Sabtu, 28 Juli 2012

Kumpulan Pidato 1 Juni 1945

SOEKARNO PIDATO SOEKARNO: LAHIRNYA PANCA SILA 1/4

Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya.
Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini.
Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan d a s a r n y a Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda:"P h i l o s o f i sc h e g r o n d s l a g" dari pada Indonesia merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian, apakah yang saya artikan dengan perkataan „merdeka".
Merdeka buat saya ialah: „ p o l i t i c a l i n d e p e n d e n c e „, p o l i t i e k e o n a f h a n k e l i j k h e i d . Apakah yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?

Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata:
Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya katakan didalam bahasa asing, ma’afkan perkataan ini - „zwaarwichtig" akan perkara yang kecil-kecil. „Zwaarwichtig" sampai -kata orang Jawa- „njelimet".
Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah kepada perjalanan dunia itu.
Banyak sekali negara-negara yang merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain! Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu? Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka, Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!

Alangkah berbedanya i s i itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai,itu selesai, itu selesai, sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui, yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu.
Bacalah buku Armstrong yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di Saudi Arabia itu!! Toch Saudi Arabia merdeka!
Lihatlah pula - jikalau tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas? Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara Soviet itu.
Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan!
Maaf, P. T. Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal ini dan itu dahulu semuanya!

Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai njelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur! (Tepuk tangan riuh).
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun ‘33 saya telah menulis satu risalah, Risalah yang bernama „Mencapai Indonesia Merdeka". Maka di dalam risalah tahun ‘33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu j e m b a t a n e m a s . Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa d i s e b e r a n g n y a jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam s a t u m a l a m, - in one night only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang! S e s u d a h „jembatan" itu diletakkan oleh Ibn saud, maka d i s e b e r a n g jembatan, artinya k e m u d i a n d a r i p a d a i t u, Ibn Saud barulah memperbaiki masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum tani, - semuanya diseberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff*), dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai radio-station, yang menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?

Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia merdeka t e l a h dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah, Lenin baru mengadakan radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff! Maka oleh karena itu saya minta kepada tuan-tuan sekalian,
janganlah tuan-tuan gentar di dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih dulu harus selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - jikalau tuan-tuan demikian -, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang! (Tepuk tangan riuh).

Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan „INDONESIA MERDEKA SEKARANG". Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka s e k a r a n g , s e k a r a n g , s e k a r a n g ! (Tepuk tangan riuh).
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia merdeka, - kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara -saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan ialah satu j e m b a t a n ! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai
Nippon untuk merdeka, maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro, atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence, politieke onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan:
Indonesia merdeka, s e k a r a n g ! Jikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke- rumiyin, tunggu dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak)

Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun kita tidak akan menolak, s e k a r a n g p u n kita menerima urusan itu, s e k a r a n g p u n kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
(Tepuk tangan menggemparkan)

Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara Soviet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi ada satu yang s a m a, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup m e m p e r t a h a n k a n negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya. Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik, tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup m e m p e r t a h a n k a n negerinya dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia, walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati, mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.
(Tepuk tangan riuh)
*) Yang dimaksud Dnepropetrovsk, suatu kawasan industri di mana terdapat bendungan raksasa di sungai Dnepr, dan disitu dibangun stasiun pembangkit tenaga listrik yang merupakan tulang punggung perindustrian Soviet Rusia (ket. - LSSPI

M Djumaini Kartaprawira PhD 
 
 
BUNG KARNO 
SEBAGAI BAPAK PEMERSATU 
BANGSA INDONESIA DAN AJARANNYA
 
PERJUANGAN BUNG KARNO MEMPERSATUKAN BANGSA 
 
Bung Karno sebagai pejuang pemersatu bangsa, pejuang
melawan kolonialisme dan imperialisme, proklamator
kemerdekaan bangsa Indonesia dan presiden RI pertama
selalu dikenal dan dihormati oleh rakyat Indonesia.
Sebab selama hayatnya Bung Karno telah menyerahkan
seluruh tenaga dan fikirannya untuk mempersatukan
bangsa Indonesia agar menjadi bangsa besar yang hidup
dalam masyarakat berkeadilan dan berkemakmuran -
masyarakat adil makmur, yang bebas dari penindasan
manusia atas manusia, dan eksploitasi manusia atas
manusia.
 
Semua konsekuensi perjuangan untuk itu dia hadapi
dengan berani, meskipun harus masuk keluar penjara,
menjalani pembuangan dari satu tempat ke tempat lain,
menghadapi pencaci-makian dari lawan-lawan politiknya,
pengkhianatan dari kawan-kawan seperjuangannya,
mempertaruhkan kekuasaan dan jiwanya pada saat
kesehatannya yang sudah sa-ngat kritis. 
 
Kepeduliannya atas nasib rakyat Indonesia yang dijajah
oleh kolonialisme Belanda adalah motor yang
menggerakkan jiwa Bung Karno untuk menyerahkan seluruh
jiwa raganya dalam perjuangan politik tersebut. Maka
tidak mengherankan kalau garis perjuangan Bung Karno
adalah melenyapkan kolonialisme untuk berdirinya
Indonesia Merdeka. Bung Karno menyadari bahwa
perjuangan melawan kolonialisme tidak bisa lepas
dengan perjuangan melawan kapitalisme. Maka perjuangan
Indonesia Merdeka juga tertuju kepada terbentuknya
masyarakat adil makmur (sosialisme Indonesia), yang
bebas dari eksploitasi manusia atas manusia. Dan
akhirnya, perjuangan untuk Indonesia Merdeka dan
terbentuknya masyarakat adil makmur tidak bisa
tercapai tanpa adanya persatuan seluruh bangsa
Indonesia.
 
Atas dasar pokok-pokok pikiran tersebut di atas Bung
Karno telah berhasil:
1. Menggugah rasa kebangsaan, sehingga bisa
membangkitkan kesedaran diri bahwa harus bersatu padu
untuk melawan penjajahan. Sebagai hasil proses
kesadaran itulah maka lahir Sumpah Pemuda pada Oktober
1928 yang merupakan manifestasi tekad para pemuda
untuk mewujudkan bangsa Indonesia bersatu di bawah
semboyan satu bangsa - bangsa Indonesia, satu bahasa -
bahasa Indonesia, dan satu tanah air - tanah air
Indonesia.
2. Dengan dukungan rakyat, memproklamirkan kemerdekaan
bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 45, yang
diikuti dengan pembentukan UUD 1945, pemerintahan
beserta alat perlengkapan negara lainnya.
Indonesia Merdeka inilah yang selalu ditunggu segera
kelahirannya, tanpa menunggu sampai rakyat bisa
membaca, berbudaya tinggi dsb.
3. Memimpin bangsa untuk mempertahankan negara dari
usaha-usaha come-backnya kolonialisme Belanda yang
disertai dengan aksi kolonial pertama dan kedua.
Bagaimanapun beratnya mempertahankan negara menghadapi
lawan yang persenjataannya jauh melebihi, dengan
persatuan seluruh kekuatan bangsa perjuangan dapat
dimenangkan.
4. Menggagalkan politik devide et impera Belanda yang
dengan mendirikan negara-negara boneka bertujuan untuk
mengeroyok RI di dalam Republik Indonesia Serikat.
Tetapi kenyataannya, negara-negara buatan van Mook
tersebut satu demi satu bergabung dengan RI. Dan
akhirnya RIS berubah menjadi NKRI secara
konstitusional. Hal ini membuktikan api persatuan Bung
Karno tetap membakar jiwa rakyat di daerah-daerah
tersebut dan gagallah proyek federalisme van Mook.
5. Dengan tindakan tegas menyelamatkan negara dari
bahaya separatisme dan gerombolan-gerombolan
pembrontak (RMS, PRRI-Permesta, Di/TII, Gerombolan
Andi Azis dll.) sehingga Indonesia terhindar dari
ancaman disintegrasi yang sangat berbahaya bagi
eksistensi negara Indonesia yang masih muda.
6. Memimpin perjuangan rakyat merebut kembali Irian
Barat dari cengkeraman kolonialisme Belanda, sehingga
tercapailah persatuan dan kesatuan Indonesia dari
Sabang sampai Merauke.
 
Harus diakui bahwa perjuangan mempersatukan bangsa
yang begitu majemuk suku bangsanya, etniknya,
agamanya, tingkat budayanya, wilayah dan jumlahnya
yang begitu besar, dan dilakukan dalam keadaan yang
serba kekurangan adalah kesuksesan yang maha besar.
Suatu bukti persatuan bangsa dapat memenangkan segala
macam perjuangan.
 
 
SUMBER IDE PERSATUAN BUNG KARNO
 
Seluruh kiprah perjuangan Bung Karno yang telah
berhasil mempersatukan bangsa Indonesia melawan
kolonialisme Belanda, mendirikan Negara Republik
Indonesia (bahkan menggalang solidaritas internasional
melawan nekolim), adalah buah ide dan gagasan
cemerlang yang dilahirkannya sejak masa mudanya. 
 
Suatu ide politik tidak akan lepas dari suatu situasi
di mana penggagas berpijak. Ide Bung Karno lahir di
mana bangsa Indonesia dalam keadaan nestapa karena
penjajahan kolonialisme Belanda dan eksploitasi sistem
kapitalisme. Maka tidak mengherankan kalau benang
merah ide dan ajaran Bung Karno adalah persatuan
bangsa Indonesia untuk mengubah kenestapaan rakyat
menuju masyarakat adil dan makmur yang bebas dari
eksploitasi manusia atas manusia. Jelas ide persatuan
tersebut mempunyai tujuan luhur, bukannya persatuan
demi persatuan.
 
1. Ide persatuan yang pertama, dipublikasikan dalam
sebuah artikel “Nasionalisme, Islamisme dan
Marx-isme”. Dalam artikel tersebut dengan jelas ide
persatuan antara tiga golongan itu menjadi intinya.
Sebab masyarakat Indonesia pada dasarnya langsung atau
tidak, terlibat dalam ketiga ideologi tersebut. Dan
kenyataan tersebut tidak bisa dibantah oleh siapapun.
Dalam artikel tersebut, yang ditulis pada tahun 1926
di dalam Suluh Indonesia Muda, dan dalam masa
gawat-gawatnya perjuangan melawan kolonialisme
Belanda, dengan jelas Bung Karno menganjurkan dan
membuktikan bahwa persatuan antara masyarakat penganut
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme bisa terjadi. 
 
2. Ide persatuan tercermin juga dalam ajaran
Marhaenisme. Dalam Marhaenisme ini tercermin ide
persatuan kekuatan akar bawah, sebab persatuan di sini
terutama diarahkan kepada kaum: proletar, tani dan
kaum melarat lainnya. Mereka inilah yang oleh Bung
Karno disebut kaum marhaen.
Untuk merekalah perjuangan terbentuknya masyarakat
adil dan makmur dengan memegang panji-panji
sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.
 
3. Ide Persatuan tercermin dalam Pancasila, yang
dilahirkan oleh Bung Karno pada 1 Juni 1945 di dalam
pidatonya di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dengan jelas
sekali ajaran persatuan nasional, persatuan bangsa
Indonesia ini dituangkan dalam pidato tersebut.
Anggota BPUPKI yang terdiri dari bermacam-macam
golongan ternyata bisa menerima Pancasila sebagai
Dasar Filsafat Negara Indonesia Merdeka. Bung Karno
dalam pidatonya di Universitas Indonesia tahun 1953
yang berjudul “Negara Nasional dan cita-cita Islam”
melukiskan bagaimana susah payahnya menghasilkan
kompromi dalam sidang BPUPKI. Sebab kalau tidak
menyetujui adanya Pancasila mungkin Indonesia tidak
akan muncul sebagai Indonesia seperti dewasa ini.
Mungkin di wilayah ex-Hindia Belanda ini yang muncul
adalah negara Indonesia tanpa Minahasa, Bali, Batak
Toba, Kep. Maluku, Timor, Flores dan lain-lainnya.
Demikianlah Pancasila yang merupakan tuangan ide
persatuan bangsa, yang kemudian dijadikan dasar
filsafat negara RI.
 
4. Ide Persatuan tercermin juga dalam konsep NASAKOM
(persatuan unsur Nasionalis, Agama dan Komunis).
Nasakom ini sesungguhnya penyempurnaan dari ide yang
tertuang dalam artikel “Nasionalisme, Islamisme dan
Marxisme”. Hanya saja unsur Islam diperluas menjadi
unsur Agama(A), sehingga di dalamnya persatuan
tersebut selain Islam terdapat agama-agama lainnya
(Katolik, Protestan Hindu, Budha). Sedang unsur KOM
adalah penegasan bahwa dialah yang karena tanpa tedeng
aling-aling menonjolkan ide Marxisme, diakui sebagai
unsur yang mewakili golongan marxisme. Dengan demikian
NASAKOM merupakan realisasi ide persatuan Bung Karno
sesuai konfigurasi peta politik konkrit pada waktu
itu.
 
 
PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA DAN PEDOMAN PERSATUAN
NASIONAL
 
Semua ide Bung Karno tentang persatuan tersebut di
atas terkonsentrir di dalam Pancasila, yang telah
menjadi dasar negara RI. Maka uraian mengenai
Pancasila akan mendapatkan tempat yang utama.
 
Situasi politik di Indonesia yang sangat rawan akan
ancaman disintegrasi bangsa adalah disebabkan karena
akibat kekuasaan rezim orde baru yang telah
menyelewengkan nilai-nilai Pancasila. Maka mengkaji,
menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila
adalah salah satu usaha penting untuk menghindarkan
bahaya disintegrasi bangsa dewasa ini.
Fakta historis tanggal 1 Juni 1945 yang melahirkan
Pancasila harus dijadikan titik tolak dalam mengkaji
dan mengamalkan Pancasila, supaya tidak terjadi
penafsiran kontroversial tentang hakekat Pancasila
yang sebenarnya. 
 
Adalah sangat penting untuk mengembalikan makna
nilai-nilai Pancasila sesuai dengan apa yang digagas
oleh Bung Karno. Maka dalam mengkaji balik Pancasila,
pertama-tama harus kita akui bahwa Pancasila itu
digali oleh Bung Karno, yang tertuang dalam pidatonya
pada tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia. Sebab dari situ kita akan menemukan inti
filsafat Pancasila sebenarnya, yang langsung dari
penggalinya - Bung Karno. 
Mengenai Pancasila, Bung Karno selalu menyatakan
dirinya hanya sebagai Penggalinya. Tapi sesungguhnya
pernyataan itu hanya sebagai pernyataan rendah hati.
Yang tepat sesungguhnya Bung Karno tidak hanya sebagai
penggali, tetapi juga penciptanya. ‘Menggali’ berarti
mengambil sesuatu yang masih merupakan bahan mentah
dari kandungan bumi. Sedang ‘mencipta’ berarti
mengolah, membuat sedemikian rupa sehingga bahan-bahan
galian yang masih mentah tersebut menjadi barang-jadi.
 
 
Seperti kita ketahui Sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
misalnya, memang digali dari bumi Indonesia, dimana
rakyatnya telah berabad-abad menganut berbagai macam
agama. Tapi tergalinya fakta tersebut, belumlah cukup
untuk mengatakan adanya atau terciptanya sila
Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan Falsafah
Pancasila. Fakta tersebut masih merupakan bahan galian
yang mentah. Sebab fakta adanya bermacam-macam agama
belum merupakan konsepsi falsafah yang bisa menangkal
kemungkinan timbulnya bentrokan atau peperangan antara
penganut-penganutnya. Bahan galian tersebut baru
menjadi salah satu sila dari Pancasila setelah diolah
oleh Bung Karno menjadi suatu rumusan filsafat negara
yang berintikan toleransi, saling menghormati dan
persatuan dari para penganut berbagai-bagai agama
untuk bersama-sama mewujudkan Indonesia yang adil dan
makmur. 
Begitu juga sila Kebangsaan (nasionalisme, persatuan
Indonesia) adalah hasil godogan Bung Karno dari rasa
kesadaran sukubangsa-sukubangsa yang mendiami wilayah
Indonesia sebagai kesatuan bangsa Indonesia dengan
rasa kesadaran menghargai dan menghormati martabat
bangsa lain. Dengan digalinya fakta bahwa di kepulauan
Indonesia terdapat suku-suku bangsa yang
bermacam-macam, belum bisa menjamin tidak adanya
permusuhan antarsuku. Lebih dari itu Nasionalisme
dalam filsafat Pancasila adalah Nasionalisme yang
berpadu dengan Humanisme, yang oleh Bung Karno disebut
sosio-nasionalisme (Ben Anderson menamakannya
Nasionalisme Kerakyatan). Jadi jelas bukan
nasionalisme sempit yang menuju kepada sovinisme,
seperti yang berkembang di Eropah.
 
Sedang sila Demokrasi (Musyawarah-mufakat, atau
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan /perwakilan) adalah suatu hasil
godogan antara galian yang berwujud musyawarah dan
mufakat yang telah ada berabad-abad di kalangan
masyarakat Indonesia dengan falsafah yang mengarah
kepada tercapainya keadilan dan kemakmuran rakyat
bersama. Maka demokrasi yang demikian itu bukanlah
demokrasi yang menjurus ke anarkisme, yang
liberal-liberalan untuk berlomba memupuk kekuasaan dan
kekayaan bagi diri sendiri, keluarganya atau
kelompoknya, hingga melupakan kepentingan rakyat.
Demokrasi berdasarkan filsafat Pancasila oleh Bung
Karno disebut Sosio-Demokrasi, yaitu Demokrasi yang
bersenyawa dengan tuntutan Sila Keadilan Sosial, yang
merupakan demokrasi di bidang politik, ekonomi dan
budaya.
Demikianlah bahan-bahan mentah yang telah digali Bung
Karno telah dia masak dengan ‘bumbu-bumbu’: toleransi,
persatuan dan cita-cita masyarakat adil makmur
sehingga tercipta menjadi Pancasila Dasar Filsafat
Negara RI dan pedoman untuk perjuangan persatuan
nasional. Kita tidak bisa memalsukan sejarah
Pancasila, yang dilahirkan pada 1 Juni 1945 di depan
sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia. Maka segala tafsiran mengenai
Pancasila haruslah bertolak pada sumber aslinya, kalau
tidak mau dikatakan memutar-balikkan sejarah dan
hakekat Pancasila. 
 
Selanjutnya Bung Karno menyatakan Pancasila bisa
diperas menjadi Trisila (Sosio-nasionalisme,
Sosio-demokrasi, Ketuhanan YME). Sedang Trisila bisa
juga diperas menjadi Ekasila - Gotongroyong. Perasan
terakhir ini mencerminkan inti dari Pancasila, yaitu
persatuan seluruh kekuatan bangsa Indonesia untuk
bersama-sama bergotong royong berjuang demi
terbentuknya masyarakat adil dan makmur.
 
Formulasi Pancasila seperti yang diucapkan Bung Karno
di BPUPKI diformulasikan di dalam UUD 45 (dan
konstitusi RIS, UUDS NKRI 1950) agak berbeda. Meskipun
demikian Pancasila yang tercantum di dalam UUD 45
(Pembukaan) tidak bisa dikatakan bertentangan dengan
Pancasila yang diucapkan Bung Karno pada 1 Juni 1945.
Hanya dua hal yang menurut pendapat kami harus
mendapatkan perhatian bahwa; 
1. Bagaimanapun formulasinya di dalam Pembukaan UUD
45, tetaplah Bung Karno sebagai Penggali/Penciptanya. 
2. Bagaimanapun formulasinya di dalam Pembukaan UUD 45
haruslah segala penafsiran dan pengamalannya sesuai
dengan yang tersurat dan tersirat di dalam pidato
Pancasila Bung Karno. Hal ini penting sekali untuk
menghindarkan penyalah gunaan ajaran Pancasila. 
 
 
LIKU-LIKU SEJARAH PERJALANAN PANCASILA
 
Di masa kekuasaan Orde Baru Pancasila selalu dijadikan
label pada kegiatan dan kebijakannya. Nama Pancasila
dicatut untuk menutupi kekuasaan fasis otoriter yang
antirakyat, antinasional dan antidemokrasi.
Demikianlah dengan pembubuhan kata Pancasila pada
“Demokrasi” muncullah apa yang dinamakan “Demokrasi
Pancasila”, dengan mana rezim Orde Baru selama 32
tahun telah melakukan tindakan-tindakan yang melanggar
Pancasila itu sendiri, UUD 45, HAM dan keadilan. 
 
Di samping itu Orde Baru tidak hanya menjadikan
Pancasila sebagai label belaka, tapi juga memperalat
sedemikian rupa sehingga dengan mudah penguasa bisa
mencap seseorang yang berbeda politiknya, melanggar
atau mengkhianati Pancasila. Dan bersamaan dengan itu
penguasa menyebarkan “momok komunis/komunisme” untuk
menakut-nakuti rakyat. 
Rezim Orde Baru juga melakukan usaha-usaha untuk
menghapus jasa-jasa Bung Karno dari sejarah Indonesia
dan memanipulasi Pancasila. Misalnya, penguasa yang
melalui mendikbudnya - Nugroho Notosusanto, berusaha
memalsukan fakta sejarah, dengan pernyataannya bahwa
penggali Pancasila bukan Bung Karno. Kita belum lupa
penghapusan peringatan 1 Juni - Hari lahirnya
Pancasila dan diganti dengan peringatan terbunuhnya
para jenderal dalam peristiwa G30S dengan nama Hari
Kesaktian Pancasila, yang tidak ada kaitannya sama
sekali dengan Pancasila. Dan sangat menyedihkan bahwa
uang negara dihambur-hamburkan oleh rezim Orde Baru
hanya untuk mengelola suatu badan yang bernama BP-7
(dbp. Alwi Dahlan), yang nota bene bertujuan agar
“Pancasila” tetap bisa dimanfaatkan sebagai kendaraan
untuk mempertahankan kekuasaan Orba. 
 
Pada zaman Orde Baru, 5 paket UU politik dan Dwifungsi
ABRI merupakan perangkat politik yang jelas-jelas
menjegal realisasi sila Demokrasi
(musyawarah-mufakat), sehingga mengakibatkan demokrasi
menjadi lumpuh tidak berjalan. Kekuasaan
totaliter-militeristik Orde Baru selama 32 tahun
mengakibatkan rakyat dewasa ini harus mulai belajar
demokrasi lagi. Dan terasa sampai dewasa ini demokrasi
hanya dijadikan alat untuk menang-menangan dalam
perebutan kepentingan golongan, sehingga mengorbankan
kepentingan rakyat.
 
Kesenjangan sosial warisan Orde Baru sampai sekarang
terus ditanggung rakyat. Kalau kesenjangan sosial ini
diumpamakan sebagai rumput kering, maka siapa saja
yang melempar api kepadanya akan terbakarlah rumput
tersebut dan terjadilah malapetaka yang tragis. Api
penyulutnya itu bisa dari perselisihan etnis, agama,
politik, dan apa saja. Maka tidak mengherankan
timbulnya keresahan-keresahan sosial di beberapa
daerah sebagai pencerminan menipisnya nilai-nilai
Pancasila di kalangan masyarakat.
 
Dengan adanya pembakaran gereja-gereja dan tempat
ibadah lainnya, telah membuktikan tentang adanya
bahaya yang mengancam ajaran toleransi kehidupan
antaragama yang terkandung dalam Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa. Dengan adanya bentrokan fisik antara
orang-orang Dayak dan orang-orang Madura di Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah yang mengorbankan banyak
nyawa juga membuktikan adanya bahaya yang mengancam
atas ajaran kerukunan antarsuku bangsa yang terkandung
di dalam Sila Persatuan Indonesia (Nasionalisme).
Ucapan seorang menteri Orde Baru pada 17 Juni 1997 di
Surabaya bahwa:”Halal darah dan nyawa para perusuh”,
menunjukkan bagaimana nilai-nilai Pancasila direalisir
oleh Orde Baru.
 
Seandainya saja kue hasil pembangunan itu bisa
mengucur dari atas ke bawah - ke rakyat, dari pusat ke
daerah, mungkin keresahan sosial sedikit demi sedikit
bisa diatasi. Tapi sampai sekarang kue pembangunan
tersebut hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja.
Padahal untuk membiayai terciptanya ‘kue pembangunan’
ini telah dikeruk habis-habis kekayaan rakyat (minyak,
gas, hutan, emas dll.) ditambah dengan hutang luar
negeri yang berjumlah kurang lebih 150 milyar USD. Ada
suatu anggapan bahwa kalangan lapisan atas dengan
sengaja berusaha melupakan katakunci ‘pemerataan’,
yang sejak dulu (sebelum adanya perestroikanya
Gorbacev) telah merupakan tujuan dari Sila Keadilan
Sosial. Sedang pembangunan yang berwujud gedung-gedung
tinggi megah, obyek-obyek rekreasi mewah, jalan-jalan
aspal halus dan sebagainya, bukanlah prioritas
pembangunan yang diperlukan bagi kepentingan puluhan
juta orang yang hidup di sekitar garis kemiskinan. 
 
Juga jalannya sila Perikemanusiaan (Kemanusiaan Yang
Adil dan Beradab) masih perlu diluruskan. Adalah wajar
bahwa setiap perbuatan yang melawan hukum harus
ditindak sesuai peraturan hukum yang berlaku. Tapi
jelas tidak wajar bahwa di dalam negara hukum
Indonesia telah terjadi pembunuhan massal dan
penahanan puluhan ribu orang selama bertahun-tahun
tanpa proses hukum, yang sampai sekarang belum ada
tanda-tanda penegakan hak azasi yang terlanggar
tersebut. Adalah sukar diterima oleh akal sehat bahwa
orang yang menjadi korban penyerbuan (di gedung DPP
PDI jalan Diponegoro tahun 1996) malah diseret ke
pengadilan dan dijatuhi hukuman. Dimana sila
Kemanusiaan? Yang Adil dan Beradab? Nol besar, tidak
ada kemanusiaan, tidak ada keadilan, apalagi yang
beradab. Kasus-kasus yang terjadi di zaman Orde Baru
tersebut, sampai sekarang dampaknya masih terasa dan
belum terselesaikan.
 
Sejarah Pancasila adalah bagian dari sejarah
Indonesia. Mengenang sejarah Pancasila mau atau tidak
mau kita mengenang Bung Karno juga, yang telah berjasa
menggali, menciptakan dan menempatkan Pancasila
sebagai Dasar Filsafat Negara Indonesia. Tidaklah
salah kalau Pancasila dikatakan sebagai hasil
pemikiran Bung Karno yang genial, yang mengandung
nilai-nilai filsafat tinggi, yang bisa diterapkan
tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara-negara
lain demi kerukunan ummat dan perdamaian dunia. Adalah
suatu penyelewengan terhadap Pancasila, apabila
penafsirannya tidak berdasarkan Pancasila-asli,
seperti yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni
1945. Mengenang Bung Karno adalah mengenang sejarah
perjuangan rakyat Indonesia yang mendambakan
kerukunan, kemerdekaan, perdamaian, keadilan dan
kemakmuran. 
 
 
PERSATUAN UNTUK PERJUANGAN REFORMASI
 
Dalam era reformasi dewasa ini kiranya perlu
dikobarkan lagi ide persatuan Bung Karno demi
suksesnya gerakan reformasi, demi penghancuran
sisa-sisa kekuatan Orde Baru dan sistemnya. Hanya
dengan demikianlah pengentasan bangsa dan negara dari
kungkungan multikrisis bisa dilaksanakan.
Ini berarti bahwa para elite politik harus
menghentikan perang-tandingnya dalam perebutan
kedudukan dan kekuasaan, mengarahkan moral
intelektualnya kepada perbaikan nasib rakyat yang
terpuruk dalam kubangan multikrisis dewasa ini. Para
elit politik harus sadar diri akan perlunya membangun
kembali toleransi dan hidup berdampingan secara damai
antarumat beragama, perlunya kerukunan kehidupan antar
suku-bangsa dan etnik, perlunya kesadaran akan
supremasi hukum, HAM dan Keadilan sosial. 
 
Proses disintegrasi bangsa dan negara yang sedang
berjalan dewasa ini adalah akibat dari proses
pembodohan yang dilakukan oleh Orde Baru, yang
mengakibatkan rakyat kehilangan jiwa dan semangat
Pancasila, tidak mengenal kembali nilai-nilai
Pancasila. Sebab Orde Baru sendiri tidak
berkepentingan untuk merealisasi nilai-nilai Pancasila
yang sebenarnya, seperti apa yang diajarkan Bung Karno
dalam pidatonya 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI. Tapi
sebaliknya ajaran Pancasila bahkan diselewengkan dan
ditunggangi untuk kepentingan kelanggengan
kekuasaannya.
 
Dewasa ini, setelah jatuhnya rezim Suharto, muncullah
ke permukaan alam nyata akibat pembodohan dan
diselewengkannya Pancasila: di beberapa daerah timbul
gerakan separatisme, kerusuhan yang bermuatan isu
agama, pertentangan antara etnik dan lain-lainnya. Hal
itu, seperti telah diuraikan di atas, menunjukkan
hilangnya rasa sebagai satu bangsa, rasa toleransi dan
saling menghormati dalam kehidupan beragama dan rasa
kerukunan suku-suku bangsa dalam kehidupan
bermasyarakat. 
Sedang merebaknya organisasi-organisasi kemiliteran
dewasa ini, yang dapat dikategorikan sebagai salah
satu bentuk pengingkaran nilai-nilai Pancasila, jelas
hanya menambah eskalasi keresahan di dalam masyarakat
yang telah bosan akan keresahan.
 
Dalam era perjuangan untuk reformasi dewasa ini perlu
sekali satu poin penting dari Manipol (Manifesto
Politik) diperhatikan. Yaitu pemisahan antara kawan
dan lawan revolusi Indonesia. Tapi sesuai dengan
perkembangan politik dewasa ini, poin tersebut harus
diformulasikan sebagai pemisahan kawan reformasi dan
lawan reformasi (atau Pro-Reformasi dan
Kontra-Reformasi). Hal ini penting sekali di mana
kekuatan orde Baru masih bertebaran di seluruh
lembaga-lembaga negara dan kemasyarakatan. Jangan
sampai yang kita rangkul adalah lawan reformasi dan
sebaliknya kawan malah kita tendang. Bagaimana kita
bisa mencapai tujuan reformasi, kalau di dalam barisan
reformasi bercokol tokoh-tokoh antireformasi.
 
Bahwasanya Presiden Gus Dur dalam berbagai kesempatan
mengangkat Soekarno dan ajaran-ajarannya, patutlah
mendapatkan acungan jempol. Sebab apa yang dilakukan
Gus Dur tersebut merupakan suatu hal yang sangat
langka dilakukan oleh elit-elit politik lainnya.
Mereka sebaliknya malah selalu menjelek-jelekkan Bung
Karno, menyamakan Soekarno dengan Soeharto.
Tapi dalam kaitannya dengan Pidato Perdamaian yang
diucapkan Presiden Gus Dur, di mana diminta agar kita
menghilangkan istilah orde-orde-an (Orba, Orla),
agaknya perdamaian semacam itu dapat disangsikan
kemaslahatannya. Hal itu sama saja mencampur harimau
dan kambing dalam satu kandang, setelah penghapusan
nama “harimau” dan “kambing”. Akibatnya hanya
ketragisan yang akan kita peroleh. Sebaliknya kita
seharusnya lebih jeli lagi melihat siapa kawan dan
siapa lawan reformasi, kita harus lebih giat lagi
mengekspos kejahatan-kejahatan Orba, yang telah
mencelakakan Negara dan Bangsa. Menghilangkan kata
“Orde Baru” (Orba) dalam kamus politik sama saja kita
menghapus atau paling tidak melupakan
kejahatan-kejahatan Orde Baru.
 
Maka dari itu dalam perjuangan untuk reformasi, kita
harus lebih menekankan perlunya persatuan bangsa atas
dasar prinsip persatuan bangsa seperti yang tertuang
dalam Pancasila ajaran Bung Karno, dengan tanpa
melupakan siapa kawan dan lawan reformasi. 
 
Dari uraian di atas jelaslah bahwa ide dan ajaran Bung
Karno tentang persatuan bangsa sangat relevan sebagai
salah satu pedoman untuk mengatasi multikrisis di
Indonesia dewasa ini.
 
Dalam memperingati HUT ke-100 Bung Karno
sepantasnyalah kalau kita mengangkat salut
setinggi-tingginya kepada Bung Karno, yang telah
berjasa menanamkan ide persatuan bangsa dan yang
dengan konsekuen mempertahankan ide tersebut dari masa
mudanya hingga akhir hayatnya. Bahkan pencopotan
jabatan presiden oleh MPR-Orba yang dipimpin jendral
A.H.Nasution (dengan TAP MPR No.XXXIII/1967) tidaklah
menggoyahkan konsistensinya atas ide dan ajarannya
tersebut di atas. Dalam perjuangan reformasi dewasa
ini, yang antara lain berjuang untuk menegakkan
keadilan, maka selayaknyalah gerakan reformasi
menuntut pencabutan TAP MPR No.XXXIII/1967, yang tidak
adil dan inkonstitusional, sebagai tanda penghormatan
atas jasa-jasa Bung Karno terhadap bangsa dan negara.*
 
Nederland, Juni 2001 
 
Salam
Jaimunbinm

Piagam Jakarta dan Hubungan
antar Umat Beragama
````````````````````````````
Oleh: Mbah Dukun S
 
Pengantar
````````````
Pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar
Hirohito dibentuklah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) oleh pemerintah Jepang sebagai upaya pelaksanaan janji mereka
tentang kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggotakan 62 orang yang diketuai
oleh Radjiman Widjodiningrat. Pada hari terakhir sidang pertama BPUPKI pada
tanggal 1 Juni 1945, Soekarno, salah seorang anggota, menyampaikan usulan
fundamen filsafat negara, yang dikenal dengan Pancasila.
 
Keterangan Soekarno tentang Pancasila dalam sidang itu menunjukkan dengan
jelas bahwa ia sendiri mengakui adanya ketergantungan dengan orang lain,
baik orang Indonesia maupun orang asing, seperti Peri Kebangsaan, Peri
Kemanusiaan, dan Kesejahteraan Rakyat. Pertanyaan yang penting ialah dari
sumber manakah Soekarno mengangkat prinsip Ketuhanan, yang akhirnya dikenal
sebagai Ketuhanan Yang Mahaesa. Pengertian Ketuhanan, pada dasarnya,
berlatarbelakang muslim, walaupun tidak selalu tidak diterima oleh golongan
bukan muslim. Prinsip Ketuhanan setidaknya diilhami oleh uraian dari para
pemimpin Islam yang berbicara mendahului Soekarno dalam sidang itu.
 
Dalam sidang itu ada dua paham yang terlihat. Kedua paham itu ialah yang
menganjurkan agar Indonesia didirikan sebagai negara Islam dan anjuran
lainnya, seperti Hatta, yaitu negara persatuan nasional yang memisahkan
unsur negara dan agama. Dengan kata lain bukan negara Islam. Ternyata di
dalam Naskah Persiapan UUD 1945 jilid II yang disusun oleh Yamin tidak
memuat satupun pidato para anggota nasionalis Islam. Yang dimuat hanyalah
tiga, yaitu (1) pidato Soekarno, (2) pidato Yamin, dan (3) pidato Soepomo.
 
BPUPKI juga berhasil merumuskan dan bentuk pemerintahan melalui pemungutan
suara. Ada 45 suara pemilih dasar negara adalah kebangsaan, sedang 15 suara
memilih Islam sebagai dasar negara. Setelah sidang pertama berakhir
dibentuklah panitia kecil yang beranggotakan sembilan orang, yang lalu
dikenal dengan nama Panitia Sembilan. Melalui perbincangan yang serius
akhirnya Panitia Sembilan berhasil mencapai suatu kesepakatan antara Islam
dan Nasionalis. Pada tanggal 10 Juli 1945 Soekarno menyampaikan pidatonya
pada sidang BPUPKI.
 
Soekarno juga menyampaikan rancangan preambule UUD hasil rapat Panitia
Sembilan. Dalam rancangan preambule tersebut muncullah kalimat yang sampai
saat ini tetap menjadi persengketaan ...Ketuhanan, dengan menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rancangan preambule itu
ditandatangani oleh Panitia Sembilan pada tanggal 22 Juni 1945 di Jakarta.
Oleh karena itu rancangan preambule itu dikenal sebagai Piagam Jakarta.
 
Perjalanan Piagam Jakarta Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Sehari setelah
pidato Soekarno, yakni pada tanggal 11 Juli 1945, seorang Protestan anggota
BPUPKI, Latuharhary, langsung menyatakan keberatan atas tujuh kata di
belakang kata Ketuhanan pada Piagam Jakarta. Agus Salim melihatnya secara
netral, walaupun ia lebih condong mendukung Piagam Jakarta. Namun beberapa
orang anggota BPUPKI berkeberatan, termasuk Wongsonegoro dan Hoesein
Djajadiningrat.
 
Sidang pada hari itu seolah-olah berakhir dengan kesepakatan menerima
rancangan preambule hasil kerja Panitia Sembilan. Kemudian Soekarno
membentuk panitia kecil untuk merancang UUD, yang mesti bekerja pada tanggal
12 Juli 1945. Dua pasal rancangan pertama UUD yang paut dengan pokok bahasan
ini ialah pasal 4 dan pasal 28 . Pasal 4:2 berbunyi Yang dapat menjadi
Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli, sedang pasal 28
berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama
apapun dan untuk beribadat menurut agama masing-masing.
 
Abdul Wahid Hasjim mengajukan dua usulan. Pertama, pasal 4:2 tersebut
ditambah dengan anak kalimat yang beragama Islam. Kedua, pasal 28 diubah
isinya menjadi Agama negara ialah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan
orang-orang yang beragama lain untuk Agus Salim tidak sependapat
dengannya, namun Hasjim mendapat dukungan dari Sukiman. Soekarno selalu
memposisikan diri bahwa rancangan preambule adalah hasil kompromi dua pihak,
yaitu Nasionalis dan Islam. Padahal tak kurang tokoh Muhammadyah, seperti Ki
Bagus Hadikusumo, yang didukung oleh Kyai Ahmad Sanusi, tidak menyetujui
tujuh kata anak kalimat Ketuhanan.
 
Pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul 04:00 naskah baru pernyataan kemerdekaan
dirumuskan dalam suatu pertemuan di rumah Maeda, seorang perwira Angkatan
Laut Jepang. Atas nama bangsa Indonesia Soekarno dan Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada hari itu pukul 10:00 di Jalan Pegangsaan Timur
No. 56. Keesokan harinya dibentuklah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) yang diketuai Soekarno dengan wakilnya Hatta untuk menetapkan UUD.
Ternyata sebelum waktu penetapan Hatta menyampaikan empat usulan perubahan
rancangan UUD yang sudah ditetapkan oleh BPUPKI. Usulan tersebut sebagai
berikut:
 
1. Kata Mukhadimah diganti dengan kata Pembukaan.
 
2. Kalimat Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan yang Mahaesa.
 
3. Mencoret kata-kata dan beragama Islam pada pasal 6:1 yang berbunyi
Presiden ialah orang Indonesia Asli dan beragama Islam.
 
4. Sejalan dengan usulan kedua, maka pasal 29 pun berubah.
 
Usulan perubahan diterima bulat oleh PPKI. Soekarno juga menekankan bahwa
UUD 1945 tersebut hanyalah sementara, yang akan diubah oleh MPR setelah
Indonesia dalam suasana lebih tenteram.
 
Ada alasan kuat mengapa Hatta mengajukan empat usulan perubahan. Dalam buku
karya Hatta dengan judul Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang
dikutip oleh Anshari (1981), Hatta mengatakan bahwa ia didatangi oleh
seorang perwira Jepang, yang ia sendiri lupa namanya, pada tanggal 17
Agustus 1945 petang. Perwira itu membawa pesan bahwa bahwa orang Kristen di
kawasan Kaigun sangat berkeberatan atas tujuh kata dalam Pembukaan UUD.
Walaupun mereka mengakui bahwa tujuh kata itu tidak mengikat mereka, namun
mereka memandang hal itu sebagai diskriminasi terhadap golongan minoritas.
 
Hatta sendiri sudah menjelaskan kepada perwira tersebut bahwa ketetapan
rancangan UUD merupakan hasil kesepakatan dua pihak, Islam dan Nasionalis.
Perwira tersebut meyakinkan Hatta bahwa wilayah Indonesia bagian Timur akan
menolak bergabung ke dalam negara persatuan Indonesia. Hatta akhirnya lebih
memilih persatuan ketimbang perpecahan dan menerima keberatan orang Kristen.
Tentu saja ketetapan PPKI tersebut membuat sakit hati pihak Islam. Akan
tetapi mereka tidak dapat menolaknya, karena suasana waktu itu sangat
darurat. Mereka masih berpengharapan akan memasukkan misi mereka di masa
yang akan datang.
 
Piagam Jakarta sebagai Sumber Konflik
````````````````````````````````````````````````
Pihak Islam fundamentalis tidak menyerah. Mereka masih melihat peluang
perubahan UUD 1945 seperti yang dikatakan Soekarno pada sidang PPKI.
Sepuluh tahun setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 15 Desember 1955,
diadakanlah Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk di
Konstituante, sebuah lembaga pembuat UUD sebagai pengganti UUD 1945.
Presiden Soekarno melantik anggota-anggota Konstituante pada tanggal 10
November 1956. Partai-partai Islam meraih 230 kursi, sedang partai lainnya
(Nasionalis, Kristen, Sosialis, dan Komunis) meraih 286 kursi.
 
Pada sidang Konstituante terjadilah perdebatan yang berlarut-larut tentang
dasar negara. Para wakil partai-partai Islam tetap memegang Pancasila
sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta. Para wakil-wakil lainnya
menyetujui kembali kepada UUD 1945. Namun demikian kedua pokok masalah itu
menemui jalan buntu, karena tidak dapat diputuskan dengan suara
sekurang-kurangnya dua pertiga anggota Konstituante. Menghadapi suasana
kritis ini Presiden Soekarno turun tangan. Pada tanggal 5 Juli ia
mengeluarkan dekrit, yang salah satu isinya ialah pemberlakuan lagi UUD 1945
dan pembubaran Konstituante.
 
Bagi sebagian orang Islam Dekrit Presiden mengandung pengertian hidupnya
kembali Piagam Jakarta. Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan Piagam Jakarta
merupakan rangkaian kesatuan dengan UUD 1945. Usaha-usaha untuk memasukkan
kembali Piagam Jakarta ke dalam agenda nasional terus berlangsung sampai
akhirnya diredam oleh pemerintah Orde Baru lewat Tap MPR no. II/MPR/1978.
 
Setelah berakhirnya era Orde Baru dimulailah era reformasi. Keterbukaan ini
membuat orang-orang seperti kuda lepas kendali. Sepertinya orang bebas
berbicara apa saja. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh partai-partai Islam
untuk meniupkan isu Piagam Jakarta ke dalam agenda sidang MPR hasil Pemilu
1999. Dua partai yang ngotot sejak November 1999 untuk membahas Piagam
Jakarta adalah PPP dan PBB. Meskipun pada Sidang Tahunan (ST) MPR tahun 2000
usulan mereka tidak ditanggapi, mereka tetap bersemangat memasukkannya ke
dalam agenda ST MPR tahun 2001.
 
Dampak Pemberlakuan Piagam Jakarta terhadap Hubungan Antarumat Beragama
Seperti ditulis di atas bahwa Piagam Jakarta kembali marak setelah
berakhirnya era Orde Baru. Sejak itu lahirlah partai-partai berasaskan
Islam. Selain itu banyak ormas yang keras memperjuangkan aspirasi Islam.
Tidak itu saja, ada juga kelompok yang ingin mendirikan negara Islam, walau
jumlahnya kecil.
Piagam Jakarta dianggap sebagai jaminan konstitusi bagi umat Islam untuk
dapat dengan leluasa mengatur umatnya sendiri agar lebih taat beragama.
Persoalannya tidaklah sesederhana itu. Banyak masalah yang akan mengganjal,
yang bukan saja berpautan dengan kenyataan kemajemukan masyarakat Indonesia,
tetapi juga adanya keanekaan pemahaman dalam umat Islam sendiri khususnya
yang berpautan dengan bentuk nasabah (relationship) agama dan negara.
 
Dalam ST MPR 2001 Piagam Jakarta tidak dimasukkan ke dalam agenda. Kebiasaan
sebagian kecil partai Islam untuk memasukkan Piagam Jakarta ke dalam  ST MPR
justru dalam aras tertentu tidak mendewasakan kehidupan demokrasi di
Indonesia. Di kalangan Nadhlatul Ulama (NU) permasalahan ideologis bangsa
sudah ada kata akhir seperti yang pernah dikatakan oleh K.H. Achmad Siddiq,
tetapi bagi sebagian kecil umat Islam permasalahan tersebut belum dianggap
selesai.
 
Tidak ada yang baru dari perdebatan tentang nasabah agama dan negara. Dapat
dikatakan semua yang ada merupakan pengulangan agenda lama yang tidak pernah
sampai pada kata sepakat dengan ketulusan hati. Perdebatan ini menjadi tidak
progresif, karena umat Islam garis keras tidak mau berpikir bagaimana
mengatur negara yang majemuk ini dengan menempatkan semua anasirnya pada
posisi yang sama. Alasan klasik yang dilontarkan selalu saja tentang
mayoritas sehingga merasa lebih berhak untuk mengatur negara ini.
 
Ketidakpahaman nasabah agama dan negara tidak pernah akan mencair, jika
seluruh umat beragama masih berpikir egois dan melalaikan perasaan penganut
agama lain dan kepentingan bangsa secara serbacakup (comprehensive).
Semestinya agama merupakan urusan pribadi manusia dengan Allahnya. Baik
negara maupun perorangan tidak berhak memaksa orang lain untuk mengikuti
atau menaati agamanya. Memang keruwetan nasabah agama dan negara acapkali
melekat pada Islam, karena Islam tidak sepenuhnya dipisahkan dengan masalah
kenegaraan. Yang patut menjadi introspeksi bagi umat Islam adalah Islam
tanpa negara bukanlah Islam yang tidak lengkap.
 
Persengketaan Piagam Jakarta, yang ditambah dengan munculnya gerakan atas
nama Islam untuk mendirikan agama Islam, oleh kalangan umat lainnya,
khususnya Kristen, acapkali diungkit-ungkit sebagai bahaya laten. Tentunya
ini membuka luka lama hubungan antarumat beragama, khususnya umat Islam dan
Kristen. Hal ini makin diperuncing dengan sikap triumfalistik orang Kristen
garis keras dalam penginjilan.
 
Pemberlakuan Piagam Jakarta tidaklah sama dengan Piagam Madinah yang dibuat
tahun 622. Ada perbedaan hakiki pada hasil yang dicapainya. Perbedaan
tersebut terjadi karena perumusan yang berbeda antara Piagam Madinah dan
Piagam Jakarta. Piagam Madinah tidak ada tekanan kewajiban dalam hal
menganut atau melaksanakan agama masing-masing. Dengan demikian Piagam
Madinah telah melahirkan persatuan. Kebalikannya dengan Piagam Jakarta yang
melahirkan ancaman perpecahan. Pencatuman tujuh kata dalam Piagam Jakarta
merupakan sikap tidak peduli atas perintah Allah yang berdampak melampaui
ambang batas kebenaran.
 
Bagi pemeluk agama bukan Islam penempatan tujuh kata dalam Piagam Jakarta
merupakan pilihan yang salah. Jika ketujuh kata itu dimasukkan ke dalamnya,
maka negara dibebani dengan tugas khusus terhadap pemeluk salah satu agama
saja. Negara menjadi tidak netral lagi dan mengancam kesatuan bangsa. Logika
Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan logika Sumpah Pemuda sebagai rumusan
dasar bagi gerakan kebangsaan Indonesia menuntut sendiri agar tujuh kata
dalam Piagam Jakarta mesti dihilangkan.
 
Sila pertama memberikan wewenang bagi kelompok agama agar mereka sendiri
mengusahakan sesuai dengan pemahaman mereka sendiri agar para pemeluknya
menjalankan etika dan ajarannya. Istilah Ketuhanan yang Mahaesa merupakan
suatu prinsip tentang Tuhan dan bukan Tuhan itu sendiri. Teologilah yang
dapat menjelaskan dan menakrifkan tentang apa yang dimaksudkan dengan
ketuhanan itu secara nyata. Rumusan sila pertama yang sekarang ini sudah
memberikan ruang yang luas agar agama-agama yang diakui dapat menguraikan
dan mengembangkan pemahaman mereka sendiri mengenai Tuhan itu.
 
Kesimpulan
```````````````
Pembangunan ketaatan beragama lewat daya paksa hukum negara mengandung
konsekuensi berisiko tinggi atas rasa tauhid dalam masyarakat. Hal ini dapat
terjadi, karena rasa takut terhadap negara akan melampaui rasa takut kepada
Allah yang Esa, yang tentunya dapat membangkitkan peluang kemusyrikan dan
kemunafikan.**
 

Tidak ada komentar: