Jumat, 27 Juli 2012

Perjalanan Terakhir Sang Penyambung Lidah Rakyat

SUPERSEMAR (Perjalanan Terakhir Bung Besar)

teddy sunardi national@mail2.factsoft.de

· Wed Mar 12 17:50:02 2003


Jatuhnya Soekarno dari presiden merupakan peristiwa politik cukup menarik dan sangat bersejarah. Dimulai dengan Supersemar yang memberi "mandat" kepada Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan politik yang saat itu sangat kacau, sampai ditolaknya Pidato Nawaksara yang disampaikan oleh Presiden Soekarno. Khusus mengenai Surat Perintah Sebelas Maret, menurut sebuah sumber, itu merupakan mandat atau perintah untuk menyelamatkan revolusi. Dan bukan pelimpahan kekuasaan, melainkan pelimpahan tugas. Menurut sumber itu pula, sebagai orang yang diperintahkan pemegang supersemar berkewajiban melaporkan kepada Soekarno apa yang dikerjakannya sesuai perintah itu. 
 
Berikut ini adalah kronologis kejatuhan Soekarno yang dikutip dari berbagai sumber, dan sebagian besar, dikutip dari buku "Proses Pelaksanaan Keputusan MPRS No.5/MPRS/ 1996 Tentang Tanggapan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara Republik Indonesia Terhadap Pidato Presiden/Mandataris MPRS di Depan Sidang Umum Ke-IV MPRS Pada Tanggal 22 Djuni 1966 Yang Berdjudul Nawaksara," dimulai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
 
Tanggal 11 Maret 1966 
Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Revolusi/ Mandataris MPRS, mengeluarkan Supersemar, yang isinya antara lain: "Memutuskan dan memerintahkan: Kepada Letnan Jenderal Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat untuk atas nama Presiden/Panglima TertinggiPemimpin Besar Revolusi. 
 
Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi. Mengadakan koordinasi pelaksanaan pemerintah dengan panglima-panglima Angkatan lain dengan sebaik-baiknya. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-jawabnya seperti tersebut diatas." 16 Maret 1966 
 
Pangkopkamtib ---atas nama Presiden RI--- mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap sejumlah 15 menteri yang diduga terlibat G-30 S/PKI. 
 
27 Maret 1966 
Dilakukan perombakan terhadap Kabinet Dwikora. Sementara presiden tidak setuju kabinet itu dirombak. Banyak wajah-wajah baru yang dianggap kurang dekat dengan Presiden Soekarno. Tapi, tiga hari kemudian, kabinet itu pun dilantik. 
21 Juni 1966 
Jenderal TNI AH Nasution terpilih sebagai Ketua MPRS dalam sidang MPRS. Sidang tersebut berlangsung sampai dengan 6 Juli 1966. 
 
22 Juni 1966 
Presiden Soekarno membacakan Pidato Nawaksara di depan Sidang Umum ke-IV MPRS, dan pimpinan MPRS melalui keputusannya No. 5/MPRS/1966 tertanggal 5 Juli 1966, meminta Presiden Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut. 
 
6 Juli 1966 
Sidang MPRS ditutup, dan mengeluarkan 24 Ketetapan, Sebuah keputusan, dan satu Resolusi. Salah satu diantaranya, Tap MPRS No. IX/MPRS/1966, yang menegaskan tentang kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar. 
 
17 Agustus 1966 
Presiden Soekarno melakukan pidato dalam rangka peringatan hari Proklamasi yang dikenal dengan Pidato Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah). Pidato Jas Merah tersebut mencerminkan sikap Presiden sebagai Mandataris MPR, yang tidak bersedia untuk aturan yang ditetapkan oleh MPRS. Sehingga, hal itu menimbulkan reaksi masyarakat, dan diwarnai aksi demonstrasi dari masyarakat maupun mahasiswa. 
 
1-3 Oktober 1966 
 
Massa KAMI, KAPPI, dan KAPI, melakukan demonstrasi di
depan istana merdeka. Mereka menuntut agar presiden
memberi pertanggung-jawaban tentang peristiwa
G-30-S/PKI. Kejadian ini mengakibatkan terjadinya
bentrokan fisik dengan pasukan Garnizun, sehingga
memakan korban. 
 
22 Oktober 1966 
 
Pimpinan MPRS mengeluarkan Nota, Nomor: Nota
2/Pimp/MPRS/1966, yang meminta kepada Presiden
Soekarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban
sesuai keputusan MPRS No.5/MPRS/1966. 
 
30 Nopember 1966 
 
KAPPI kembali melakukan demonstrasi ke DPR, dengan
tuntutan yang sama seperti demonstrasi sebelumnya. 
 
9-12 Desember 1966 
 
Sekitar 200 ribu mahasiswa mendesak agar presiden
Soekarno diadili. 
 
20 Desember 1966 
 
KAMI, KAPPI, KAWI, KASI, KAMI Jaya, KAGI JAYA, serta
Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH) menyampaikan
fakta politik kepada MA mengenai keterlibatan Presiden
Soekarno dalam G-30-S/PKI 
 
21 Desember 1966 
 
ABRI mengeluarkan pernyataan keprihatinan, yang antara
lain berbunyi butir ke-2), "ABRI akan mengambil
tindakan tegas terhadap siapa pun, pihak mana pun,
golongan mana pun yang akan menyelewengkan Pancasila
dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan PKI
Pemberontakan Madiun, Gestapu PKI, DI-TII, Masjumi,
PRRI-Permesta serta siapa pun yang tidak mau
melaksanakan Keputusan-keputusan Sidang Umum ke-IV MPRS." 
 
31 Desember 1966 
 
Pimpinan MPRS mengadakan musyawarah yang membahas
situasi pada saat itu, khususnya menyangkut
pelaksanaan Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966 tersebut
diatas, dan suara serta pendapat dalam masyarakat yang
timbaul setelah adanya sidang-sidang Mahmillub yang
mengadili perkara-perkara ex. Wapredam I dan ex. Men/Pangau. 
 
6 Januari 1967 
 
Pimpinan MPRS mengeluarkan surat nomor
A9/1/5/MPRS/1967, ditujukan kepada Jenderal TNI
Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS IX/Panglima
Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Surat itu
menegaskan seputar permintaan bahan-bahan
yuridis/hasil penyidikan. Isinya antara lain:
"Pimpinan MPRS mengkonstatasikan bahwa setelah
berlangsungnya Sidang-sidang Mahmillub yang mengadili
perkara-perkara ex-Waperdam I dan ex-Men/Pangau, telah
timbul berbagai suara dan pendapat dalam masyarakat
yang berkisar pada dua hal pokok, yaitu: - Tuntutan
penyidikan hukum untuk menjelaskan/menjernihkan
terhadap peranan Presiden dalam hubungannya dengan
peristiwa kontra revolusi G-30-S/PKI. - Tuntutan
dilaksanakannya Keputusan MPRS Nomor 5/MPRS/1966." 
 
10 Januari 1967 
 
Presiden Soekarno menyampaikan Pidato Pelangkap
Nawaksara, yang isinya antara lain: "Untuk memenuhi
permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai
penilaian terhadap peristiwa G-30.S, maka saya sendiri
menyatakan: 
 
G.30.S ada satu "complete overrompeling" bagi saya. 
Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5
Oktober 1966 mengutup Gestok. 17 Agustus 1966 saya
berkata "sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya,
saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali
pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa "Yang
bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan
MAHMILLUB" 
Saya telah autorisasi kepada pidato Pengemban S.P. 11
Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isro dan
Mi'radj di Istana Negara j.l., yang antara lain
berbunyi: 
"Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden
pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal 5
Oktober 1966 dan pada kesempatan-kesempatan yang lain,
maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif
menumpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI,
berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah
mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak
Presiden menggunakan istilah "Gestok""(Gestok: Gerakan
Satu Oktober, istilah Soekarno, Red)
10 Januari 1967 
 
Pimpinan MPRS mengeluarkan Catatan Sementara tentang
Pelengkap Pidato Nawaksara yang diumumkan Tanggal 10
Januari 1967. Catatan Sementara tersebut berisikan,
antara lain: (a) bahwa Presiden masih meragukan
keharusannya untuk memberikan pertanggungan-jawab
kepada MPRS sebagaimana ditentukan oleh Keputusan MPRS
No.5/MPRS/1966. (b) Perlengkapan Nawaksara ini bisa
mengesankan seolah-olah dibuat dengan konsultasi
Presidium Kabinet Ampera dan para Panglima Angkatan
Bersenjata". 
 
20 Januari 1967 
 
MPRS mengeluarkan Press Release Nomor 5/HUMAS/1967
tentang Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS tanggal 20
Januari 1967, yang isinya (terdiri empat point besar)
antara lain (poin ke-4): "Perlu diterangkan bahwa
dalam menghadapi persoalan-persoalan penting yang
sedang kita hadapi, soal Nawaksara, soal penegakan
hukum dan keadilan, soal penegakan kehidupan
konstitusional, Pimpinan MPRS sejak beberapa lama
telah mengadakan tindakan-tindakan dan usaha-usaha
koordinatif dengan Pimpinan DPR-GR, Presiden Kabinet
Khususnya Pengemban Ketetapan MPRS No. IX, dan
lembaga-lembaga negara maupun lembaga-lembaga
masyarakat lainnya..." 
 
21 Januari 1967 
 
Mengeluarkan Hasil Musyawarah Pimpinan MPRS Lengkap,
yang terdiri dari tiga butir besar, antara lain (poin
II), "Bahwa Presiden alpa memenuhi ketentuan-ketentuan
konstitusional sebagai ternyata dalam surat beliau No.
01/Pres/67, khususnya yang termaktub dalam angka
Romawi I: "Dalam Undang-Undang Dasar 1945, ataupun
dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS sebelum sidang Umum
ke-IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris harus
memberikan pertanggungan jawab atas hal-hal yang
"cabang". Pidato saya yang saya namakan Nawaksara
adalah atas kesadaran dan tanggungjawab saya sendiri,
dan saya maksudkannya sebagai semacam "progress-report
sukarela" tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah
saya terima terdahulu". Yang berarti mengingkari
keharusan bertanggung-jawab pada MPRS dan hanya
menyatakan semata-mata pertanggungan jawab mengenai
Garis-garis Besar Haluan Negara saja..." dst. 
 
1 Februari 1967 
 
Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban,
Jenderal Soeharto, dengan nomor surat R.032/1967,
sifatnya rahasia, dengan lampiran 2 (dua) berkas,
serta perihal: Bahan-bahan yuridis/hasil penyudikan.
Petikan laporan Team, pada bagian Pendahuluan itu,
antara lain sebagai berikut: "Tujuan penyusunan naskah
laporan ini untuk menyajikan data dan fakta yang telah
dapat diperoleh selama dalam persidangan MAHMILLUB
semenjak perkara NJONO dan SASTROREDJO, yang dalam
pengumpulannya ditujukan untuk memperoleh bahan
gambaran yang selengkap-lengkapnya terhadap
PERTANGGUNGAN-DJAWAB YURIDIS PRESIDEN DALAM PERISTIWA
G-30-S/PKI. Berdasarkan hasil-hasil persidangan tadi,
maka PRESIDEN harus mempertanggung-jawabkan segala
pengetahuan, sikap dan tindakannya, baik terhadap
peristiwa G-30-S/PKI itu sendiri maupun
langkah-langkah penyelesaian yang merupakan
kebijaksanaan PRESIDEN selaku KEPALA NEGARA dan
PANGLIMA TERTINGGI ABRI di dalam menjalankan
pemerintahan negara dimana kekuasaan dan
tanggung-jawab ada di tangan PRESIDEN, sesuai
ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 beserta
penjelasannya." 
 
9 Februari 1967 
 
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR)
mengeluarkan Resolusi tentang Persidangan Instimewa
MPRS, yang meminta kepada MPRS untuk mengundang dan
menyelenggarakan Sidang Istimewa MPRS
selambat-lambatnya bulan Maret 1967, serta meminta
kepada Pemerintah c.q. Ketua Presidium Kabinet Ampera
selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban/Pengembangan Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966
untuk memberikan keterangan dan bahan-bahan dalam
Sidang Istimewa tersebut untuk menjelaskan peranan
Presiden dalam hubungannya dengan peristiwa Kontra
Revolusi G-30-S/PKI untuk dapat dijadikan pegangan dan
pedoman para Wakil Rakyat dalam menggunakan wewenang
dan kewajibannya dalam Sidang Istimewa MPRS. 
 
9 Februari 1967 
 
DPR-GR mengeluarkan Penjelasan Atas Usul Resolusi
DPR-GR tentang Sidang Istimewa MPRS. Pada tanggal yang
sama DPR-GR mengeluarkan Memorandum mengenai
Pertanggungan-jawab dan Kepemimpinan Presiden Soekarno
dan Persidangan Istimewa MPRS. 
 
11 Februari 1967 
 
Empat panglima angkatan di tubuh ABRI bertemu Presiden
Soekarno di Bogor, menyampaikan pendiriannya agar
Presiden menghormati konstitusi dan Ketetapan MPRS
pada Sidang Umum ke-IV. 
 
12 Februari 1967 
 
Presiden bertemu kembali dengan keempat Panglima
tersebut, dan saat itu presiden meminta untuk
melakukan pertemuan kembali esoknya. 
 
13 Februari 1967 
 
Para panglima mengadakan rapat membahas masalah
pendekatan Presiden Soekarno tersebut. Sesudah bertemu
dengan presiden, kemudian mereka sepakat untuk tidak
lagi melakukan pertemuan selanjutnya. 
 
16 Februari 1967 
 
Pimpinan MPRS mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967
tentang Tanggapan Terhadap Pelengkapan Pidato
Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO
NAWAKSARA YANG DISAMPAIKAN DENGAN SURAT PRESIDEN NO.
01/PRES./'67 TANGGAL 10 JANUARI 1967, SEBAGAI
PELAKSANAAN KEPUTUSAN MPRS NO.5/MPRS/1966. Dan pada
tanggal yang sama dikeluarkan pula Keputusan MPRS
No.14/B/1967 tentang Penyelenggaran dan Acara
Persidangan Istimewa MPRS. 
 
19 Februari 1967 
 
Para Panglima dan Jenderal Soeharto bertemu dengan
Presiden Soekarno di Istana Bogor. Pertemuan tersebut
tidak menghasilkan kesimpulan. 
 
20 Februari 1967 
 
Presiden Soekarno memberikan Pengumuman, yang isinya
antara lain: KAMI, PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN
BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bahwa
konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera
diakhiri demi keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara,
maka dengan ini mengumumkan: Pertama: Kami, Presiden
Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terhitung
mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada
Pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, dengan tidak
mengurangi maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945.
Kedua: Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966
melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada
Presiden, setiap waktu dirasa perlu. Ketiga:
Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para
Pemimpin Masyarakat, segenap Aparatur Pemerintahan dan
seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk
terus meningkatkan persatuan, menjaga dan menegakkan
revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas
Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 seperti
tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan dengan penuh
rasa tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan
MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat
Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan
Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila."
Pengumuman ini ditandatangani pada tanggal 20 Februari
1967 oleh Presiden Republik Indonesia/Mandataris
MPRS/Panglima Tertinggi ABRI, Soekarno. 
 
23 Februari 1967 
 
Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS
No.IX/1996, melakukan Pidato melalui Radio Republik
Indonesia. Sianya antara lain, memberi penegasan soal
penyerahan kekuasaan oleh Presiden Soekarno kepada
dirinya. Pada tanggal yang sama, 23 Februari 1967,
(juga) DPR-GR mengeluarkan Resolusi No.724 tentang
pemilihan Pejabat Presiden Republik Indonesia, beserta
penjelasan terhadap resolusi tersebut. 
 
24 Februari 1967 
 
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia membuat
pernyataan yang isinya antara lain, mengenai
penyerahan kekuasaan pemerintah, dan menegaskan bahwa
Angkatan Bersenjata akan mengamakan terselenggaranya
Sidang Istimewa MPRS. Serta juga ditegaskan bahwa ABRI
akan mengambil tindakan tegas terhadap siapa pun dan
golongan manapun yang tidak mentaati pelaksanaan
kekuasaan pemerintahan, setelah berlakunya Pengumuman
Presiden tanggal 20 Februaru 1967. 
 
25 Februari 1967 
 
Pemerintah mengeluarkan Keterangan Pers, mengenai
telah dilakukannya penyerahan kekuasaan pemerintahan
negara oleh Soekarno kepada Pengemban Ketetapan MPRS
No.IX/MPRS/1966, yakni Jenderal Soeharto. 
 
7 Maret 1967 
 
MPRS mengadakan sidang istimewa dengan menghasilkan 26
Ketetapan. Ketika sidang MPRS itu dilakukan,
Mandataris duduk di barisan pimpinan MPRS yakni di
sebelah kanan Ketua MPRS, tidak seperti biasanya duduk
berhadapan dengan MPRS. Hasilnya, antara lain (seperti
dituangkan dalam TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967), yakni
Mencabut Kekuasaan Pemerintah dari Presiden Soekarno,
dan mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden
hingga dilaksanakannya Pemilu. 
 
Jejak Singa Podium Yang Terus Mengaum 
 
Bak seekor singa jantan, ia terus mengaum, mengobarkan
bara semangat bangsanya untuk lepas dari kerangkeng
imperialisme yang mengungkung. Dalam puncak peringatan
100 tahun Bung Karno (BK) bulan ini, menelusur
perjalanan hidup BK di tengah perjuangan diri dan
bangsanya merebut kemerdekaan dapatlah menyegarkan
kembali pemahaman kita akan nilai-nilai pengorbanan
seperti telah ditunjukkan oleh para Bapak Bangsa, agar
tetap menjadi bangsa yang bersatu betapa pun
carut-marutnya negeri ini.
 
Rumah bergaya zaman penjajahan Belanda di Jl. Ibu
Inggit Garnasih no. 8 (dulu Jl. Ciateul - Red.),
Bandung, kosong. Tanpa penghuni, pun tanpa perabot.
Ruang tidur utamanya berdebu, gelap tanpa lampu.
Satu-satunya pohon jambu tumbuh di halaman depan sisi
kanan hamparan rumput hijau. Semua memberi kesan bersahaja.
 
Di luar pagar halaman, para pedagang cuek menggelar
dagangan barang loak, seakan tak peduli dengan
bangunan itu. Padahal, rumah itu salah satu dari
banyak tempat founding father bangsa kita, Ir.
Soekarno, pernah tinggal. Di sana Soekarno menjalani
sebagian masa pendidikannya di Technische Hogeschool
atau Sekolah Teknik Tinggi (sekarang Institut
Teknologi Bandung - Red.). Di sana pula dia hidup
berumah tangga dengan Inggit Garnasih, mantan ibu
kosnya yang juga janda Haji Sanusi.
 
Pahit-manisnya kenangan di rumah itu dipaksa berakhir
kala ia mulai masuk-keluar bui hingga pengasingannya
ke Ende dan Bengkulu. Sejak itu ia tak pernah kembali
ke rumah itu. 
 
Banceuy, penjara pertama
 
Bangunan asli rumah tinggal BK di Bandung sudah tak
ada. Sepeninggal Inggit, 13 April 1984, rumah itu
rusak berat. Menurut Jarot Haryono, pengurus rumah,
bangunan tua itu dirobohkan oleh Pemda Propinsi Jawa
Barat, meski lalu dibangun kembali persis aslinya.
Hanya permukaan lantainya 40 cm lebih tinggi daripada
sebelumnya.
 
BK menghuninya sejak 1926, tiga tahun setelah menikahi
Inggit. Di hadapan penghulu, pasangan berbeda usia 12
tahun itu dikukuhkan sebagai suami-istri dengan Soerat
Keterangan Kawin no. 1138, tanggal 24 Maret 1923,
bermaterai 15 sen, dan berbahasa Sunda. BK mengenakan
kopiah beludru hitam, berpakaian serba putih dengan
jas tutup. Sedangkan Inggit berkain lereng putih
dengan kebaya bercorak bunga.
 
Setelah menikah, mereka menyewa rumah di Gang Jaksa.
Begitu penuturan Tito Asmara Hadi, cucu BK - Inggit
dari hasil perkawinan Ratna Djuami (anak angkat
mereka) dan Asmara Hadi. Setelah beberapa kali pindah,
akhirnya BK – Inggit menempati rumah di Jl. Ciateul 8.
Masa-masa sulit pun dimulai.
 
Sejak mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada
4 Juli 1927 bersama enam temannya, Soekarno disibukkan
dengan kegiatan berpidato politik di berbagai tempat.
Karena kepiawaiannya berorasi, ia dijuluki "Singa Podium".
 
Tapi, buat pemerintah Belanda, Soekarno dianggap duri
dalam daging yang harus terus diawasi. Maka, bila
kedatangan tamu aktivis dari luar daerah, BK terpaksa
mencari tempat rahasia untuk berbicara. Di bagian
belakang mobil sambil menundukkan kepala atau bahkan
di rumah bordil pun jadi. Inggit selalu mengikuti BK
setiap kali rapat umum. Celakanya, pertemuan seperti
itu tak pernah lepas dari amatan telik sandi Londo
(mata-mata Belanda).
 
Risiko ditangkap Belanda pun makin sulit dihindari.
Saat rapat umum di Solo dan Yogyakarta, isi pidatonya
dinilai menyinggung pemerintah Belanda yang dia sebut
imperialis. Maka, ketika di rumah Sujudi, S.H.,
pengacara dan anggota PNI, BK harus berurusan dengan
polisi. Di hari naas itu, 29 Desember 1929, ia yang
masih berpiyama karena baru terjaga dari lelap
tidurnya, diseret ke penjara bersama Gatot
Mangkupradja dan Maskun Soemadiredja. Sehari semalam
ia tak bisa mengontak siapa pun, termasuk Inggit.
 
Esoknya mereka dipindah ke Penjara Banceuy, Bandung.
Dijebloskan ke sel di Blok F. Bung Karno di sel no. 5,
Gatot di no. 7. Paginya, Maksum dan Supriadinata - dua
wakil PNI lainnya - menyusul dimasukkan ke sel no. 9
dan 11. "Kamar baru" BK lebarnya 1,5 m (separuhnya
untuk tempat tidur), panjangnya sama dengan peti mati.
Ruang sel tertutup rapat, yang ada hanya tembok.
 
Kini, penjara itu tak ada lagi, digantikan bangunan
untuk kegiatan ekonomi. Sel tempat BK mendekam masih
ada, namun tenggelam di antara kumuhnya bangunan sekitar.
 
Berbekal kertas dan tinta "selundupan" dari rumah,
serta kamus dari perpustakaan penjara, selama 1,5
bulan BK menyusun naskah pembelaan. Karena tak ada
meja, ia memanfaatkan kaleng tempat buang air kecil
dan hajat besar. Malam demi malam BK menaikkan kaleng
itu ke tempat tidur, lalu duduk bersila di depan meja
kaleng itu. Maka, tersusunlah pleidoinya yang
terkenal. Indonesia Menggugat (Bandung, 1931), judulnya. 
 
"Pindah" ke Sukamiskin
 
Di Gedung Landraad yang dibangun 1920-an, Soekarno
menghadapi tuntutan hukum. Ia didampingi Sujudi, S.H.
(ketua PNI cabang Jawa Tengah), Sartono S.H. (rekan BK
dari Algemeene Studieclub dan wakil ketua urusan
keuangan partai), serta Sastromuljono, S.H. (kawan di
Bandung), yang sukarela menjadi pembela.
 
Kini, gedung bersejarah di Jl. Perintis Kemerdekaan,
Bandung, menjadi Kantor Bidang Metrologi, Kanwil
Deperindag Jabar. Bangunan utamanya pun tak banyak
berubah. BK dan tiga rekan seperjuangannya diadili di
ruang kiri-depan gedung, berukuran 6 x 8 m dengan
dinding berlapis kayu jati setinggi 2 m.
 
"Sampai sekarang, kapstok tempat menyimpan jubah hakim
masih ada," ungkap Drs. Harwitoto, Kepala Kantor
Bidang Metrologi, Kanwil Deperindag Jawa Barat.
 
Usaha keras BK mencari keadilan, sejak 18 Agustus
1930, delapan bulan setelah ditahan, gagal. Pada 22
Desember 1930, BK dijatuhi hukuman empat tahun penjara
oleh majelis hakim pimpinan Siegenbeek van Heukelom.
Gatot Mangkupradja, Maskun Soemadiredja, dan
Supriadinata diganjar hukuman lebih ringan. Pembelanya
naik banding ke Raad van Justitie. Tapi pengadilan
tinggi tetap berpegang kepada keputusan Landraad
Bandung. Soekarno dkk. pun dipindahkan ke penjara
Sukamiskin. Nomor selnya, 233, dekat tangga besi, di
sudut lantai dua.
 
Kini sel itu tetap menjadi bagian dari 552 sel di LP
Sukamiskin. Cuma, nomornya berubah menjadi TA (Timur
Atas) 01. Sel dengan dua pintu dan dua jendela bercat
abu-abu tua berukuran 2,5 x 3 m itu sejak lama sengaja
dikosongkan. Di salah satu pintunya tertulis: "The
former room of BK".
 
Di dinding kuningnya menempel empat foto tua, sulaman
tusuk silang gambar BK, dan Garuda Pancasila. Di atas
lantai ubin abu-abu terdapat tempat tidur yang dapat
dilipat ke dinding, dengan kasur dan seprai putih. Ada
pula sebuah kursi, sebuah meja tulis dan kursi bulat,
lemari gantung, serta rak buku dengan sembilan buku
tua tentang atau karya Soekarno dalam bahasa Indonesia
dan Belanda. Di bawah tempat tidur, dekat jendela, ada
kloset duduk.
 
Berbeda dengan penghuni sel lain, BK diawasi lebih
ketat. Ia juga dipekerjakan untuk membuat garis di
atas kertas menggunakan mesin penggaris dan pemotong
penuh gemuk (pelumas). Sekarang mesin itu tersimpan di
salah satu sudut percetakan LP Sukamiskin.
 
Di luar sel, Inggit berjuang menyambung hidup. Ia
berjualan bedak buatan sendiri, menjahit pakaian dan
kutang, serta memasarkan kerajinan pandai besi
Ciwidey, dengan sistem bagi hasil. Untuk membiayai
perjuangan suaminya, Inggit menggadaikan perhiasannya.
Menurut Tito, tabungan hasil usaha itu menjadi modal
untuk memproduksi "Rokok Kawung Ratna Djuami bikinan
Ibu Inggit".
 
Dua tahun Kusno, nama kecil Soekarno, hidup dalam bui.
Pagi, 31 Desember 1931, BK dibebaskan. Dalam buku
Soekarno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia-nya Cindy
Adams tertulis, saat itu kepala penjara mengantarnya
hingga pintu keluar, dan bertanya, "Ir. Soekarno,
dapatkah Tuan menerima kebenaran dari kata-kata ini?
Apakah Tuan betul-betul akan memulai kehidupan baru?"
Sambil tangan kanannya memegang tiang pintu, ia
menjawab, "Seorang pemimpin tidak berubah karena
hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan
kemerdekaan, dan saya meninggalkan penjara dengan
pikiran yang sama."
 
Ucapannya terbukti. Perlawanan terhadap Belanda dan
upaya merdeka dari cengkeraman imperialis tetap
menggelora. Ia pun menulis selebaran, "Mencapai
Indonesia Merdeka" (Pengalengan, 1933). Karena dinilai
menghasut, Belanda merampas dan melarang selebaran
itu. Banyak rumah digeledah. Bahkan bila lebih dari
tiga orang berkumpul, akan berisiko dikepung.
 
Hal itu terjadi ketika 1 Agustus 1933 Soekarno dkk.
mengadakan pertemuan di rumah M.H. Thamrin di Jakarta,
yang selesai lewat tengah malam. Begitu BK keluar
rumah, seorang komisaris polisi sudah menunggu.
Kembali ia ditangkap. Soekarno kembali menghuni
Penjara Sukamiskin. Ia menempati sel khusus, yang
terletak di tengah ruangan besar yang dikosongkan. BK
seperti pertapa yang membisu selama delapan bulan
sebelum dibuang ke Ende, Flores. 
 
Malaria yang "menguntungkan"
 
Inggit, Ibu Amsi (mertua BK), Ratna Djuami, dan dua
pembantu setia (Muhasan dan Karmini), menyertai BK.
Setelah menempuh perjalanan dengan kereta api,
rombongan singgah dua hari dua malam di Surabaya. BK
berkesempatan menjumpai orang tuanya, R. Soekemi
Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Cindy Adams
melukiskan, mereka sama-sama takut, kalau-kalau
pertemuan itu akan memisahkan mereka selamanya.
 
Ramadhan K.H., penulis biografi Inggit Garnasih
Kuantar ke Gerbang, mengutip ucapan ibu BK, "Kusno
dewasa bukan lagi kepunyaan orang tuanya, melainkan
milik orang banyak dan tempat ia mengabdi."
 
Perjalanan diteruskan dengan kapal barang Van
Riebeeck. Setelah delapan hari "ditahan" di kamar
kelas dua di sebelah kandang ternak, mereka tiba di
Ende. Tidak ada fasilitas telepon atau telegram.
Satu-satunya penghubung dengan dunia luar adalah dua
kapal pos jang datang sekali sebulan. Tidak ada
bioskop, perpustakaan, atau fasilitas hiburan lain.
 
Keluarga BK tinggal di rumah tua beratap seng,
bertiang kayu, dan jendela kecil, di Ambugaga. Meski
tidak terlalu kecil, rumah itu terasa pengap. Ruang
depan terbuka sehingga terasa sejuk. Di halaman yang
cukup luas, keluarga Soekarno bertanam sayur dan
bunga. Pekarangan di sekeliling rumah ditanami pisang,
kelapa, dan jagung. Penerangannya cuma lampu minyak tanah.
 
Sekitar empat tahun (17 Februari 1934 - 14 Februari
1938) di pengasingan banyak peristiwa terjadi. Pada 12
Oktober 1935 ibu mertua BK meninggal akibat
arteriosklerosis. Ia juga mendengar H.O.S.
Tjokroaminoto meninggal. BK sempat menulis 12 naskah
sandiwara dan membuat kelompok pertunjukan drama. Ia
pun mengangkat lagi dua anak, yakni Sukarti (anak
pegawai asal Jawa) dan Jumir (anak keluarga jauh
Inggit). Di sini pula ia dan Ratna Djuami terjangkit
malaria.
 
Penyakit tropis itu justru "menguntungkan". Gara-gara
penyakit itu M.H. Thamrin protes ke Dewan Rakyat
(Volksraad). Pemerintah Belanda lalu memindahkan
keluarga Soekarno ke tempat yang lebih "menyenangkan",
Bengkulu.
 
Di Bengkulu BK menempati rumah di Anggut Atas (kini
Jl. Soekarno-Hatta). Di halaman bangunan bersejarah
berusia sekitar 80 tahun itu kini terpampang papan
bertuliskan "Rumah Kediaman BK, Proklamator/Presiden
RI Pertama, Dalam Masa Pengasingan Pemerintah Belanda,
di Bengkulu, (1938 – 1942)". Di dalamnya terdapat
perabot rumah tangga, perpustakaan, meja tamu, dan
sepeda buatan tahun 1931 yang dipakai BK. Di
perpustakaan pribadinya tersimpan buku-buku BK
berbahasa Indonesia, Belanda, dan Jepang.
 
Di sini BK aktif sebagai pendidik. Salah satu
muridnya, Fatmawati. Gadis 17 tahun itu putri Hassan
Din, ketua Muhammadiyah setempat yang tinggal di
Kampung Tjurup, beberapa kilometer dari Bengkulu.
Karena jauh, selama menempuh pendidikan Fatmawati
tinggal di rumah keluarga Soekarno dan dianggap
sebagai anggota keluarga sendiri.
 
Rupanya, BK menaruh hati pada gadis cantik itu. Inggit
mencium gelagat itu. Belum lagi selesai masalah rumah
tangga BK - Inggit, Jepang keburu menyerbu Sumatera
pada 12 Februari 1942. Dikawal tentara dan polisi
Belanda, BK dan keluarga akan dilarikan ke Australia.
Untung, mereka akhirnya terdampar di Padang, dan
ditampung di rumah kawan Soekarno, Woworuntu.
 
Saat itu Jawa juga ditaklukkan Jepang. Jenderal
Imamura, panglima tertinggi tentara pendudukan
bermarkas besar di Jakarta, memerintahkan pemimpin
bangsa Indonesia membentuk badan pemerintahan sipil.
Mereka menuntut BK diikutsertakan. Imamura pun
mengirim surat kepada Kol. Fujiyama, komandan tentara
Jepang di Bukit Tinggi. Isinya, supaya memberangkatkan
Soekarno ke Jawa. Pada 9 Juli 1942, BK tiba di Pasar
Ikan, Jakarta.
 
Di Jakarta-lah BK dan Inggit bercerai. BK pun menikahi
Fatmawati, yang memberinya lima anak. Di Jakarta pula
BK berhasil membebaskan negeri ini dari belenggu
penjajahan dengan memproklamasikan kemerdekaan RI.
Didampingi Bung Hatta, tepatnya pukul 10.00 WIB, di
Jl. Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi) ia
membacakan Naskah Proklamasi. 
 
Bikin kolam
 
Belanda tidak begitu saja menerima kemerdekaan
Indonesia. Mereka kembali dengan membonceng Sekutu. BK
dan keluarganya makin terancam. Maka, 3 Januari 1946
Soekarno, Hatta, serta para pemimpin dan tokoh lain
hijrah ke Yogyakarta dengan naik kereta api luar biasa (KLB).
 
BK dan keluarga tinggal di bekas rumah Gubernur
Belanda, yang kemudian dikenal sebagai Gedung Agung
atau Istana Yogyakarta. Wakil Presiden Mohammad Hatta
menempati gedung yang sekarang Markas Korem 072/Pamungkas.
 
Istana Yogyakarta terdiri atas enam bangunan utama,
yaitu Gedung Agung, Wisma Negara, Wisma Indraprasta,
Wisma Sawojajar, Wisma Bumiretewu, dan Wisma
Saptapratala. Ruangan utamanya, Ruang Garuda, untuk
menyambut tamu negara atau tamu agung lain. Di bagian
depan sisi kanan gedung utama terdapat Ruang
Soedirman, tempat Panglima Besar Soedirman berangkulan
untuk pamit gerilya kepada Presiden Soekarno. Di depan
kiri gedung utama ada Ruang Diponegoro. "Kini Ruang
Soedirman dan Ruang Diponegoro dipakai sebagai ruang
tunggu atau ruang duduk tamu," ujar Suprijanto P.,
Kepala Sekretariat Istana Kepresidenan Yogyakarta.
 
Dulu, di halaman istana Polisi Pengawal Pribadi
Presiden biasa berlatih baris-berbaris. BK
berlari-lari memutari mereka. Sementara Ibu Fatmawati
bermain bola keranjang bersama pengawal. Soekarno juga
sempat merancang kolam di halaman samping ruang tempat
BK memberi kursus politik kepada para wanita, remaja
putri, mahasiswi, dan pelajar putri.
 
"Ruangan itu masih ada. Menjadi ruang pertunjukan
kesenian kalau ada tamu negara. Juga sering untuk
pameran kerajinan batik, kulit, keramik, perak, dll.
Kolamnya juga masih ada," tutur Ariono A. Gaffar,
Bagian Peralatan dan Perawatan Istana Kepresidenan
Yogyakarta.
 
Di awal kepindahan ke Yogyakarta, BK sempat berpidato
di RRI Yogyakarta, mengumumkan ke seluruh dunia, sejak
6 Januari 1946 ibukota RI dipindah ke Yogyakarta.
Sejak itu banyak peristiwa penting terjadi. Salah
satunya, kelahiran Megawati Soekarnoputri (kini Wakil
Presiden RI).
 
Sedangkan peristiwa kebangsaan yang terjadi, antara
lain, 3 Juli 1946, Komandan Divisi Mayjen Soedarsono
memaksa BK menandatangani komposium kabinet.
Soedarsono dkk. dapat diamankan. Namun, pada 17
Agustus 1948 Presiden memberi amnesti dan abolisi
kepada 145 orang yang terlibat peristiwa itu.
 
Selain itu terjadi Agresi Militer I (21 Juli 1947) dan
II (19 Desember 1948). Pemerintahan Republik Indonesia
Darurat pun dibentuk (21 Desember 1948 - 3 Juli 1949).
BK lagi-lagi ditangkap. Juga Bung Hatta dan pembesar
lain. Pada 27 Desember 1948, mereka diasingkan ke
Brastagi, lalu ke Prapat di Sumatera Utara, dan
akhirnya ke Bangka. Mereka bebas pada 6 Juli 1949.
 
Istana Yogyakarta berfungsi kembali sebagai kediaman
resmi Presiden. BK kembali ke Jakarta setelah Ratu
Juliana menandatangani piagam penyerahan kedaulatan RI
di hadapan delegasi Indonesia pimpinan Dr. Mohammad
Hatta, pada 27 November 1949, di Istana Den Dam, Amsterdam. 
 
Jadi tahanan di Istana Bogor
 
Pada 7 Juli 1952, BK menikahi Hartini (23). Fatmawati
protes, lalu meninggalkan Istana Merdeka (1953). Dua
tahun setelah menikah, pasangan BK - Hartini menghuni
Paviliun II Istana Bogor. Hanya di akhir pekan BK
berkumpul dengan Hartini. Di sanalah lahir Taufan dan Bayu.
 
Paviliun yang dihuni hingga 1967 itu kini masih
terpelihara dengan baik. Letaknya di sisi kiri depan
Istana, merupakan satu dari lima paviliun. Ada ruang
tamu, ruang makan, dan lima ruang tidur plus kamar
mandi dalam. Cuma, semua perabot lama telah diganti.
Sekarang bangunan seluas 467 m2 itu menjadi tempat
akomodasi pejabat setingkat menteri.
 
Paviliun II juga tercatat sebagai tempat bersejarah
ketika Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
ditandatangani pada 1966. Namun bagaimana kejadian
sebenarnya, hingga kini masih gelap. Naskah aslinya
pun entah di mana. Padahal, berdasarkan naskah itu
MPRS menerbitkan sejumlah Tap MPRS dan mengangkat
Soeharto sebagai presiden.
 
Sejak Supersemar terbit, Soekarno tetap tinggal di
Istana Bogor. Panglima Kodam (Pangdam) VI/Siliwangi
H.R. Dharsono melarang BK keluar dari Jawa Barat
dengan mengeluarkan surat keputusan pada 3 Agustus
1967. Pangdam V/Jayakarta Amir Machmud pun melarang BK
menginjakkan kaki di Jakarta. Meski praktis "tidak
berkuasa" lagi, BK diyakini masih berpengaruh untuk
melakukan aksi mengganggu keamanan.
 
Menyusul Sidang MPRS Maret 1968 yang mencopotnya
sebagai presiden, BK dipindah ke Istana Batutulis
(Hing Puri Bhima Sakti), Bogor. Penjagaan diperketat
meski kesehatannya makin memburuk. Permohonan Hartini,
agar Soekarno dapat istirahat di Jakarta sepekan
setiap bulan, tak ditanggapi. Malah, tanpa seizin
petugas, anak-anaknya pun tidak bisa menjenguk.
 
BK sendiri akhirnya mengirim surat ke Soeharto,
meminta izin pindah ke Jakarta. Barulah Soeharto
memerintahkan pemindahannya ke Wisma Yaso, setelah
setahun diisolasi di Istana Batutulis. Di sini BK
pernah melewati hari-hari indah bersama Ratna Sari
Dewi, istri ketiganya.
 
Kekangan pemerintah makin dahsyat. Keluarga BK tak
bebas lagi menengok. Awal 1969, BK tidak boleh
dijenguk siapa pun, termasuk Hartini. BK dilarang ke
halaman. Bacaan disortir. Selain tak boleh baca koran,
mendengarkan radio pun dilarang.
 
Perlakuan itu makin merapuhkan jiwanya. Fisik "Singa
Podium" melemah. Pada 16 Juni 1970 malam ia dilarikan
ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Empat
hari kemudian, 20 Juni malam, keadaan BK benar-benar
memburuk, kesadarannya berangsur menghilang. Esok
paginya, Minggu 21 Juni 1970, Sang Proklamator
berpulang. Ia meninggalkan tiga istri dan delapan anak
tercinta. Ia juga mendahului Inggit, yang 20 tahun
menemaninya mengarungi masa sulit, serta tiga anak
angkatnya.
 
Dengan upacara kenegaraan, jenazah BK diterbangkan dan
Sang Singa yang lahir di Surabaya (bukan di Blitar -
Red.) pada 6 Juni 1901 dimakamkan di kompleks
pemakaman Desa Bendogerit, Kecamatan Kota Blitar, Jawa
Timur. Pusaranya diapit makam sang ibu di sisi kanan
dan ayahnya di kiri.
 
Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No. 14 Tahun
1978, makam BK dipugar. Peresmian setelah pemugaran
dilakukan Presiden Soeharto pada 21 Juni 1979.
 
Sesuai pesan BK semasa hidup, makam tidak dikijing,
tapi dibuat hampir rata dan di atasnya ditaruh nisan
batu pualam hitam, konon seberat 8 ton, bertuliskan:
Di sini dimakamkan BK Proklamator Kemerdekaan dan
Presiden Pertama Republik Indonesia, Lahir 6 Juni
1901, Wafat 21 Juni 1970.
 
Hingga sekarang, makamnya tak pernah sepi dari
peziarah. Mustawan (58), seksi Pengelolaan Pengawasan
Makam BK, menyebutkan, pengunjung makam BK pada
Januari 2001 saja mencapai 36.506 orang. "Hari-hari
yang ramai, Kamis, Jumat, Sabtu, dan Minggu. Liburan
juga ramai. Tapi bulan Puasa sepi," tambahnya.
 
Ada kalanya peziarah memungut kuntum bunga yang
berserakan di tempat tabur bunga untuk dibawa pulang.
Untuk apa? "Ya, tergantung kepercayaan masing-masing.
Sekadar untuk 'oleh-oleh'. Ada yang bilang ngalap
barokah. Malah ada yang membawa pulang kerikil dari
areal makam," kata H. Soeharto Zakaria (58), jurukunci
ke-4 makam BK.
 
Di luar areal makam, puluhan wanita penjaja bunga
tabur siap menyambut siapa pun, entah yang akan
berziarah dan nyekar (tabur bunga) atau sekadar
berwisata. Juru potret komersial pun merayu pengunjung
untuk membuat potret kenangan, langsung jadi! Di
sepanjang pinggir Jl. Slamet Riyadi, Blitar, berjajar
pedagang beragam barang suvenir.
 
Rupanya, BK tak cuma membuat negeri ini bebas dari
penjajahan. Ia pun menghidupi (sebagian) rakyat negeri
yang dibidaninya, meski ia telah tiada.
 
 
__________________________________________________
Do you Yahoo!?
Yahoo! Web Hosting - establish your business online
http://webhosting.yahoo.com
 

Tidak ada komentar: