aku memperoleh kemajuan dalam segala hal. Pun dalam menonton film. Sekarang aku

duduk di muka layar putih. Maskun dan aku juga mendapat penghasilan sedikit dalam memimpin

bersama‐sama koran partai, “Fikiran Rakjat”, yang diselenggarakan di rumahku. Kemudian ada lagi orang

yang baya ‐makan. Sudah tentu orang‐orang seperti Maskun tidak bayar. Bagaimana aku bisa minta uang

makan daripadanya? Dia kawanku. Aku bahkan memperkenalkannya kepada isterinya.

Kuingat betul di hari perkawinannya akupun mengadakan pidato politik. Penganten baru ini tidak

berbulan madu kecuali mungkin di bawah pohon kayu di suatu tempat, karena segera setelah perkawinan

mereka tinggal dengan Inggit dan aku. Bukanlah menjadi kebiasaan anak gadis Indonesia untuk berteriak

bila orang mengadakan percintaan dengan gadis itu. Dan karena kami tidak mempunyai kasur di hari‐hari

itu, jadi tidak ada yang akan berderak‐derik. Karena itu, sungguhpun kamar kami hanya dipisahkan oleh

dinding bilik, kami tidak terganggu satu sama lain.

Dengan Ir. Rooseno aku mendirikan biro arsitek lagi. Kami mengalami masa yang sulit dengan biro arsitek

ini, karena orang lebih menyukai arsitek Tionghoa atau Belanda dan tidak akan menemui kesulitan

dengan kedua bangsa ini. Sewa kantor kami 20 rupiah. Telpon 7l/2 rupiah. Jadi setidak‐tidaknya kami

harus mendapatkan 271/2 rupiah setiap bulan. Akan tetapi seringkali kami tidak menerimanya.

Penghasilan Rooseno yang terutama didapatnya dari mengajar. Oleh karena kantongnya selalu lebih

penuh daripada kami, kebanyakan pengeluaran kami terpaksa bergantung kepadanya.

Sekali sebulan aku muncul untuk menanyakan bagian keuntunganku. Karena aku mencukupi

kebutuhanku dari kantongnya, aku akan bertanya, “Berapa kau berutang padaku?”

Dan dia akan menjawab, “Bagian Bung 15 rupiah.”

Kataku, “Baik.” Aku tidak pernah memeriksanya. Apa yang dikatakannya aku percaya saja. Kami

mengadakan pembagian kerja yang adil dan cukup beralasan. Rooseno menjadi insinyur kalkulatornya.

Dia mengerjakan soal‐soal detail. Dia yang membuat perhitungan dan kalkulasi dan

mengerjakan perhitungan ilmu pasti yang sukar itu. Sebagai arsitek seniman aku mengatur bentukbentuk

yang baik dari gedung‐gedung. Sudah tentu tidak banyak perlu diatur, akan tetapi sekalipun

demikian ada beberapa buah rumah yang kurencanakan sendiri dan sekarang masih berdiri di Bandung.

Rencanaku bagus‐bagus. Tidak begitu ekonomis akan tetapi indah.

Aku tidak begitu memikirkan benda‐benda duniawi seperti uang. Hanya orang‐orang yang tidak pernah

menghirup apinya nasionalisme yang dapat melibatkan dirinya dalam soal‐soal biasa seperti itu.

Kemerdekaan adalah makanan hidupku. Ideologi. Idealisme. Makanan daripada jiwaku. Inilah semua yang

kumakan. Aku sendiri hidup dalam kekurangan, akan tetapi apa salahnya? Mendayungkan partaiku dan

rakyjatku secara bersama‐sama ke pulau harapan, untuk itulah aku hidup.

Sesuai dengan cita‐cita dari P.N.I., partaiku yang lama, tentang bagaimana seharusnya seorang pemimpin

berpakaian, maka anggota‐anggota mengumpulkan uang untuk mengadakan pakaian untukku. Ganti

kain katun atau linnen, Sukarno tiba‐tiba diberi kain shantung Ganti kemeja sport dengan leher terbuka,

Sukarno mulai memakai dasi yang bagus. Pergerakan kami begitu percaya padaku, sehingga pakaian ini

diusahakan mereka secara sukarela. Aku teringat baju suteraku yang pertama. Pembelinya bernama

Saddak. O. dia sungguh‐sungguh memujaku.

Ini seperti yang dikatakan oleh Injil, “Yang kaya jiwanya membantu yang miskin dalam satu persaudaraan

yang besar.” Aku memberi mereka keberanian. Mereka memberiku pakaian —atau uang. Di pagi hari aku

keluar dari penjara sebagai seorang bebas, seorang laki‐laki yang belum pernah kulihat sebelumnya,

menggenggamkan kepadaku dengan begitu saja uang empat ratus rupiah, lain tidak karena aku tidak

mempunyai uang. Pada waktu sekarang orang ini, yang bernama Dasaad , adalah seorang kapitalissosialis

yang paling kaya di Indonesia dan kawanku yang rapat. Akan tetapi, pada waktu ia menyodorkan

rejeki yang kecil itu kepadaku, ia tak mengharapkan akan memperolehnya kembali. Seingatku ia tak

pernah menerima uang itu kembali. Aku masih saja meminjam‐minjam kepadanya.

Dalam masa ini aku menyadari untuk lebih berhati‐hati dengan ucapan‐ucapanku. Pengaruhku terhadap

rakyat sudah tumbuh sedemikian, sehingga kalau aku berkata, “Makan batu”, mereka akan memakannya.

Kukira ini timbul disebabkan karena apa yang kuucapkan dengan keras sesungguhnya adalah apa yang

mereka sendiri pikirkan dan rasakan dalam hati sanubarinya. Aku merumuskan perasaan‐perasaan yang

tersembunyi dari rakyatku menjadi istilah‐istilah politik dan sosial, yang tentu akan mereka ucapkan

sendiri kalau mereka dapat. Aku menggugat yang tua‐tua untuk mengingat kembali akan penderitaanpenderitaannya

dan melenyapkan penderitaan‐penderitaan itu. Aku menggugat para pemuda untuk

memikirkan nasib mereka sendiri dan bekerja keras untuk masa depan. Aku menjadi mulut mereka.

Sebagai pemuda aku mula‐mula mengisap kata‐kata yang tertulis dari negarawan‐negarawan besar di

dunia, kemudian kuminum ucapan‐ucapan dari para pemimpin besar dari bangsa kami, lalu menggodok

semua ini dengan falsafah dasar yang digali dari hati rakyat Marhaen. Sukarno, Telinga Besar dari rakyat

Indonesia, lalu menjadi Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia.

Aku berbicara kapan saja dan dimana saja. Di dalam dan di luar. Di bawah teriknya sinar matahari dan di

musim hujan. Pada suatu kali air hujan sudah sampai ke mata kakiku dan oleh karena banyak tempat yang

tidak bisa ditempuh, maka aku baru sampai jam tiga pada rapat yang seharusnja diadakan mulai jam

sembilan pagi. Rakyat yang sudah bercerai‐berai berkerumun lagi, berdiri dengan berpayung daun pisang

dan lain‐lain yang dapat dipakai sebagai pelindung kepala. Pada suatu saat cuaca demikian buruknya,

sehingga sekalipun pakai jas hujan aku basah kuyup oleh air yang mencucur dari langit. Di waktu itulah

aku mengajak, “Nah, sekarang, untuk memanaskan badan kita bagaimana kalau kita menyanji bersamasama?”

Di sela‐sela petir yang menggemuruh terdengarlah satu suara mengikutiku. Kemudian yang lain.

Lalu ratusan suara berpadu. Dan tidak lama antaranya menggemalah 20.000 suara menjadi satu paduan

yang gembira. Di lapangan terbuka yang sederhana ini di Jawa Tengah maka nyanyian‐nyanjian rakyat

mengikat kami menjadi satu, ikatannya lebih erat daripada rantai besi. Ketika hujan semakin reda, aku

mengakhiri wejanganku. Tak seorangpun yang meninggalkan tempat itu.

Salah seorang pengikut kemudian setelah itu memberikan komentarnya, “Ini adalah suatu kejadian yang

tidak dapat dilakukan oleh orang semata‐mata. Bakat yang demikian itu terletak Antara Bung dan alam.”

Kusampaikan kepadanya, “Sebabnya ialah karena ini bukanlah kemauan saya pribadi untuk

memperjuangkan kemerdekaan. Ia adalah kemauan Tuhan. Saya menjalankan kata‐kata Tuhan. Untuk

pekerjaan inilah saya dilahirkan.”

Pada waktu sekarang, orang‐orang anti‐Sukarno tertawa mengejek bahwa segala sesuatu diatur terlebih

dulu untuk Sukarno sebelum ia memperlihatkan diri. Aku hanya mengatakan, memang benar bahwa

rakyat berjejal‐jejal di kiri kanan jalan kalau Bapak akan berpidato. Juga adalah benar, bahwa orang dapat

memaksa seseorang untuk berdiri akan tetapi ia tidak akan dapat dipaksa untuk tersenyum dengan penuh

kepercayaan atau memandang dengan perasaan kagum atau melambai kepadaku dengan gembira. Aku

meminta kepada manusia umumnya untuk menyelidiki muka‐muka yang menengadah dari rakyatku

kalau aku berpidato. Mereka melihat tersenyum kepadaku. Mendo’akan, Mencntaiku. Ini semua tidak

dapat dipaksakan oleh pemerintah.

Pemerintah tidak dapat memaksa mereka untuk berbuat demikian seperti pemerintah Hindia Belanda

tidak dapat menyuruh mereka BERHENTI tersenyum kepadaku di masa tahun‐tahun tiga puluhan.

Dengan tiba‐tiba semangat nasional menjalari seluruh tanah air. Dengan tiba‐tiba keinginan merdeka

menular kembali.

Aku berpidato di Solo di mana puteri‐puteri dari kraton yang cantik‐cantik pada keluar untuk

mendengarkanku. Wanita‐wanita yang dipingit, dimuliakan dan yang halus ini begitu tertarik sehingga

salah seorang yang hamil memukul‐mukul perutnya berkali‐kali dan mendengungkan, “Saya ingin

seorang anak seperti Sukarno.” Mendadak aku mendapat ilham. Aku menyerahkan kepada mereka

beberapa peci dan meminta mereka berkeliling dalam lautan manusia itu mengumpulkan uang untuk

pergerakan kami. Ah, Bung, sungguh menggemparkan.

Aku malahan mencaplok terhadap Belanda. Seorang pemuda bernama Paris menjadi muridku dan pindah

sama sekali ke pihak kita. Pada kesempatan lain aku mengadakan rapat di Gresik Jawa Timur. Patih di

tempat itu juga hadir. Sebagai seorang pejabat kolonial, adalah menjadi kewajibannya yang tak dapat

disangkal lagi untuk memeriksaku dengan saksama dan melaporkan kegiatanku. Orang yang sangat baik

hati ini berdiri mendengarkan pidatoku dengan sungguh‐sungguh dan dengan seluruh hatinya. Tanpa

berpikir dia lupa pada dirinya sendiri dan dengan bersemangat turut bersorak dan bertepuk

mendengarkan pidatoku. Di antara orang banyak itu terdapat juga Van der Plas, Direktur Urusan Bumi

putera. Dan itulah kami. Kamilah orang Bumiputera. Pekerjaan Van der Plas adalah untuk mengawasi

orang‐orang yang mengawasi kami, termasuk patih itu.

Patih itu seketika juga diperhentikan. Timbullah pertengkaran yang hebat di dalam Dewan Rakyat.

Thamrin mencoba untuk mempertahankannya. Dia mengemukakan alasan, “Apa salahnya dia turut

bersorak? Bukankah dia orang Indonesia? Mengapa dia harus dilarang untuk bertepuk dan bersorak?

Mengapa dia harus kehilangan jabatan tanpa diberi kesempatan untuk mempertahankan dir ?”

Thamrin mencoba dengan gagah berani, sekalipun demikian patih itu tetap kehilangan jabatannya. Ini

adalah jabatan yang penting dan dia orang yang penting. Orang yang baik hati ini mempunyai anak dan

isteri yang harus ditanggungnya. Akupun susah memikirkannya.

Polisi mulai memperkeras jaring‐jaring mereka. Surat‐surat kabar ketika itu penuh dengan berita

pemberontakan di atas kapal Zeven Provincien, yaitu sebuah kapal perang yang para opsirnya terdiri dari

Belanda dan orang‐bawahannya orang‐orang Indonesia. Belanda, karena mengetahui tentang caraku

mempergunakan suatu keadaan. Pada waktunya, mengeluarkan larangan untuk mengadakan

pembicaraan secara terbuka mengenai peristiwa ini, takut kalau hal ini akan merangsang rakyat untuk

bangkit dan memberontak.

Persoalanku adalah, bagaimana caranya untuk menerangkan situasi itu dengan baik dalam pidato

berikutnya. Tangan polisi sudah gatal‐gatal untuk melemparkanku keluar panggung. Mereka tegang dan

gelisah. kamipun tegang dan gelisah. Kami mengatur acara sehingga aku menjadi pembicara pertama. Ini

maksudnya untuk membikin bingung polisi, yang tentu tidak akan menyangka bahwa aku akan

memberanikan diri untuk menggelorakan lima menit pertama dari rapat tersebut. Dengan jalan ini,

sekalipun mereka akan menghentikan rapat kami, aku telah menyampaikan pesan‐pesanku dan rakyat

tentu sudah akan puas melihatku. Jadi, berdirilah aku dan langsung berbicara tentang peristiwa kapal

Zeven Provincien itu. Polisi langsung bertindak terhadapku. Dan pertemuan itu segera ditutup.

Aku kembali lagi ke tempat dimana aku berada. Nomor satu dalam daftar hitam mereka, seperti aku

takkan lepas‐lepas dari daftar itu.

Para pembesar mengeluarkan perintah tentang barang siapa yang membaca “Fikiran Rakyat” atau

memakai peci akan dikenakan tahanan.

Kemudian aku menulis brosur yang bernama “Mencapai Indonesia Merdeka”. Brosur tersebut dianggap

sangat menghasut, sehingga ia dirampas dan dinyatakan terlarang segera setelah ia mulai beredar.

Banyak yang di sita. Rumah‐rumah digeledahi. Kumpulan yang terdiri dari lebih dari tiga orang dikepung.

Perangkap diperkeras.

Tanggal satu Agustus kami mengadakan pertemuan pimpinan dirumah Thamrin di Jakarta. Pertemuan ini

selesai sudah lewat tengah malam. Ketika aku turun rumah menuju jalan raya, di sana sudah berdiri

seorang Komisaris Polisi, menungguku dengan tenang di depan rumah. Kejadian ini adalah pengulangan

kembali dari penangkapan yang terdahulu. Dia rnengucapkan kata‐kata yang sama, “Tuan Sukarno, atas

nama Sri Ratu saya menangkap tuan.”

Tidak ada komentar: