Jumat, 27 Juli 2012

Spirit Konferensi Asia Afrika Dan Revitalisasi Kepemimpinan

Spirit KAA dan Revitalisasi Kepemimpinan
Oleh ERWIN KUSTIMAN

"Saudara-saudara, musuh kita yang terbesar yang selalu merusakkan keselamatan dan kesejahteraan Asia dan juga merusakkan keselamatan dan kesejahteraan Indonesia ialah Amerika dan Inggris. Oleh karena itu, di dalam peperangan Asia Timur Raya ini, maka segenap kita punya tenaga, segenap kita punya kemauan, segenap kita punya tekad harus kita tujukan kepada hancur-leburnya Amerika dan Inggris itu. Selama kekuasaan dan kekuatan Amerika dan Inggris belum hancur-lebur, maka Asia dan Indonesia tidak bisa selamat. Karena itu, semboyan kita sekarang ini ialah, Hancurkan kekuasaan Amerika. Hancurkan kekuasaan Inggris. Amerika kita setrika, Inggris kita linggis! (ulang tiga kali).
(Pidato Bung Karno dari Jawa News No. 2 April 1943; dikutip dari artikel Aiko Kurosawa)

HARI-hari ini, pidato menggelegar yang memang sudah menjadi ciri khas sang orator ulung sekaliber Ir. Soekarno, Presiden pertama RI, mungkin kembali menyergap benak kita semua. Melihat bagaimana arogansi kekuatan negara adi daya yang dipimpin AS bersama sekutu tradisionalnya, Inggris melakukan invasi ke bumi Irak --juga wilayah-wilayah negara lainnya atas nama pembebasan--, kita sejatinya memang merindukan kehadiran sosok serupa Bung Karno itu di tengah-tengah kita; sekarang.

Terlebih di tengah kondisi masih belum beranjaknya situasi sosial ekonomi dan politik negara-negara dunia ketiga di kawasan Asia-Afrika dari serbaketerpurukan dan keterbelakangan. Sosok yang dengan penuh keberanian mampu bersikap jelas dan lugas soal penindasan yang dilakukan negara adi daya. Juga ketegasan sikap mengkritik eksistensi PBB yang dipandang bagian dari imperialisme bangsa Barat. Sebuah penyikapan yang tampaknya masih sesuai dengan kondisi mutakhir.

Memang, kalau hanya mencermati satu fase itu dari rangkaian panjang sikap nyata Bung Karno soal imperialisme dan kolonialisme, bisa saja kita berkata bahwa jargon keras "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis" tersebut sekadar kepandaian seorang orator sejati dalam merangkai dan merekayasa kata.

Pada waktu itu, Indonesia memang masih dalam jajahan Jepang, yang dari bukti historis sempat menjanjikan kemerdekaan kepada negeri ini. Soekarno sebagai salah seorang tokoh penting Indonesia kala itu, memilih bersikap kooperatif dengan Jepang, sehingga beroleh kesempatan menyuarakan aspirasinya ke tengah-tengah rakyat Indonesia. Kesempatan inilah yang dipakai Soekarno memainkan gaya orasinya yang membakar semangat, penuh vitalitas, dan menggebu-gebu.

Toh, sejarah panjang akhirnya memang membuktikan, jargon "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis!" itu bukan hanya bumbu diksional yang absurd dari gaya flamboyan seorang orator ulung. Jauh sebelum pidato pengerahan tenaga Pembela Tanah Air (Peta) itu, Soekarno sudah menunjukkan ketegasan sikapnya menolak imperialisme.

Naskah pembelaannya dari pengadilan kolonial Belanda di Gedung Landraat Bandung, yang diberi tajuk Indonesia Menggugat menjadi bukti sahih sikap perlawanan dan nasionalisme tanpa reserve.

Titik kulminasi dari ketegasan dan konsistensi demi perjuangan menghirup udara kemerdekaan dan menghapus semua bentuk penindasan kolonialisme dan imperialisme itu akhirnya terjadi pada April 1955.

L'histoire cest repete, sejarah berulang. Pada 1930, Bandung menjadi saksi mulai berkobarnya api nasionalisme dan perlawanan nyata seorang pejuang antipenindasan. Dan seperempat abad kemudian, Kota Bandung kembali menjadi saksi bahwa cita-cita kemerdekaan itu telah menjelma. Penjelmaan kemerdekaan itu kemudian diteruskan menjadi spirit kolektif 29 negara Asia dan Afrika, untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai bangsa merdeka. Eksistensi untuk menunjukkan kemandirian, lepas dari intervensi bangsa mana pun.

Hingga awal 1960-an, semangat Konferensi Asia Afrika (KAA) itu masih tampak jelas tergambar dari kebijakan politik seorang Soekarno. Meski kemudian, banyak kalangan memandang pendulum politik luar negeri Indonesia mulai condong ke blok Timur. Keluarnya Indonesia dari keanggotaan PBB dan peristiwa "Ganyang Malaysia", kian menebalkan bukti bahwa Indonesia mulai terlibat dalam pengutuban politik internasional kala itu.

Benarkah demikian? Tak ada jawaban pasti, sebab di pertengahan 1960-an itu, Soekarno mengalami sandyakala kepemimpinannya. Penggantinya, Soeharto kemudian lebih menampakkan sosok yang tenang dalam menyikapi politik internasional. Ia menggulirkan kebijakan politik luar negeri bebas aktif, yang terkadang tak diketahui jelas bagaimana sosoknya.

Tentang KAA sendiri, sejak Soekarno tidak lagi memimpin, gaungnya perlahan memudar. Satu-satunya yang tersisa, Gedung Asia Afrika di Kota Bandung sekadar sebuah "onggokan museum" yang menyimpan bukti sejarah. Tanpa revitalisasi, apalagi mengaitkannya sebagai ilham sikap kemandirian bagi kelanjutan generasi bangsa ini. Barulah mungkin di akhir kepemimpinan Soeharto, tampak upaya membangkitkan kembali kenangan sejarah besar itu. Kendati, masih tanpa makna dan substansi yang relevan dengan kekinian.

Prolog milenium ketiga menyajikan kenyataan yang sejatinya tidak menunjukkan perubahan signifikan bagi perbaikan nasib miliaran rakyat di mayoritas negara di kawasan Asia Afrika. Dengan tajam, Budayawan Saini KM, dalam sebuah diskusi budaya di kawasan Bandung utara beberapa waktu lalu, menegaskan saat ini secara fisik imperialisme dan kolonialisme berbentuk fisik memang sudah tidak ada.

"Akan tetapi, sejatinya, imperialisme dalam bentuk lain yang jauh lebih berbahaya tetap menjadi keniscayaan, meski kini tampil dalam bentuk yang lebih sophisticated. Imperialisme negeri-negeri adi daya itu tampil dalam bentuk kebergantungan yang sangat menelikung dari mayoritas bangsa-bangsa Asia Afrika terhadap bantuan ekonomi dari tehadap mereka. Politik ekonomi Indonesia, juga negara-negara Asia Afrika lainnya, begitu mudah ditekan oleh pihak pendonor," paparnya. Bahkan, Saini menambahkan imperialisme baru muncul dalam abad modern ini secara sporadis dalam bentuk infiltrasi budaya.

Peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philip Jusario Vermonte menyatakan pada 1955 banyak negara AA bergelut pada persoalan memperoleh kemerdekaan sehingga muncul spirit antikolonialisme. "Namun, sekarang banyak negara AA bergelut pada persoalan kemiskinan. Salah satu spirit yang tepat saat ini adalah spirit antikemiskinan. Dengan spirit baru itu, negara-negara AA dapat memfokuskan kerja sama dalam rangka memerangi kemiskinan," tegasnya. (Kompas, 2/4).

**

BAGI sesepuh Jawa Barat Letjen (Purn.) Dr. (HC) Mashudi, keterpurukan yang kini melanda Indonesia salah satu sebabnya adalah tercerabutnya bangsa ini dari akar sejarah bangsanya. "Konferensi Asia Afrika hanyalah sekelumit dari perjuangan panjang para tokoh pejuang Indonesia sejak masa pergerakan hingga mencapai kemerdekaan. Dulu kita ini dikenal sebagai bangsa pejuang (a fighting nation) dan kini kita terpuruk menjadi a beggar nation atau bangsa pengemis. Dari setiap persimpangan jalan di sudut-sudut kota, hingga mengemis kepada IMF. Mau ke mana sebetulnya republik ini?" ungkap Mashudi pada sebuah sarasehan terkait peringatan Konferensi Asia Afrika beberapa waktu lalu.

Menurut Mashudi, jauh sebelum Konferensi Asia Afrika, Bandung juga menjadi saksi bagaimana ketegasan sikap Bung Karno dalam menentang kolonialisme. "Baru sekarang saja, Gedung Landraat tempat di mana Bung Karno menyampaikan nota pembelaan saat diadili Belanda pada 1930, kembali direvitalisasi dan dijadikan situs sejarah. Tetapi, yang saya prihatinkan adalah spirit perjuangan para tokoh kita di masa lalu itu cenderung semakin terlupakan," katanya.

Mashudi yang juga menjadi Ketua Dewan Penyantun pada beberapa lembaga perguruan tinggi di Jabar, mengaku amat prihatin menyimak bagaimana praktik melupakan sejarah itu juga terjadi di lingkungan akademis. "Banyak dosen-dosen yang ternyata belum membaca buku-buku yang sebetulnya mengandung nilai-nilai penting pewarisan etos perjuangan dan nasionalisme. Misalnya nota pembelaan Bung Karno yang berjudul Indonesia Menggugat atau pembelaan Bung Hatta di depan Pengadilan Belanda (1928) bertajuk Indonesia Merdeka," kata Mashudi.

Belum lagi buku-buku lain yang di masa rezim Orde Baru dilarang beredar. "Mau apa yang kita wariskan kepada generasi mendatang soal nasionalisme ini. Yang membuat bangsa Jepang atau Singapura bisa maju, karena mereka paham benar makna nasionalisme dan doktrin pertahanan. Kalau nasionalisme sudah tidak ada, ya buktinya seperti sekarang ini kita terpuruk di segala bidang. Kita tertinggal tiga generasi dalam menanamkan nilai nasionalisme," tuturnya.

Oleh karena itu, tegas Mashudi, upaya merevitalisasi semangat KAA jangan sekadar seremoni atau fisik belaka. "Jauh lebih penting adalah filsafat berbangsa yang dulu dirintis oleh para founding fathers harus kita bangkitkan kembali. Bangsa ini akan kerdil kalau terus melupakan sejarahnya," tegasnya.

Mashudi menambahkan etos perjuangan dari Bung Hatta, misalnya, memiliki keberkaitan yang amat erat dengan praktik kepemimpinan masa kini. "Kesederhanaan, ketaatan beribadah, dan kesantunan Bung Hatta seharusnya menjadi cermin bagi pemimpin saat ini. Etos Bung Hatta itu terangkum pada kata-kata bijak 'beribadah sepanjang hidup, belajar sepanjang hidup, dan bekerja sepanjang hidup," tambahnya.

Saini KM memandang bahwa KAA menjadi momen penting saat ini, untuk kembali menjalin solidaritas sesama bangsa. "Solidaritas untuk mengenyahkan berbagai problematika sosial politik yang hanya mengerdilkan kita sebagai entitas kebangsaan di panggung global. Solidaritas untuk mengenyahkan praktik korupsi, kolusi, nepotisme, serta kesewenangan. Juga solidaritas untuk konsisten menegakkan hukum," tegasnya.

Hal ini, menjadi momen bagi semua pihak untuk menyadari bahwa ternyata semangat perlawanan terhadap semua bentuk imperialisme dan kolonialisme yang dirintis oleh Bung Karno, ternyata tetap relevan. "Semangat Bung Karno untuk melawan semua bentuk penindasan itu harus tetap menjadi etos yang terus dipelihara, baik untuk menghadapi tantangan eksternal maupun internal berupa praktik-praktik antidemokrasi, keterbukaan, dan kejujuran," ucapnya.

**

SEJARAH hanyalah cerita-cerita kelompok pemenang (stories of the victorious). Demikian ungkapan yang menyangsikan objektivitas sejarah. Karena itu, diperlukan upaya-upaya nyata dari semua kalangan untuk mengembalikan objektivitas sejarah itu. Pelurusan sejarah itu bukan hanya bermakna demi kejujuran pada sejarah itu sendiri. Tapi, lebih dari itu sejarah yang benar akan menjadi penuntun bagi generasi berikut dalam mengayunkan langkahnya.

Upaya pelurusan sejarah juga menjadi teramat penting, tatkala kita tengah mencari sosok pemimpin yang sanggup memenuhi amanah yang diembannya. Pemimpin yang tidak tahu sejarah, tidak akan tahu ke mana melangkah, sehingga kerap tersandung dalam ayunan langkahnya itu. Pemimpin yang sama sekali tidak tahu sejarah, niscaya tidak akan bisa belajar dari apa yang sudah terjadi, sehingga tidak tahu apakah kebijakan yang diambilnya memiliki makna bagi rakyat yang dipimpinnya atau tidak.

Untuk itu, semestinya momen peringatan KAA bukan sekadar sebuah jargon politik. Bahkan, pengamat politik Riza Sihbudi menyatakan KAA 2005 lebih banyak didominasi romantisme. "Aspek romantisme lebih dominan ketimbang langkah-langkah konkret. Kalau mau menghidupkan lagi kerja sama AA, kenapa harus menunggu hingga peringatan 50 tahun KAA," kata Riza.

Dia menegaskan, terlalu ambisius jika negara-negara Asia Afrika ingin menyelesaikan seluruh persoalan dunia. "Sebaiknya Asia Afrika tetap berorientasi menyelesaikan masalah-masalah di dalam negeri masing-masing. Dengan mengatasi persoalan di masing-masing negara saja, sebenarnya sudah muncul upaya penyelesaian lebih dari separuh persoalan dunia," tuturnya.

Kalau kita tarik hal itu dalam konteks lokal, revitalisasi KAA 1955 semestinya kita maknai sebagai upaya mengambil inspirasi dari nilai-nilai kepemimpinan terbaik dari para founding fathers kita di masa lalu. Nilai-nilai yang menggabungkan keberanian, konsistensi, kejujuran, kesederhanaan, solidaritas, dan sebagainya dari rangkaian kepemimpinan yang ditunjukkan entah itu oleh Soekarno, Moh. Hatta, Tan Malaka, Kiai Agus Salim, dll.

Dalam konteks yang lebih praktis persis sebagaimana dipaparkan sejarawan dari Universitas Gajah Mada (UGM), Bambang Purwanto dalam sebuah kesempatan berbincang soal sejarah dengan penulis, bahwa pemahaman sejarah bagi para pemimpin sejatinya demi keberpihakan mereka kepada rakyatnya. "Dengan belajar dari sejarah, para pemimpin akan tahu apa yang seharusnya dilakukan bagi rakyatnya. Mereka tidak akan memandang kepemimpinan mereka sebagai kekuasaan tanpa batas sehingga setiap kebijakan yang mereka keluarkan juga tidak bermakna pemaksaan kehendak dengan memanfaatkan kekuasaannya," tegasnya.

Pada sisi inilah, sebenarnya, revitalisasi spirit Konferensi Asia Afrika berada. Revitalisasi spirit perjuangan para tokoh bangsa yang membuat bangsanya bermartabat. Kini, spirit untuk mewujudkan martabat bangsa itu terletak pada para pemimpin dan calon pemimpin di semua level, yang mendapat amanah untuk duduk di kursi kepemimpinannya. Sejarah yang juga akan membuktikan, apakah mereka juga pemimpin yang bermartabat sebagaimana telah ditunjukkan para founding fathers.***

Penulis, wartawan HU "Pikiran Rakyat" Bandung.

Tidak ada komentar: