Jumat, 27 Juli 2012

Bung Karno, Pancasila dan Revolusi Belum Selesai

Artikel II

Bung Karno, Pancasila, dan Revolusi Belum Selesai

Oleh Musa Asy’arie

DEWASA ini ajaran Bung Karno bangkit kembali, bergema, digelorakan sebagai kekuatan untuk memberi dukungan dan semangat perjuangan membela wong cilik, kaum marhaen, rakyat jelata, yang terpinggirkan.

Duplikasi penampilan fisiknya muncul di mana-mana. Seperti misalnya model berpeci, berkacamata hitam, dan gaya pidatonya yang menunjuk-nunjuk serta mengepalkan tinju. Gelora juga terasa dengan berdirinya banyak partai politik yang mengklaim diri sebagai penerus perjuangan Bung Karno dan untuk mengamalkan ajarannya.

Bung Karno adalah seorang pemimpin bangsa yang mempunyai kecerdasan dan kemampuan intelektual tinggi, karenanya mampu menjelajahi pikiran-pikiran besar pada zamannya. Pancasila yang digali dan ditemukan Bung Karno adalah bentuk sintetik dari ijtihad politik yang menyerap dan memadukan berbagai arus pemikiran besar dari nasionalisme, sosialisme, kapitalisme, dan paham keagamaan. Karena itu, pernyataan Bung Karno mengganyang Nekolim (neokolonialisme dan imperialisme) kini menemukan bentuknya yang baru menjadi anti-IMF dan menolak ketergantungan pada modal bantuan luar negeri. Sementara slogan Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) kini menjadi aktual dengan semangat antiprivatisasi dan penjualan aset BUMN kepada pihak-pihak asing.

Ironisnya, semangat Bung Karno untuk terus menjebol dan membangun karena revolusi katanya belum selesai, dan kini terus bergema gaungnya melalui nyanyian para demonstran yang meneriakkan revolusi sampai mati, menemukan momentumnya untuk menurunkan pemerintahan Megawati yang menyatakan diri sebagai pewaris biologis dan ideologis Bung Karno, tetapi ternyata melakukan kebijakan menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik, dan telepon yang jelas-jelas tidak berpihak pada nasib wong cilik yang pernah menjadi obsesi politik bapaknya. Rupanya untuk mewarisi ideologi dan politik Bung Karno, warisan biologis saja tidaklah cukup karena diperlukan kebesaran jiwa dan kecerdasan tinggi seperti dimiliki Bung Karno sendiri.

Ideologi sintetik mencari bentuk

Gagasan ideal dari ideologi politik bercorak sintetik ternyata tidak mudah untuk diwujudkan dalam realitas kehidupan kenegaraan dan pemerintahan karena belum ada model yang cukup dijadikan sebagai rujukan. Berbeda dengan ideologi sosialisme yang saat itu dapat merujuk pada pemerintahan komunisme seperti di Uni Soviet dan Cina, sementara kapitalisme dapat merujuk pada pemerintahan Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis.

Sedangkan ideologi sintetik Pancasila, adakah negara yang dapat dijadikan rujukan? Mungkin tidak ada, dan kita sendiri yang harus menemukan bentuknya.

Karena itu, ketika kemerdekaan diproklamirkan dan kita ingin membangun suatu negara baru yang modern, landasannya yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dibuat secara sederhana dan singkat, demi memberi ruang untuk uji coba mencari bentuk pemerintahan yang ideal. Uji coba itu dimulai sejak dari pemerintahan sistem presidensial, negara federal dengan Republik Indonesia Serikat, lalu pemerintahan parlementer, dan akhirnya kembali lagi ke presidensial.

Akibatnya, masyarakat bergerak seperti gelombang besar di lautan, naik turun mengejar mimpi mercusuar, dan selalu memunculkan pro-kontra yang melelahkan. Ujungnya, ada beberapa bagian yang berkeinginan memisahkan diri dari NKRI melalui perlawanan berbasis pada agama dan kedaerahan, seperti DI, TII, PRRI, dan RMS.

Pencarian bentuk itu akhirnya kandas di tengah jalan yang bergelombang karena konstitusi negara selalu gagal diubah. Padahal, UUD 1945 yang menjadi dasar negara itu dibuat bersifat sementara, umum, dan ringkas. Sifat-sifat itu ternyata justru memberi peluang untuk diinterpretasikan sesuai apa saja tergantung maunya para penguasa. UUD 1945 dapat menjadi dasar negara berdasar konsep demokrasi terpimpin zaman Bung Karno dan menjadi demokrasi Pancasila zaman Soeharto.

Kini, di zaman reformasi, pencarian bentuk pemerintahan yang ideal masih belum selesai meski sudah ada upaya melakukan amandemen UUD 1945. Sementara itu, ada kesenjangan besar antara perubahan sosial ekonomi dan politik masyarakat dengan lambannya perubahan pada perangkat yang mendasarinya, yaitu perubahan konstitusi, perundang- undangan dan peraturan pemerintah.

Revolusi belum selesai

Revolusi adalah perubahan radikal dan fundamental dalam tata kehidupan masyarakat secara cepat. Umumnya, revolusi ditandai penggulingan kekuasaan dan sering berdarah-darah akibat konflik kekerasan yang ditimbulkan antara dua kekuatan, yang bertahan dan berusaha menjatuhkan. Contoh sejarah bisa dilihat di Perancis maupun di Cina. Dari sejarah, kita memahami, tanpa revolusi, dinamika masyarakat berjalan lamban tanpa ada loncatan historik guna membangun peradaban baru, baik dalam aspek sosial, ekonomi, politik, hukum, kebudayaan dan sains teknologi maupun keagamaan.

Bagi suatu masyarakat yang tatanan dan sistem politiknya sudah mapan, revolusi berlangsung dalam tataran kebudayaan, ilmu, dan teknologi. Sedangkan bagi masyarakat yang tatanan dan sistem politiknya sedang mencari bentuk, revolusi menjadi sesuatu yang kompleks dan berisiko tinggi.

Sebenarnya yang menjadi persoalan adalah apa yang akan dilakukan oleh kekuatan revolusioner setelah revolusi menemukan momentumnya dengan pergantian kekuasaan? Pengalaman kita menunjukkan, revolusi tidak mempunyai basis ideologi dan konsep rekonstruksi dan restrukturisasi yang jelas.

Akibatnya ketika kekuasaan politik jatuh, kekuatan revolusioner justru terjebak dalam tindakan membagi-bagi (lebih tepatnya berebut) kekuasaan, lalu mereka bertikai sendiri antarsesamanya. Kemudian, yang berhasil berkuasa berusaha mengukuhkan kekuasaannya dengan berbagai cara. Kekuatan revolusioner jadi terpecah, tercabik-cabik oleh nafsu kekuasaan yang tidak pernah merasa puas.

Pada sisi yang lain, konstitusi yang berlaku (ius constitutum) tidak mampu memenuhi tuntutan perubahan cepat yang kompleks sehingga penguasa yang muncul cenderung ingin terus berkuasa dan menjadikan konstitusi sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya. Revolusi sekan-akan mati suri karena tidak ditopang konstitusi yang memadai guna memenuhi tuntutan perubahan cepat yang kompleks, bahkan menjebaknya dalam budaya dan konflik politik yang hanya berorientasi pada kekuasaan.

Rakyat sebagai penyangga revolusi tetap terpuruk nasibnya, miskin, bodoh serta dibodohi terus-menerus seperti habis manis sepah dibuang.

Mengawal revolusi, rekonstruksi, dan restrukturisasi

Revolusi memerlukan konsep yang jelas dan operasional untuk rekonstruksi dan restrukturisasi kekuasaan secara total dalam sistem kehidupan masyarakat yang egaliter, adil, dan populis. Jika tidak, revolusi tidak pernah selesai dan akan mengalami proses jatuh bangun kekuasaan tanpa arah yang jelas dan meminta korban yang kian besar. Kita tidak perlu takut kepada revolusi karena tanpa revolusi pun NKRI telah meminta korban besar, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, baik untuk mempertahankan maupun menentangnya.

Revolusi seperti pisau bermata dua: satu sisi menimbulkan anarki, memakan anaknya sendiri, dan sisi lain dapat menjadi loncatan peradaban yang lebih tinggi. Karena itu, revolusi memerlukan rekonsiliasi total untuk rekonstruksi dan restrukturisasi kekuasaan dan menjadi tonggak sejarah bangkitnya kesadaran baru yang berorientasi pada masa depan yang lebih baik berdasarkan supremasi hukum untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan kemakmuran. Itu semua perlu ditempuh melalui amandemen konstitusi UUD 1945, perundang-undangan, dan peraturan pemerintah.

Namun, konstitusi saja tidak cukup karena masih diperlukan adanya pemimpin yang merakyat dan berketeladanan untuk membangun sistem kekuasaan dan pemerintahan yang bersih, kuat, dan jelas mekanismenya, terbuka, terkontrol, dan responsif terhadap tuntutan perubahan masyarakat yang kompleks. Selain itu, perlu mengembalikan militer pada fungsi dan wilayah kemiliteran negara yang bersifat profesional dan hanya mengabdi kepada kepentingan negara, bukan kepentingan kekuasaan politik.

Jika sejarah digerakkan oleh adanya creative minority, maka creative minority dalam revolusi harus dijiwai semangat dan konsistensi keteladanan sosial, moral, dan intelektual yang kuat. Sehingga, dengan demikian dapat membangun sistem politik dan birokrasi pemerintahan yang efisien dan efektif agar pembusukan birokrasi dapat diatasi lebih rasional dan profesional guna memberi pelayanan yang berkualitas kepada publik, sekaligus memperkecil kecenderungan seorang penguasa memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya.

Tuntutan revolusi kian nyaring terdengar di mana-mana dengan semakin terpuruknya kehidupan wong cilik, revolusi sosial, revolusi kebudayaan, dan entah revolusi apalagi. Revolusi diyakini dapat menjadi jalan untuk melakukan lompatan sejarah peradaban suatu bangsa.

Revolusi memang penting, tetapi yang lebih penting lagi adalah konsep rekonstruksi dan restrukturisasinya yang harus jelas dan terukur dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat yang kompleks, baik sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya maupun agama. Kompleksitasnya memerlukan keteladanan, kecerdasan, kearifan, dan kerja sama seluruh komponen bangsa karena revolusi bukan pekerjaan individual, tetapi kolektif.

Musa Asy’arie Guru Besar dan Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Tidak ada komentar: