Jumat, 27 Juli 2012

.:: Pilihan Paham Sosialisme untuk Indonesia ::.

Disarikan dari buku Sosialisme Indonesia, Dr. H. Roeslan Abdulgani

Lahir karena kemiskinan rakyat

Jika kita sudah tegas mengatakan, bahwa esensi dari pada sosialisme adalah memberantas kemiskinan, maka harus lebih dahulu kita tentukan bagaimana keadaan rakyat kita dulu dan bagaimana keadaan rakyat kita sekarang.
Literatur yang dapat menerangkan keadaan bangsa Indonesia sebelum kedatangan kolonialisme antara lain;

- Cultuurstelsel, Van Hoest

- The History of Java, Raffles

- Java, Veth Akibat Kolonialisme dapat dipelajari dari karangan-karangan:

- Multatuli, Max Havelaar (1860)

- Mr. P. Brooshhooft, Ethische koeres (1901)

- Van Kol, Ned Indie in de Tsten General” (1911)

- Mr.C.Th.Van Deventer, Overzicht van den economischen toestand der inlandsche bevolking van Java en Madura (1914)

- Stokvis, Van wingewesttot zelfbestuur (1922)

- Prof Boeke, het zakelijke en Persoonlijke element in de koloniale welvaartspolitiek (1927)

- Prof Snouck Hourgonje, Colijn over Indie (1928)

- Prof Gonggrijp, Economische Geschiedenis van Ned Indie (1928)


Dari literatur tersebut dapat kita lihat dan simpulkan bahwa rakyat Indonesia yang dulu dalam alam kemerdekaan mengalami kecukupan dan kemakmuran kemudian karena penjajahan mengalami kemiskinan; kemiskinan materil dan kemiskinan sprituil.
Dan kemiskinan inilah yang melahirkan pergerakan kebangsaan dan cita-cita sosialisme. Tentang hal ini pun tak usah kita menjelaskan kepada saudara-saudara.
Cita-cita R.A. Kartini dalam surat-suratnya kepada Abendanon yang diterbitkan dalam buku Door Duisterenis tot licht, lahirnya Budi Utomo oleh mahasiswa kita dari Sekolah Tinggi Kedokteran Jawa di Jakarta yang dipimpin oleh Wahidin Sudirohusodo, lahirnya Syarekat Islam pada tahun 1911 dibawah Samanhudi, HOS Cokroaminoto, lahirnya Indische Partij oleh Douwes Dekker, Tjiptomangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat. Adalah sumber-sumber berharga yang harus dipelajari.
Kesemuanya pergerakan itu dijiwai oleh penderitaan, baik penderitaan materi maupun penderitaan sprituil. Dasarnya adalah nasionalisme dan patriotisme, penuh dengan emosi dan harga diri. Sikap dan tindakannya adalah radikal dan tajam, tapi belum jelas dalam formulasinya. Sekalipun dalam sepak terjangnya mereka itu menginginkan adanya persamaan dan keadilan, baik dalam bidang politik maupun bidang masyarakat, tetapi esensi daripada keadaan kolonial, sebab musababnya kolonialisme, pokok kekuatan dan kelemahan sistem kolonial, cara-cara perjuangan yang teratur belum dapat tertangkap oleh mereka.



Pengaruh kaum Sosial Demokrat Belanda

Ketegasan analisa itu datang dengan ajaran-ajaran sosialisme, yang di Indonesia di bawa oleh orang-orang Belanda dari aliran Sosial Demokrasi. Sneevliet, Baars, Bergsma, Bransteder, Dekker, C Hartoch, adalah nama-nama Belanda yang pertama-tama membawa ke bumi Indonesia ajaran-ajaran Wettenschapleijk sosialisme yang di dasari oleh Marx dan Engels.
Sneeveliet mempelopori dengan mendirikan Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) di Semarang pada tahun 1914. Pada bulan Maret 1917 Sneeveliet menulis artikel berjudul Zegepraal (kemenangan), yang memuliakan Revolusi Februari Kerensky di Rusia dengan kata-kata:
Telah berabad-abad disini hidup berjuta-juta rakyat yang menderita dengan penuh kesabaran dan keprihatinan, dan sesudah Diponegoro tiada seorang pemuka yang mengerakan massa ini untuk menguasai nasibnya sendiri.
Wahai rakyat di Jawa, revolusi Rusia juga merupakan pelajaran bagimu. Juga rakyat Rusia berabad-abad mengalami penindasan tanpa perlawanan, miskin dan buta huruf seperti kau.
Bangsa Rusia pun memenangkan kejayaan hanya dengan perjuangan terus-menerus melawan pemerintahan paksa yang menyesatkan.
Juga di Rusia sarekat-sarekat buruh dipimpin oleh pemerintah.
Kebaktian kepada kemerdekaan adalah kebaktian yang berat. Kebaktian itu tidak mengizinkan kelemahan, rasa takut, keragu-raguan, ketidakpastian.
Kebaktian itu menghendaki keseluruhan kepribadian, keberanian, diatas segala-galanya keberanian.
Apakah lonceng kegembiraan sekarang juga bergema di dalam hati kita?
Apakah penabur dari benih propaganda untuk politik radikal dan gerakan ekonomi rakyat di Indonesia memperlipat kegiatannya?
Dan tetap bekerja dengan tidak henti-hentinya, meskipun banyak benih jatuh di atas batu karang dan hanya nampak sedikit yang tumbuh?
Dan tetap bekerja melawan segala usaha penindasan dari gerakan kemerdekaan ini?
Maka tidak bisa lain bahwa rakyat di Jawa, diseluruh Indonesia akan menemukan apa yang ditemukan oleh rakyat Rusia: kemenangan yang gilang gemilang.
Maka ia diproses oleh jaksa dan hakim belanda dari pemerintahan Hindia Belanda. Seorang Belanda kontra Belanda; tetapi juga seorang sosialis kontra kolonialis; klassentrijd dalam barisan kulit putih. Pidato pembelaannya, yang pada bulan November 1917 dibukukan 366 halaman tebalnya merupakan sumber darimana banyak pemimpin-pemimpin bangsa kita mulai minum ajaran-ajaran sosialisme secara ilmiah.
Ya susunan dan bentuk pidato pembelaan Bung Karno di muka landreaad Bandung pada tahun 1930, yang dulu diterjemahkan dan dibukukan oleh SDAP (Social Democratische Arbeiders Party) Belanda dengan nama Indonesia klaagtaan, dan yang baru-baru ini diterbitkan kembali oleh penerbit SK SENO bernama Indonesia Menggugat, 183 halaman tebalnya, menunjukan pengaruh yang besar sekali dari jalan pikiran Sneevliet dalam prosesnya pada tahun 1917 itu atas jalan pikiran Bung Karno dalam prosesnya tahun 1930.
Memang sejak saat itu, ajaran-ajaran Marxisme meluas di Indonesia. Di Semarang, Semaun-Darsono mempeloporinya dengan mendirikan PKI pada tahun 1920. Di Surabaya Tjokroaminoto dari Serikat Islam tertarik pula oleh ajaran-ajaran Marx, dan literatur yang disebut oleh Sneevliet di dalam pembelaannya seperti:
- Marx dan Engels : Komunis Manifesto
- Karl Marx : Das Kapital, kritik terhadap Ekonomi Politik,
- F. Engels : Socialism: Utopian and Scientific
- F. Engels : The Origin of the Family, Private Property, and the State
- Karl Kausky : Sosialisme dan Politik Kolonial
- Karl Kausky : de weg naar de macht
- August Babel : de vrouw en het Socialisme
- Herman Gorter : Het Historisch Materialisme
- H N Brailsford : De oorlogg van staal en goud (uit het Engelsch door Dr. W. van revesteyn)
- Mr. P. Brooschoft : Ethische Koers
- Dr. Herman Gorter : Het imprealisme, de wereldoorlog en de sociale democratie
- Rudolf Hilfering : Das Finanzkapital, eine studie uber die jungste entwicklung des Kapitalismus
- Henrich Roland Holst : Kapital en arbeid in Nederland
mulai dibeli atau dipinjam dari tokok bukunya ISDV, dan dikaji di rumah Tjokroaminoto bersama-sama Surjopranoto, Alimin dan lain-lain.Bung Karno sendiri yang diantara tahun 1916-1920 indekos pada keluarga Tjokroaminoto di Paneleh dan Plampitan Surabaya, menulis dari tempat pembuangannya di Bengkulu, pada tahun 1941 dalam surat kabar Pemandangan sebagai berikut:
“Sejak saya sebagai seorang anak pelonco buat pertama kali belajar kenal dengan teori Marxisme dari mulutnya seorang guru HBS yang berhaluan sosial demokrat (C. Hartough namanya) sampai memahamkan sendiri teori itu dnegan membaca banyak-banyak buku Marxisme dari semua corak, sampai bekerja di dalam aktivitas politik, sampai sekarang, maka teori Marxisme bagiku adalah satu-satunya teori yang saya anggap kompeten buat memecahkan soal-soal sejarah, soal-soal politik, soal-soal kemasyarakatan.”

Bertumbuh menjadi PKI
Pengaruh dari literatur Marxisme sejak tahun 1917 itu besar sekali.
Pertama ia mendorong didirikannya PKI dan surat-surat kabar PKI antara tahun 1920 sampai tahun 1926, terus menyebarkan ajaran-ajran Marxisme itu secara populer sekali, malahan kadang-kadang secara hantam kromo, terutama ajaran-ajaran tentang massa aksi revolusioner dalam majalah-majalah, yang namanya saja sudah beraneka warna seperti: Suara Rakjat, Api, Proletar, Nyala, Djanget, Djago-Djago, Pemandangan Islam, Doenia-Achirat, Soera Tambang, Sasaran Rajat, Petir, Torpedo, Panas dan sebagainya.
Adapun buku-buku dan brosur-brosur, yang pada waktu itu paling banyak diedarkan dan dibaca adalah:
- Pedoman PKI, terbitan Semarang 1923
- Komunisme, Axan Zain, seri I dan II, Semarang, Juni1925
- These, sebagai keadaan Sosial dan Ekonomi serta cara bagi mengadakan organisasi dan taktik di Indonesia,Sukendar, 1924
- Manifesto Komunis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels yang diterjemahkan oleh Axan Zain dan Partondo, dan dikutip dalam Suara Rakjat (1923)
- Naar de Republik Indonesia, Tan Malaka, terbitan pertama di Kanton, April 1925, kemudian diterbitkan di Tokyo, 1925
- Semangat Muda, Tan Malaka, ditulis dan dicetak di Manila,1926
- Massa Aksi di Indonesia, Tan Malaka, dicetak di Singapura, 1926
Sedangkan organisasi-organisasi perjuangan mereka dinamakannya sebagai: Serikat Rakjat, Serikat Djin, Anti Ribut dan sebagainya.
Tan Malaka sendiri dalam tahun-tahun 1918-1921 itu mendapat pendidikan Marxisnya tidak di Indonesia, melainkan di Negeri Belanda sewaktu ia belajar untuk mendapat Hoofdakte Guru, dan sewaktu mengunjungi Kongres Komintern di Moskwa tahun 1922.
Karena sesudah tahun-tahun itu Tan Malaka hidup sebagai buronan politik di luar negeri, maka itulah sebabnya bahwa buku-bukunya ditulis dan diterbitkan di luar negeri.
Tentang kesemuanya ini tidak hanya dapat kita baca dari surat kabar-surat kabar lama itu sendiri, yang sebagian besar masih ada di Museum jakarta, tapi dapat pula kita baca dalam bukunya:
1. Petrus Blumberger, de Nationalische Beweging in Nederland Indie (1931)
2. Petrus Blumberger, de Communische Beweging in Nederland Indie (1935)
3. B. Schrieke, The cause and effect of Communism on the West Coast Sumatra dalam bundel Selected Writing of B. Schrieke (1955)
4. Harry J. Benda dan ruth Mc Vey, The Communist uprising of 1926-1927 in Indonesia: Key Documents, penerbitan Corneel University, new York (November 1959)
Pada bulan November 1926, gerakan PKI dipukul oleh Pemerintah Hindia Belanda karena memimpin pemberontakan terhadap kolonialisme Hindia Belanda ditempat-tempat Betawi, Mester, Tangerang, Banten, Priangan, Tengah-Barat dan Timur, Solo, Banyumas, Pekalongan, Kedu, Kediri, Surabaya, Padang, Solok, Sawahlunto, Silungkang, Alahan Panjang, dan mulailah penjara-penjara Glodok, Cipinang, Suka Miskin, Kalisosok serta tempat pembuangan dan pengantungan Digul dan Munting menjeritkan kepedihan hati berjuta-juta Rakyat Indonesia. Nama-nama KH Misbach, Ali Archam dan lain-lain adalah nama-nama martelaren (martir) dari perjuangan komunisme di Indonesia.

Usaha mensintesakan Islam dan Marxisme
Pengaruh yang kedua dari literatur Marxisme ini ialah, bahwa SI merasa terambil massanya oleh PKI dan pengaruh di kalangan rakyat kecil akan terus menurun bila pimpinan SI tidak lekas-lekas mendasari gerakan massanya dengan teori-teori yang sesuai dengan jiwa dan kehendak massa.
Saudara-saudara tentu mengetahui salah satu ajaran tentang hubungan antara gerakan revolusioner dan teori revolusioner. Ajaran itu dalam bahasa Jermannya berbunyi: ohne revolutionnare theorie, keine revolutionnare bewegung atau dalam bahasa kita; tak mungkin ada gerakan yang revolusioner, tanpa teori revolusioner.
Semula Haji Agus Salim mencoba memecahkan persaingan SI dengan PKI ini dengan jalan debat terbuka, dan dalam bukunya Jejak Langkah H A Salim, kita dapat membaca adanya Kongres SI Nasional di Surabaya pada tanggal 6-10 Oktober 1921, dimana diadakan “ Debat H Agus Salim dengan Semaun mengenai sosialisme Marx dan sosialisme Islam”. Saingan ini kemudian dipecahkan dengan cara yang lebih memuaskan oleh Tjokroaminoto yang pada tahun 1924 menulis risalahnya yang sampai sekarang terkenal dengan nama Islam dan Sosialisme.
Empat hal yang sangat menarik perhatian kita dari isi buku Pak Tjokroaminoto itu.
Pertama, bahwa Islam dengan ajaran anti riba pada hakekatnya adalah anti kapitalisme
Kedua, bahwa perintah-perintah Tuhan untuk berbuat kedermawanan, zakat fitrah dan sebagainya, kebajikan dan bermusyawarah (wa’amruhum sjuro bainahum) kepada dan dengan sesama manusia adalah suruhan Tuhan untuk Sosialisme dan demokrasi
Ketiga, bahwa berdasarkan penyeidikan-penyelidikan sejarah baik yang pak Tjokro ambil dari buku-buku karangan sarjana Islam sendiri maupun dari karyanya para Orientalis seperti Renan, Stanley, Lane Poole, Prof. Theodore Noldeke, negara-negara Islam yang dipimpin oleh Nabi dan sahabatnya berturut-turut yakni; Sajidina Abubakar, Sjidina Umar, Sajidina Usman, Sajidina Ali, dan yang dikenal dengan Kulafaur Rasyidin, adalah berisikan masyarakat sosialis yang memang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam; malahan bahwa sewaktu Sajidina Umar, susunan Pemerintahannya dan masyarakatnya adalah komunistis-militaris dalam batas-batas ajaran Islam.
Keempat, bahwa pak Tjokroaminoto berdasarkan analisa secara Marxistis datang pada kesimpulan, bahwa kemelaratan rakyat Indonesia ini disebabkan karena kolonialisme dan kapitalisme, dah bahwa kaum Sarekat Islam mempunyai keyakinan, bahwa tujuan-tujuannya bersamaan dengan tujuan-tujuan sebagian besar dari pergerakan Rakyat dan Kuam buruh dunia. Dengan begini Pak Tjokroaminoto melihat adanya hubungan antara gerakan buruh sosial-internasional dengan Pan-Islamisme.
Buku Islam dan Sosialisme karyanya Pak Tjokroaminoto bayak sekali mengutip Prof. Quack, Mr. P.J. Troelstra, August Babel dan karyanya Marx-Engels sendiri, sedangkan ide pokoknya mengingatkan saya pada pendapat pujangga Pakistan Iqbal, yang berkata, bahwa Islam is identical with Bolshevisme plus God.

Usaha mensitesakan Islam, Marxisme dan Nasionalisme
Sejak semula sebenarnya usaha-usaha untuk mensintesakan Islam dan Marxisme itu terbentur kepada persoalan apakah Komunisme itu anti Tuhan atau Tidak. Soal ini adalah perbenturan di bidang filsafat. Di bidang demagogie sering dilancarkan kampanye, bahwa marxisme itu akan mensamarata-samarasakan semua soal-soal hak milik dan juga hubungan wanita-laki-laki, yang bertentangan dengan agama dan moral.
Disamping perbenturan-perbenturan antara Islam dan Marxisme itu, ada pula perbenturan antara nasionalisme dan Marxisme, terutama di bidang paham internasionalismenya Marxisme dan kedudukan Moskwa dalam internasionale tersebut.
Perbenturan-perbenturan ini diperhebat lagi dengan perbenturan Islam dan nasionalisme dalam persoalan apakah nasionalisme itu bertentangan dengan atau tidak dengan dengan Pan Islamisme.
Dengan begitu tampak sekali bahwa udara politik dalam masa-masa di sekitar tahun 1920-1926 di tanah air kita diliputi oleh tiga aliran, yaitu; Islam, Marxisme dan Nasionalisme, yang ketiga-tiganya saling berlawanan pula; adakalanya sendiri-sendiri, ada kalanya berbarengan.
Dalam situasi demikian, maka sangat menyegarkan sekali karya Almarhum Tjokroaminoto dalam bukunya Islam dan Sosialisme tadi itu, dan lebih-lebih menginspirasikan lagi adalah buah tangan Bung Karno yang pada tahun 1926 dalam usianya 25 tahun menulis dalam majalah Studieclub Bandung, Suluh Indonesia Muda, karangannya tentang Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme.
Pokok-pokok ide Bung Karno itu ialah:
Pertama, bahwa berdasarkan ajaran-ajaran Renan, Kausky, Otto Bauer tentang Nasionalisme dan bercermin kepada cara perjuangan pemimpin-pemimpin India, Mahatma Gandhi, Maulana Mohamad Ali, Sjaukat Ali, Gopala Krishna Gokhlae, CR Das, Prof Vaswani, pula dengan mempelajari cita-cita dan perjuangan Sun Yat Sen di Tiongkok, maka nasionalisme Indonesia harus dapat bersatu dengan Islam dan Marxisme.
Kedua, bahwa berdasarkan ajaran-ajaran Moh. Abduh, Seyid Jamaludin el Afghani, yang menanam benih-benaih nasionalisme, Arabi Pahsa, Mustafa Kamil, Moh. Farid Bey, Ali Pasha, Moh. Ali dan Syaukat Ali, ditambah dengan larangan Quran mengenai Riba dan ajaran untuk Sosialisme dan Demokrasi, maka Islam di Indonesia harus dapat bersatu dengan Nasionalisme dan Marxisme.
Ketiga, bahwa berdasarkan ajaran-ajaran Marx-Engels, Ferdinand Lasassle, Blanqui, Sismondi, Thompson, ditambah dengan kenyataan, bahwa Nasionalisme Indonesia dan Islam di Indonesia adalah aliran politik dan agama yang tertindas, Marxisme di Indonesia harus dapat bersatu dengan nasionalisme dan Islam.
Dalam artikel itupun untuk pertama kalinya ditegaskan adanya perbedaan antara Historis Materialisme dengan Wijsgerig atau Filosofis Materialisme. Jikalau Filsafat Materialisme menyoalkan hubungan antara “stof en geest”, yang memang menyangkut ada/tidaknya Tuhan, maka Bung Karno tegas-tegas menjelaskan bahwa yang ia ambil sebagai pedoman adalah teori Historis materialisme yang mencoba untuk menerangkan perkembangan sejarah, untuk meninjau hubungan antara perkembangan cara-cara produksi dalam suatu jaman dengan alam pikiran dari pada zaman itu.
Berkatalah Bung Karno:
“Kita harus membedakan Historis materialisme itu dari pada Wijsgerig materialisme; kita harus memperingatkan, bahwa maksudnya Historis Materialisme itu berlainan dari pada maksudnya Wijsgerig Materialisme tadi. Wijsgerig Materialisme memberikan maksudnya atas pertanyaan: bagaimanakah hubungan antara pikiran dengan benda, bagaimanakah pikiran itu terjadi, sedang Historis Materialisme memberikan jawaban atas soal: sebab apakah pikiran itu dalam suatu zaman ada begitu atau ada begini; Wijsgerig Materialisme menanyakan adanya pikiran itu; Historis Materialisme mencari asalnya pikiran, Historis Materialisme mempelajari tumbuhnya pikiran; Wijsgerig Materialisme adalah wijsgerig, Historis Materialisme adalah historis.
Dua paham ini oleh musuh-musuhnya Marxisme di Eropa, terutama kaum gereja, senantiasa ditukar-tukarlah, dan senantiasa dikelirukan satu sama lain. Dalam propagandanya anti Marxisme mereka tak berhenti-henti mengusahakan kekeliruan faham itu; tak berhenti-henti mereka menuduh-nuduh, bahwa kaum Marxisme itu ialah kaum yang mempelajarkan, bahwa pikiran itu hanyalah suatu pengeluaran saja dari otak, sebagai ludah dari mulut dan sebagai empedu dari limpa; tak berhenti-henti mereka menamakan kaum marxisme suatu kaum yang menyembah benda, suatu kaum yang bertuhankan materi.
Itulah asalnya kebencian kaum Marxis Eropa terhadap kaum gereja, asalnya sikap perlawanan kaum Marxis Eropa terhadap kaum gereja. Dan perlawanan ini bertambah sengitnya, bertambah kebenciannya, dimana kaum gereja itu memakai-makai agamanya untuk melindung-lindungi kapitalisme, memakai-makai agamanya untuk membela keperluan kaum atasan, memakai-makai agamanya untuk menjalankan politik yang reaksioner sekali.
Adapun kebencian pada kaum agama yang timbulnya dari sikap kaum gereja yang reaksioner itu, sudah dijatuhkan pula oleh kaum marxis kepada kaum agama Islam, yang berlainan sekali sikapnya dan berlainan sekali sifatnya dengan kaum gereja di Eropa itu. Disini agama Islam adalah agama kaum yang tidak merdeka; disini agama Islam adalah agama kaum yang di 'bawah'.”
Demikianlah Bung Karno yang dengan begitu berusaha menaruh dasar persatuan dan dasar sintesis antara tiga aliran politik di Indonesia.

Sumber: Sosialisme Indonesia, Dr. H. Roeslan Abdulgani, terbitan jajasan Prapantja 1965, cetakan ke-7

Tidak ada komentar: