Jumat, 27 Juli 2012

Bung Karno Membangun Identitas Kebangsaan


Jasa Terbesar Bung Karno Membangun Identitas Kebangsaan

Jakarta, Kompas

Jasa terbesar Bung Karno adalah membangun kebanggaan atas identitas kebangsaan Indonesia. Identitas keindonesiaan itu penting sekali dalam relevansinya dengan kondisi Indonesia masa kini. Bung Karno mengatakan kebangsaan itu hanya berarti dan bermakna kalau ditata dalam "Taman Sari" internasionalisme. Keindonesiaan yang dikembangkan adalah keindonesiaan yang berwarna dan berjiwa kemanusiaan secara universal, bukan kebangsaan yang sempit.

Demikian dikemukakan mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono dalam Seminar "Membangun Dunia Kembali" yang diselenggarakan Universitas Bung Karno dalam rangka 100 Tahun Bung Karno di Hotel Indonesia, Senin (23/4).

Juwono mengutip pidato Bung Karno tanggal 30 September 1960 yang waktu itu adalah salah satu pidato yang paling diingat-ingat mahasiswa Universitas Indonesia (UI). Pidato itu menggema ke mana-mana karena posisi Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang yang mencoba mendayung di antara dua karang yaitu karang kapitalisme dan karang komunisme.

Bung Karno bersama-sama para pemimpin generasi pertama dunia Asia Afrika dan Amerika Latin bersepakat untuk mencari jalan sendiri, antara Manifesto Komunis dan Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Di situ dianjurkan supaya Pancasila diadopsi sebagai Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Pidato itulah yang setahun kemudian dilanjutkan di Beograd 1 September 1961 dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I Gerakan Nonblok. Di situ ditegaskan kembali bahwa negara-negara sedang membangun harus mencari jalan sendiri. Kunci dari kemauan diri adalah kebanggaan pada kebudayaan nasional, suatu identitas nasional.

"Walaupun negara itu miskin secara ekonomi, miskin secara industri, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa direbut yaitu kemauan diri, kehendak untuk mandiri. Sekarang kita hidup 40 tahun kemudian, dan kita masih menghadapi masalah keadilan internasional dan keadilan di dalam negeri. Saya melihat ada kesejajaran antara sistem internasional yang timpang dengan sistem nasional yang juga timpang," kata Juwono.

Misalnya di bidang politik, penyiaran tentang gagasan politik 80 persen dari pemberitaan televisi dan media cetak dikuasai oleh negara-negara dan kebudayaan utara, khususnya Amerika Utara, lebih khusus lagi Amerika Serikat. Di bidang ekonomi demikian juga. Sebanyak 80 persen kekuatan industri dan ekonomi, termasuk penelitian dan perkembangan (litbang) dilaksanakan oleh tiga kutub besar yaitu Amerika Utara, Eropa, dan Jepang.

Di bidang sains dan teknologi, lebih dari 60 persen litbang sains dan teknologi mulai komputer sampai dengan bioteknologi juga dilaksanakan oleh negara atau perusahaan multinasional yang berinduk di Amerika Utara, Eropa, atau Jepang.

Termasuk di bidang militer, senjata konvensional apalagi senjata nuklir, 90 persen diproduksi, diedarkan, dan dilaksanakan oleh negara-negara besar. Di bidang perdagangan, aturan-aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dari 46 jenis kegiatan ekonomi dan industri, dalam kesepakatan WTO, 80 persen dikuasai satu negara, yakni Amerika Serikat.

Demikian pula dalam perjanjian-perjanjian internasional, di bidang hak asasi manusia (HAM), itu kebanyakan mencerminkan kemauan negara-negara industri, sehingga aturan main, cara memelintir ungkapan, pendapat, arah dari suatu argumen, lebih banyak di negara-negara kuat.

"Dengan demikian komplet sudah, unsur-unsur ketahanan nasional lebih banyak dikuasai negara-negara besar. Karena itu, saya kira di sinilah relevansi pemikiran Bung Karno adalah untuk menembus dominasi dari aturan main yang dibuat oleh negara-negara kuat itu," ujar Juwono.

Ia juga mengutip salah satu pemikiran yang pernah dikemukakan Bung Karno, lama sebelum kemerdekaan Indonesia, yaitu tentang demokrasi bagi negara-negara kaya. Bung Karno mengatakan, demokrasi itu bagus hanya untuk orang-orang yang sudah mapan, kaum borjuis, tetapi tidak bergema di kalangan rakyat kecil kelas bawah. (bur/osd)

Tidak ada komentar: