Jumat, 27 Juli 2012

Koleksi Tulisan Tentang Bung Karno

Kumpulan Tulisan dalam memperingati :

1. Sewindu Tragedi Trisakti : 12 Mei 1998

2. Hari Kebangkitan Nasional : 20 Mei 1998

3. Suksesi setelah 32 tahun : 21 Mei 1998

4. HUT Pancasila ke 61 tahun : 01 Juni 1945

5. HUT Bung Karno ke 100 tahun :06 Juni 1901

Kumpulan Tulisan :

1. Bung karno : pemersatu bangsa dan obor perjuangan rakyat

2. Bung Karno : orang besar di skala internasional

3. Konferensi bandung : kancah perjuangan besar bung karno

4. Memperingati hut ke 100 bung karno dibawah bendera revolusi

5. jiwa perjuangan bung karno perlu jadi sumber inspirasi

6. Mengapa bung karno perlu dikenang kembali?

7. membangkitkan kembali bangsa dengan jiwa besar bung karno

8. belajar dari pandangan bung karno tentang marxisme

9. SOEKARNO : Antara bima dan hamlet

10. SOAL G30S, BUNG KARNO DAN SUHARTO

11. BONGKAR TERUS LATAR BELAKANG KERUSUHAN MEI 1998

12. GERAKAN REVOLUSIONER UNTUK MENUNTASKAN REFORMASI

13. bHINNEKA TUNGGAL IKA KITA MENGHADAPI BAHAYA

14. MANIFESTO POLITIK MAHASISWA INDONESIA

15. GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS

Di susun Oleh : Litsus Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia

BUNG KARNO PEMERSATU BANGSA DAN OBOR PERJUANGAN RAKYAT

(Oleh :A. Umar Said)

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (1)

(Sebagai ganti kata pengantar : Mengapa Bung Karno perlu “diangkat” kembali pada tempatnya yang semestinya? Apakah ada gunanya bagi bangsa kita, dewasa ini dan juga untuk selanjutnya, mengenang kembali dan mempelajari segala persoalan yang bekaitan dengannya? Apakah artinya Bung Karno bagi perjuangan bangsa Indonesia? Apakah ajaran-ajaran Bung Karno masih perlu dijadikan bahan pemikiran? Apakah Bung Karno itu berhaluan “kiri”? Mengapa Bung Karno mencetuskan gagasan NAS-A-KOM? Mengapa Bung Karno telah digulingkan dari kedudukannya sebagai presiden? Marhaenisme itu sebenarnya apa? Mengapa Bung Karno dimusuhi oleh kekuatan-kekuatan pro-imperialisme dan kolonialisme? Apa sajakah akibat digulingkannya Bung Karno bagi kehidupan bangsa dan negara kita? Mengapa Bung Karno dicintai rakyat? Di mana sajakah perbedaan antara Bung Karno dan Suharto?)

Dalam rangka peringatan 100 Tahun Bung Karno, yang akan dirayakan dalam bulan Juni yad, akhir-akhir ini telah mulai bermunculan di berbagai tempat di negeri kita beraneka ragam Panitia atau Komite yang sudah mulai mengadakan kegiatan-kegiatan untuk menyambut peristiwa penting ini. Tulisan-tulisan sudah mulai muncul dan ceramah atau diskusi juga sudah mulai diadakan, dan, menurut informasi dari banyak fihak, berbagai acara juga sedang dipersiapkan. Ini semua merupakan pertanda yang baik, terutama kalau dihubungkan dengan situasi negeri kita akhir-akhir ini.

Kalau kita renungkan dalam-dalam dan dengan fikiran jernih pula, maka kita bisa melihat betapa pentingnya bagi bangsa kita, sekarang ini, menggunakan kesempatan ini untuk - secara bersama-sama - mengkaji kembali peran Bung Karno dalam sejarah bangsa Indonesia, perjuangannya, dan juga sumbangan dan jasa-jasanya yang besar bagi lahirnya Republik Indonesia.

Pada dewasa ini, menelaah kembali sejarah dan perjuangan Bung Karno, dan mencoba mendalami ajaran-ajarannya atau berusaha menghayati cita-citanya serta berbagai konsepsinya bisalah merupakan sumbangan untuk bisa melihat, dengan gamblang sekali, betapa jauhnya perbedaan antara Bung Karno dengan “pemimpin-pemimpin” kita dewasa ini. Perbedaan ini nampak jelas sekali dalam kebesaran gagasan-gagasannya mengenai persatuan bangsa, dalam keagungan kecintaannya kepada negara dan revolusi, dalam kecermelangan fikirannya sehingga bangsa Indonesia menjadi terhormat di pergaulan internasional antara bangsa-bangsa, dan dalam ketulusannya mengabdi kepada rakyat.

Apakah itu semuanya diketahui oleh generasi muda negeri kita dewasa ini ? Dan kalaupun mereka ketahui, sampai di manakah mereka bisa memahaminya atau menghayatinya? Bagi banyak orang, terutama bagi mereka yang pernah ikut berjuang secara aktif dalam membela kepentingan rakyat dan Republik Indonesia sampai tahun 1965, adalah satu hal yang jelas: Bung Karno adalah pemimpin besar bangsa, tokoh pemersatu rakyat yang terdiri dari berbagai suku dan keturunan, yang tinggal dari Sabang sampai Merauke.

Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia, adalah seorang yang pernah menjadikan nama negerinya begitu harum di kalangan rakyat-rakyat Asia-Afrika-Amerika Latin. Bung Karno adalah seorang pemimpin rakyat, yang pernah membikin orang Indonesia menjadi bangga atas ke-Indonesiaannya. Ini berbeda dengan pengalaman banyak orang selama puluhan tahun belakangan ini, yang merasa malu menjadi bangsa Indonesia, berhubung banyaknya hujatan dunia internasional terhadap berbagai praktek buruk rezim Orde Baru/Golkar. Bagi mereka yang pernah berkecimpung secara aktif dan luas di pergaulan internasional, jelaslah bahwa revolusi Indonesia dan Bung Karnonya pernah menjadi sumber inspirasi bagi bangsa-bangsa lainnya, terutama yang waktu itu sedang berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme.

Sekarang ini, kita sama-sama merasakan bahwa persatuan bangsa sedang dicabik-cabik oleh berbagai rasa permusuhan antar-golongan, antar-etnis, antar-agama, dan sedang terancam oleh bahaya separatisme. Sejak puluhan tahun, negeri kita telah terpuruk namanya di dunia internasional oleh karena korupsi yang merajalela di seluruh bidang kehidupan dan pelanggaran HAM secara besar-besaran (yang merupakan akibat-akibat serius politik Orde Baru/Golkar selama puluhan tahun dan yang sekarang diwariskan kepada kita semua!!!). Mengingat itu semuanya, maka perlu sekalilah kita sadari bersama bahwa segala macam usaha untuk mengenang dan mempelajari kembali gagasan-gagasan Bung Karno mempunyai arti yang penting sekali bagi bangsa kita dewasa ini.

KITA HARUS BERANI BICARA TENTANG BUNG KARNO

Mengingat pentingnya kedudukan Bung Karno dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, maka agaknya sudah tepatlah bahwa berbagai panitia atau forum (atau segala macam badan lainnya) telah dan sedang mengadakan berbagai kegiatan untuk memperingati 100 Tahun Bung Karno. Makin banyak jumlahnya, makin banyak ragam kegiatannya, makin luas pesertanya, dan makin banyak persoalan yang diangkatnya, maka itu semua akan membikin makin besarnya sumbangan kepada pendidikan politik (dan moral!) bagi bangsa. Terutama kepada generasi muda kita dewasa ini, dan juga kepada generasi yang akan datang.

Sesudah jatuhnya Orde Baru (betul, memang belum 100%!), adalah kewajiban kita bersama untuk mengangkat kembali Bung Karno kepada tempatnya yang layak, atau yang semestinya, sebagai pelopor kemerdekaan, dan sebagai pemimpin besar bangsa. Mendudukkan kembali Bung Karno pada tempat yang sesuai dengan haknya yang sah adalah perlu sekali. Sebab, sudah selama lebih dari 32 tahun namanya telah dicemarkan, penyebaran fikiran-fikirannya dipersulit, sejarahnya dipotong-potong oleh rezim Orde Baru/Golkar. Kasarnya, sejarah Bung Karno beserta ajaran-ajarannya (dan jasa-jasanya) telah diusahakan “dikubur” selama itu.

Pengalaman selama lebih dari 32 tahun Orde Baru/Golkar (harap diperhatikan bahwa kedua kata itu disini dijadikan satu!) membuktikan bahwa Orde Baru/Golkar pada hakekatnya, atau pada dasarnya, telah menjadikan Bung Karno sebagai musuh politiknya. Dan ini wajar. Sebab, kalau menelaah kembali latar belakang peristiwa 1965, dan juga sejarah berdirinya Orde Baru/Golkar, maka jelaslah bahwa sejak itulah muncul permusuhan atau perbenturan antara politik Bung Karno dan para pendiri rezim Orde Baru/Golkar. Bahkan, sejak jauh sebelumnya. (Tentang soal ini, bisa ditulis lain kali).

Oleh karena itulah, maka, sekarang ini, bagi semua kekuatan pro-demokrasi dan pro-reformasi, perlu sekali untuk makin berani berbicara tentang Bung Karno dan berusaha mengangkatnya kembali pada tempatnya yang selayaknya. Tugas ini adalah tugas besar kita semuanya, tanpa memandang sekat-sekat agama, suku atau grup etnis, ras, ideologi, atau komponen masyarakat. Bung Karno adalah milik bangsa, dan bukan hanya milik segolongan atau beberapa golongan saja.

Di bawah kepemimpinan Bung Karno, rakyat Indonesia pernah secara gemilang dipersatukan dalam memperjuangkan kemerdekaan nasional dan juga dalam mendirikan negara Republik Indonesia (sampai 1965). Di bawah kepemimpinannya, kerukunan berbagai suku, agama, dan golongan-golongan dalam masyarakat, nampak sekalilah bedanya dengan apa yang terjadi sekarang ini. Di bawah kepemimpinannya, terasa benar bagi rakyat Indonesia betapa besar artinya lambang Bhinnkeka Tunggal Ika, betapa mendalamnya penghayatan sumpah Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa. Juga selama kepemimpinannyalah, Pancasila betul-betul menjadi pedoman politik, ekonomi, sosial, dan moral bagi bangsa kita secara keseluruhan.

SEGI POSITIF AJARAN/POLTIK BUNG KARNO

Mengingat itu semuanya, maka makin terasalah betapa pentingnya, dewasa ini, ketika bangsa dan negara kita seperti kehilangan arah, atau seperti kebingungan dalam mencari pegangan, untuk mengenang kembali sejarah, jasa-jasa, dan ajaran-ajaran Bung Karno. Dengan bersama-sama mengungkapkan sebanyak mungkin, dan juga seluas mungkin, berbagai aspek yang berkaitan dengan Bung Karno, maka akan nyatalah bahwa apa yang terjadi sejak digulingkannya dari kedudukannya sebagai presiden/kepala negara, maka perjuangan bangsa dan rakyat Indonesia menuju cita-cita masyarakat yang adil dan makmur telah mengalami kemunduran-kemunduran yang besar atau dahsyat sekali.

Wajarlah kiranya, bahwa dalam usaha bersama kita untuk mendudukkan kembali Bung Karno pada tempat yang selayaknya dalam sejarah bangsa Indonesia, terdengar suara-suara atau pendapat-pendapat yang serba negatif, yang datang dari fihak-fihak yang selama ini memang menentang politik Bung Karno, atau dari fihak-fihak yang mendukung Orde Baru/Golkar. Dan, wajar jugalah kiranya, bahwa muncul juga pendapat yang yang kritis terhadap kesalahan atau kekurangan Bung Karno, tanpa menghilangkan jasa-jasanya yang besar kepada bangsa dan tanpa membuang ajaran-ajarannya yang positif.

Dalam rangka Peringatan 100 Tahun Bung Karno, itu semua akan berguna bagi pendidikan politik bangsa, baik yang generasi kita sekarang maupun generasi kita yang akan datang. Tetapi, perlulah agaknya dimengerti juga, bahwa dalam rangka berbagai kegiatan “Peringatan” ini banyak orang menggunakan kesempatan ini untuk mengangkat berbagai aspek sejarah dan ajaran-ajaran positif Bung Karno. Menyebarluaskan segi-segi positif fikiran atau ajaran Bung Karno adalah benar, dan juga perlu!. Apalagi, kalau mengingat situasi negeri kita dewasa ini (!!!), maka makin terasalah bahwa mengangkat kembali kebesaran fikiran-fikirannya akan merupakan sumbangan penting untuk memperkaya pandangan banyak orang dalam menghadapi berbagai persoalan pelik dewasa ini...

Setelah sama-sama mengalami sendiri politik rezim Orde Baru/Golkar selama puluhan tahun, maka kita semuanya melihat bahwa politik Bung Karno di berbagai bidang adalah sama sekali bertolak belakang dengan politik Orde Baru/Golkar. Dan sebagai hasilnya, kita lihatlah sekarang ini betapa hebatnya kebobrokan moral (yang parah sekali), yang termanifestasikan dalam kerusakan-kerusakan serius di bidang politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, yang diwariskan oleh rezim Suharto dkk. Kebobrokan moral yang parah ini, terutama sekali, telah melanda kalangan atas dan menengah bidang eksekutif, legislatif, dan judikatif. Kalau kita renungkan dalam-dalam, maka akan nyata bahwa kebobrokan moral inilah salah satu di antara sumber-sumber banyaknya persoalan rumit dewasa ini.

BUNG KARNO DICINTAI RAKYAT

Sejarah telah mencatat bahwa rakyat Indonesia memang mencintai dan mengagumi Bung Karno ketika beliau masih hidup (harap perhatian, bahwa di bagian ini kata “beliau” memang sengaja dipakai). Bahkan, sesudah beliau sudah wafat pun (21 Juni 1970) rakyat masih tetap menunjukkan kecintaan atau penghargaan terhadap beliau. Ini kelihatan dari begitu banyaknya orang yang menjenguk jenazah beliau di Jakarta dan juga ketika beliau dimakamkan di Blitar. Padahal, waktu itu beliau sudah dikucilkan dari kehidupan politik. Bukan saja beliau sudah digulingkan oleh para pendiri rezim Orde Baru, bahkan juga disiksa secara mental. Kampanye (terbuka dan terselubung) untuk de-Sukarnoisasi sudah dilancarkan secara intensif dan luas.

Kampanye de-Sukarnoisasi yang berjalan selama 30 tahun memang luar biasa dampaknya!. Orde Baru telah menggunakan segala cara (indoktrinasi, manipulasi fakta sejarah, intimidasi secara halus, dan segala bentuk rekayasa lainnya) untuk menghancurkan pengaruh ajaran-ajaran dan berbagai konsepsi politik Bung Karno. Ini bisa dimengerti. Sebab, para pendiri Orde Baru/Golkar memang berkepentingan sekali terhadap hilangnya Sukarno-isme dari bumi Indonesia. Sebagai halnya dengan komunisme, nyatalah bahwa Sukarnoisme telah dianggap sebagai bahaya besar bagi kelangsungan hidup Orde Baru/Golkar.

Dampak yang besar kampanye de-Sukarnoissasi itu kelihatan dari hilangnya buku-buku yang berisi ajaran-ajaran beliau dari toko-toko buku, atau dari ketakutannya banyak orang untuk memasang gambar Bung Karno di rumah-rumah penduduk. Dalam jangka lama, banyak sekali orang yang hanya berani berbisik-bisik antara teman, kalau berbicara tentang Bung Karno. Kata-kata Marhaeinisme, gotong-royong, revolusi, ekonomi berdikari, sosialisme kerakyatan Indonesia, makin lama makin menghilang dari percakapan sehari-hari. Anak-anak muda yang belajar sejak dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi mengenal nama Sukarno secara terbatas sekali, dan itupun sering diiringi oleh penjabaran yang bernuansa negatif. Sebab, buku-buku sekolah tentang pelajaran sejarah telah “digiring” ke arah de-Sukarnoisasi.

Memang, karena terpaksa, atau karena karena perhitungan politis, atau juga sekedar sebagai “pupur” (atau karena “gabungan” itu semua!!!) rezim Orde Baru telah memberikan gelar Pahlawan Proklamator kepada Bung Karno. Makam beliau di Blitar pun telah dibangun dengan tanda peringatan yang mencantumkan nama Suharto. Dan, yang juga menyolok adalah penamaan bandar-udara Cengkareng dengan nama Bandar Udara Sukarno-Hatta. Di samping itu, dalam setiap upacara hari proklamasi 17 Agustus putera-puteri Bung Karno juga diundang untuk menghadirinya. Tetapi, itu semua tidak bisa membantah kenyataan sejarah lainnya bahwa Orde Baru/Golkar telah “meng-kudeta” bung Karno dan sekaligus juga membunuh ajaran-ajaran beliau.

Namun, berbagai kenyataan menunjukkan bahwa kecintaan rakyat terhadap Bung Karno tidak gampang ditumpas begitu saja. Selama puluhan tahun, makam Bung Karno di Blitar selalu dikunjungi oleh banyak orang, yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras, lapangan profesional, atau keyakinan politik. Kemenangan PDI-P dalam pemilihan umum tahun 1999 ada juga kaitannya dengan faktor kecintaan rakyat kepada Bung Karno, yang dimanifestasikan dengan memilih fihak Megawati Sukarnoputri. Sekarang ini foto-foto Bung Karno dijual di mana-mana dan juga kembali menghiasi dinding banyak rumah penduduk

SEMEN PERSATUAN DAN OBOR SEMANGAT PERJUANGAN

Sampai menjelang akhir hidupnya, Bung Karno adalah semen persatuan bangsa, yang terdiri dari begitu banyak suku, agama, asal keturunan, dan adat-istiadat. Kemudian, kita menyaksikan bahwa sejak hilangnya Bung Karno, maka Indonesia seolah-olah kehilangan semen yang bisa memperkokoh rasa persatuan dan kerukunan bangsa ini. Agaknya, tidak perlulah direntang-panjangkan lagi di sini, bahwa “persatuan” atau “kesatuan” yang pernah dibangga-banggakan selama puluhan oleh Orde Baru/Golkar adalah sebenarnya persatuan yang semu dan kesatuan yang rapuh. Persatuan bangsa dan kesatuan negara di bawah Orde Baru/Golkar adalah persatuan yang dipaksakan oleh ujung bayonet. Tegasnya, adalah sebenarnya hanya persatuan semu dan kesatuan palsu yang dibangun atas bangkai jutaan manusia yang tidak bersalah.

Kalau kolonialisme Belanda pernah berhasil memecah-mecah bangsa dan negara dengan mendirikan negara-negara boneka (negara Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Pasundan, Jawa Timur, Madura, Indonesia Timur) dan berbagai “daerah otonom” (Riau, Bangka, Belitung, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, dan Jawa Tengah) maka melalui perjuangan nasional di bawah pimpinan Bung Karno, pada akhirnya seluruh negeri dapat dipersatukan –dengan perasaan kerukunan dan jalan damai - dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tetapi, semangat persatuan dan kesatuan ini telah dirusak oleh berbagai kesalahan politik rezim Orde Baru/Golkar selama puluhan tahun, sehingga bangsa dan negara kita dewasa ini menghadapi berbagai persoalan rumit dan parah, yang menimbulkan bahaya disintegrasi.

Selama hidupnya, Bung Karno adalah obor semangat kerakyatan dan inspirator perjuangan bangsa. Bukan saja peran ini telah dimainkan olehnya sejak ia masih muda sebelum Perang Dunia ke-II, atau selama revolusi 45, melainkan juga sampai terjadinya peristiwa 1965. Di bawah kepemimpinannya, terasa sekalilah pada waktu itu bahwa di mana-mana berkobar semangat revolusioner dan patriotisme di kalangan rakyat untuk menghadapi imperialisme dan neo-kolonialisme beserta kaki-tangan mereka di dalamnegeri. Semangat persatuan rakyat demi mempertahankan kedaulatan negara ini nampak nyata sekali ketika terjadi peristiwa-peristiwa Andi Azis (Makasar) dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA, Bandung) dalam tahun 1950, yang kemudian disusul oleh pembrontakan RMS (1950-1963), pembrontakan DI-TII (sampai akhir 1962), PRRI-Permesta (1958).

Bung Karno adalah pemimpin besar bangsa, yang telah dengan gemilang dapat berkali-kali menyelamatkan Republik Indonesia dari berbagai gangguan serius dan bahaya perpecahan. Justru karena keberhasilannya itulah, maka kemudian musuh-musuh politiknya, baik yang datang dari dalamnegeri maupun luarnegeri, makin bertekad untuk melenyapkannya dari pucuk pimpinan negara dan bangsa. Dan, seperti kita sudah ketahui bersama, peristiwa 30 September 1965 (tepatnya : 1 Oktober pagi) adalah permulaan dari serentetan perkembangan yang kemudian menyeret negeri kita Indonesia memasuki masa gelapnya yang panjang.

(Tulisan pertama habis di sini).

14 November 2000

BUNG KARNO ORANG BESAR
DI SKALA INTERNASIONAL

(Oleh :A. Umar Said)

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (2)

(Sebagai ganti kata pengantar : Mengapa Bung Karno perlu “diangkat” kembali pada tempatnya yang semestinya? Apakah ada gunanya bagi bangsa kita, dewasa ini dan juga untuk selanjutnya, mengenang kembali dan mempelajari segala persoalan yang bekaitan dengannya? Apakah artinya Bung Karno bagi perjuangan bangsa Indonesia? Apakah ajaran-ajaran Bung Karno masih perlu dijadikan bahan pemikiran? Apakah Bung Karno itu berhaluan “kiri”? Mengapa Bung Karno mencetuskan gagasan NAS-A-KOM? Mengapa Bung Karno telah digulingkan dari kedudukannya sebagai presiden? Marhaenisme itu sebenarnya apa? Mengapa Bung Karno dimusuhi oleh kekuatan-kekuatan pro-imperialisme dan kolonialisme? Apa sajakah akibat digulingkannya Bung Karno bagi kehidupan bangsa dan negara kita? Mengapa Bung Karno dicintai rakyat? Di mana sajakah perbedaan antara Bung Karno dan Suharto?)

Dalam rangka Peringatan Peringatan 100 Tahun Bung Karno dapatlah kiranya diduga bahwa akan terus muncul beraneka-ragam tulisan - atau karya-karya dalam bentuk lainnya - yang menelaah berbagai aspek tentang tokoh besar bangsa kita ini, baik yang berkaitan dengan perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan maupun perannya sebagai kepala negara dan pemersatu bangsa. (Termasuk juga beragam analisa atau pendapat tentang hal-hal yang berkaitan dengan situasi sebelum dan sesudah peristiwa 1 Oktober 1965).

* * *

Tulisan kali ini dimaksudkan sebagai sumbangan untuk bersama-sama merenungkan kembali peran dan tempat Bung Karno bagi perjuangan rakyat Asia-Afrika (dan Amerika Latin) waktu itu. Sebab, dalam segi ini jugalah terletak kebesaran atau keagungan Bung Karno. Mungkin, bagi sebagian terbesar diplomat tua negeri kita (baik yang sudah mantan, mau pun yang masih aktif dewasa ini, terutama yang menghayati arti gagasan-gagasan Bung Karno ) apa yang dikemukakan dalam tulisan kali ini bukanlah sesuatu hal yang baru. Demikian juga bagi mereka yang pernah aktif dalam berbagai kegiatan internasional waktu itu. Mungkin mereka masih ingat betapa tingginya penghargaan rakyat berbagai negeri Asia-Afrika terhadap Bung Karno. Sampai sekarang pun, nama Bung Karno masih tetap terkenal di kalangan pimpinan negara maupun gerakan-gerakan rakyat di berbagai negeri.

Oleh karenanya, generasi muda dewasa ini (dan juga yang akan datang) perlu sekali mengetahui dengan selayaknya akan satu hal, yaitu : bahwa Bung Karno adalah tokoh besar dalam skala internasional, dan terutama sekali dalam skala Asia Afrika. Dan, bahwa Bung Karno pernah menjadi bintang, atau menjadi idola, bagi para gerakan-gerakan progressif di berbagai negeri Asia-Afrika. Juga, bahwa karenanya, Bung Karno patut menjadi kebanggaan bangsa kita, baik sekarang mau pun di masa-masa yang akan datang. Kita patut mengetahui dengan baik bahwa kebesaran gagasan-gagasan Bung Karno tidak hanya mencakup persoalan-persoalan Indonesia saja, melainkan juga berbagai persoalan internasional yang terjadi pada masa hidupnya.

Sejarah bangsa kita selama 100 tahun telah makin meyakinkan kita, bahwa sampai sekarang ini, Bung Karno adalah pemimpin TERBESAR bangsa Indonesia. Dan, bahwa walaupun mungkin di kemudian hari akan muncul pemimpin-pemimpin besar lainnya di Indonesia (mudah-mudahan), maka Bung Karno akan tetap menduduki tempat yang penting dan terhormat dalam sejarah bangsa Indonesia. Untuk mencegah supaya kita tidak terjerembab dalam pengungkapan-pengungkapan yang superlatif (berlebih-lebihan, atau serba “paling”), berbagai faktor sebagai berikut di bawah ini, dapatlah kiranya dipakai bersama sebagai bahan renungan.

KEBESARAN BUNG KARNO ADALAH SEJAK MUDA

Adalah satu hal yang penting untuk sama-sama kita ingat bahwa kebesaran Bung Karno tentang berbagai persoalan bangsa - termasuk masalah perjuangan dalam skala internasional melawan imperialisme dan kolonialisme – adalah sudah di sandangnya sejak muda. Sejak sekolah menengah (HBS, sekolah menengah Belanda) Bung Karno sudah tertarik kepada masalah-masalah politik. Ketika ia “in de kost” di rumah pemimpin Sarekat Islam Haji O.S.Tjokroaminoto di Surabaia ia sudah bergaul dengan Semaun dan Muso (mereka berdua ini kemudian menjadi pemimpin PKI), dan mengenal berbagai tokoh-tokoh perjuangan waktu itu.

Ketika umurnya sudah melewati 20 tahun, ia sudah mulai menulis artikel-artikel yang mencerminkan sikapnya melawan kolonialisme Belanda (dengan nama samaran). Setelah tammat belajar di Technische Hooge School (sekarang ITB) dalam tahun 1925, dan ketika masih berumur 27 tahun, ia bersama-sama dengan kawan-kawan dekatnya (antara lain : Dr Cipto Mangunkusumo, Mr. Sartono, Mr Iskaq Cokrohadisuryo, Mr Sunaryo) ia telah mendirikan Partai Nasional (PNI) pada tanggal 4 Juli 1927. Tujuan PNI adalah memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Dalam tahun itu juga, pada tanggal 29 Desember 1927, ia telah ditangkap oleh pemerintahan Belanda, dengan tuduhan melakukan makar. Bung Karno beserta kawan-kawannya dipenjarakan di Sukamiskin (Bandung), tetapi kemudian mendapat grasi.

Di depan pengadilan Belanda di Bandung, Bung Karno mengucapkan pidato pembelaan yang berjudul “Indonesia Menggugat”, yang kemudian menjadi sumber inspirasi perjuangan bagi banyak golongan lainnya waktu itu. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda, “Indonesia Menggugat” ini merupakan dokumen penting bangsa. (Adalah baik diketahui bahwa dalam “Indonesia Menggugat” telah diangkat berbagai masalah internasional yang penting).

Agaknya, dari segi ini pulalah kita semua bisa menelaah sikap, atau pandangan, atau politik Bung Karno selama perjuangannya, sampai ketika menjadi kepala negara. Singkatnya, karena sejak mudanya, ia sudah berjuang puluhan tahun sebagai nasionalis melawan secara gigih kolonialisme, maka ia mempunyai simpati yang besar - atau perasaan yang mendalam sekali – terhadap perjuangan bangsa atau rakyat lainnya di berbagai negeri melawan kolonialisme dan imperialisme waktu itu. Dan karena sesudah Perang Dunia ke-II masih banyak negeri-negeri yang masih dijajah atau sedang mempunyai persoalan-persoalan besar dengan kolonialisme (terutama di Asia dan Afrika), maka sikap Bung Karno ini juga tercermin dalam banyak tindakan dan politiknya, sampai menjelang terjadinya peristiwa 1 Oktober 1965 (tentang soal ini bisa diungkap dalam tulisan tersendiri).

BUNG KARNO ADALAH MUSUH KUBU BARAT

Sekarang, kalau kita menoleh ke belakang, dan memandang persoalan-persoalan dengan kaca-mata yang bening, maka akan nyatalah bahwa ada berbagai faktor yang menyebabkan Bung Karno mempunyai sikap yang memihak perjuangan berbagai negeri dalam melawan kolonialisme dan imperialisme (kasarnya, kubu Barat, waktu itu). Demikian juga, mengapa ia selalu menganjurkan persatuan bangsa dan selalu menganjurkan kewaspadaan bangsa akan adanya musuh-musuh yang membahayakan Republik Indonesia.

Revolusi 17 Agustus 45 dan didirikannya Republik Indonesia adalah pukulan berat bagi kekuasaan Belanda yang sudah 300 tahun menjajah dan mengeruk kekayaan Indonesia. Dalam konteks geo-politik waktu itu, adalah jelas sekali bahwa kekalahan Belanda menimbulkan semacam “solidaritas” di kalangan kekuatan “kubu Barat”. Itulah sebabnya mengapa Republik Indonesia, sejak diproklamasikannya oleh Sukarno-Hatta, terus-menerus menjadi sasaran berbagai aksi-aksi subversi mereka dalam berbagai bidang.

Sejak selesainya Perang Dunia, kubu Barat melihat betapa pentingnya kedudukan strategis negeri kepulauan Indonesia dalam konteks geo-politik di benua Asia. Setelah kemenangan revolusi Tiongkok yang dipimpin oleh Mao Tse Tung dan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok (1949),dan kemudian disusul oleh pecahnya Perang Korea (sampai 1953), maka Amerika Serikat makin melihat betapa pentingnya bagi kubu Barat untuk berusaha supaya Indonesia bisa berada difihak Barat. Apalagi, setelah pecahnya perang Indo-Cina, maka kekuatiran dunia Barat akan terlaksananya “teori domino” menjadi makin membesar.

Karena itulah, maka mulai 1950-an, Amerika Serikat (dengan dibantu oleh Belanda dan Inggris) melakukan berbagai “operasi”, baik yang bersifat subversi maupun beraneka-ragam “intervensi” di berbagai bidang. Apalagi, dengan kemenangan PKI dalam pemilu tahun 1955, maka kubu Barat (terutama Amerika Serikat) makin melihat “bahaya” yang terdapat di bumi Indonesia. “Bahaya” ini termanifestasikan pada sosok Sukarno, seorang nasionalis yang berhaluan kiri, yang telah menggegerkan dunia dengan terselenggaranya konferensi Bandung dalam tahun 1955 (tentang soal ini ada catatan tersendiri).

Berbagai pergolakan politik dan juga pembrontakan bersenjata yang terjadi berturut-turut sejak zaman revolusi sampai 1965 menunjukkan bahwa berbagai bahaya selalu mengancam Republik Indonesia dan bahkan juga keselamatan pribadi Bung Karno sendiri. Sejak 1950 sampai 1965 telah terjadi 7 kali percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno, yaitu : penggranatan di Cikini, usaha pembunuhan dalam peristiwa Idhul Adha, pembrondongan dari pesawat udara oleh Maukar, penggranatan di Makassar, pencegatan bersenjata di dekat gedung Stanvac, pencegatan bersenjata di selatan Gunung Salak,

Percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno yang begitu sering dan dalam waktu yang tidak begitu panjang adalah sesuatu yang jarang terjadi terhadap kepala negara di dunia. Ini menunjukkan bahwa Bung Karno, yang jelas-jelas dicintai oleh rakyat karena telah membuktikan dirinya sebagai pejuang kemerdekaan bangsa selama puluhan tahun, mempunyai cukup banyak musuh, baik yang datang dari dalam negeri maupun luarnegeri. Pergolakan daerah atau pembrontakan bersenjata yang terjadi berkali-kali adalah salah satu di antara berbagai sebab mengapa ia selalu menganjurkan persatuan bangsa dan mengatakan bahwa revolusi belum selesai (ingat, antara lain : pembrontakan Andi Azis di Makasar, pembrontakan RMS, pembrontakan DI-TII, pembrontakan PRRI-Permesta dll).

DI BAWAH BENDERA REVOLUSI

Adalah sangat menarik untuk sama-sama kita telaah, sekarang ini (!), mengapa Bung Karno selalu berbicara tentang persatuan, atau persatuan revolusioner, dan juga tentang revolusi, dalam hampir setiap pidatonya. Bagi kita semua (apalagi bagi generasi muda dewasa ini!) adalah baik sekali untuk membaca dan merenungkan kembali pidato-pidato atau karya asli Bung Karno, untuk berusaha mengerti mengapa ia mengambil sikap yang demikian, dalam konteks situasi dalamnegeri dan situasi internasional WAKTU ITU (mohon perhatian bahwa dua kata itu digaris-bawahi). Fikirannya tentang perjuangan bangsa dan gagasannya mengenai pentingnya persatuan ini tercermin dengan jelas dalam buku “Di bawah Bendera Revolusi”. (tentang buku ini ada cetatan tersendiri).

Terutama sekali, buku DBR (Di bawah Bendera Revolusi) jilid kedua, yang berisi kumpulan 20 pidato Bung Karno setiap Hari Ulangtahun 17 Agustus, sejak 1945 sampai 1964 (598 halaman) dengan jelas menggambarkan mengapa ia begitu “gandrung” (mendambakan sekali, mencintai) kepada persatuan revolusioner bangsa, dan mengapa ia selalu mengingatkan bahwa revolusi bangsa belumlah selesai dengan hanya sudah terbentuknya Republik Indonesia. Pandangannya itu didasarkan pada pengalaman bangsa kita sebelum kemerdekaan, tetapi juga sesudah berdirinya Republik Indonesia. Bahkan, bukan itu saja. Bung Karno, dalam konteks internasional waktu itu (!) melihat bahwa apa yang dialami bangsa Indonesia ada persamaannya dengan bangsa atau rakyat berbagai negeri, terutama di Asia dan Afrika. Oleh karena itu, Bung Karno menaruh simpati kepada lahirnya Republik Rakyat Tiongkok, kepada perjuangan rakyat Vietnam melawan Perancis dan AS, kepada perjuangan rakyat Aljazair melawan kolonialisme Prancis dll dll. Singkatnya, simpatinya atau dukungannya kepada rakyat yang sedang berjuang terhadap imperialisme dan kolonialisme adalah salah satu ciri yang menonjol sekali Bung Karno.

Penghargaan bangsa-bangsa lain terhadap Bung Karno memuncak dengan diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika di Bandung dalam tahun 1945. Konferensi Bandung adalah sumbangan yang amat besar kepada banyak rakyat dan negeri-negeri yang sedang berjuang. Dan, dalam hal ini peran Bung Karno adalah amat besar (tentang Konferensi Bandung ini ada catatan tersendiri). Oleh karenanya, sejak itu, nama Soekarno disanjung-sanjung di banyak negeri, terutama di Asia-Afrika. Bung Karno pernah menjadi kebanggaan banyak orang, bukan saja di Indonesia, melainkan juga di luarnegeri. (Berdasarkan pengamatan penulis sendiri, yang pernah menjabat sebagai pengurus Persatuan Wartawan Asia-Afrika, baik di Jakarta maupun kemudian di Peking, tidak salahlah kalau dikatakan bahwa Bung Karno pernah menjadi bintang kejora bagi perjuangan banyak rakyat Asia-Afrika).

TEMPAT BUNG KARNO DI SKALA INTERNASIONAL

Sekarang, mungkin banyak orang yang tidak tahu, bahwa selama di bawah pimpinan Bung Karno nama Indonesia mendapat tempat yang terhormat dalam berbagai konferensi internasional atau badan-badan internasional. Terutama bagi gerakan-gerakan progresif di berbagai negeri yang melawan imperiaslime dan kolonialisme waktu itu, nama Soekarno dan Indonesia merupakan sumber inspirasi perjuangan.

Bung Karno adalah salah satu di antara sejumlah kecil pemimpin-pemimpin Asia-Afrika yang mendorong, membantu, atau bersimpati terhadap lahirnya berbagai gerakan yang berskala Asia-Afrika. Sikapnya itu mencerminkan bahwa ia konsisten terhadap prinsip atau tujuan perjuangannya sejak usia-mudanya. Di samping itu, sikapnya yang demikian itu juga didasarkan pada situasi kongkrit dan kebutuhan kongkrit yang dihadapi oleh Republik Indonesia sendiri. Oleh karena itu, ia membantu diselenggarakannya Konferensi Wartawan Asia-Afrika di Jakarta dalam tahun 1963, yang melahirkan Persatuan Wartawan Asia-Afrika dan berkedudukan di Jakarta pula (mengenai soal ini ada catatan tersendiri). Bung Karno juga membantu terselenggaranya di Indonesia sidang-sidang Konferensi Pengarang Asia-Afrika. (di Bali).

Politik Bung Karno yang menyatukan perjuangan rakyat Indonesia dengan perjuangan rakyat–rakyat berbagai negeri melawan imperialisme dan kolonialisme (sekali lagi: waktu itu) membuat nama Indonesia menjadi terhormat di berbagai badan internasional. Beraneka-ragam gerakan atau organisasi massa Indonesia yang terkemuka menjadi wakil presiden atau anggota sekretariat dalam beraneka-ragam organisasi internasional di berbagai bidang, antara lain Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Colombo, Konferensi Jurist Asia-Afrika di Conakry (Guinea), demikian juga dalam badan-badan internasional lainnya seperti mahasiswa, serikat buruh, wanita, sarjana, dll.

Dalam konteks situasi internasional waktu itu, ketika Perang Dingin antara Blok Timur dan Blok Barat masih berkecamuk dengan hebatnya, Bung Karno bersama-sama pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya, telah menggariskan politik luarnegeri yang bebas-aktif dan non-blok. Bung Karno adalah satu di antara para negawaran besar lainnya (Tito dan Jawaharlal Nehru dll) yang menjadi promotor gerakan non-blok. Dari segi ini pulalah bisa dilihat kebesaran gagasan-gagasan Bung Karno dalam bidang internasional.

Di selenggarakannya Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) di Jakarta dalam bulan Oktober 1965 adalah manifestasi yang gamblang politik bung Karno dalam melawan imperialisme dan kolonialisme sambil mempertahankan prinsip-prinsip gerakan non-blok waktu itu. (Patut dicatat di sini bahwa pidatonya di KIAPMA - di Hotel Indonesia - inilah merupakan pidatonya yang terakhir di depan masyarakat internasional).

REVOLUSI YANG BELUM SELESAI

Peringatan 100 Tahun Bung Karno adalah kesempatan bagi bangsa kita untuk mengenal, atau lebih mengenal lagi, atau mengenang kembali segala soal yang berkaitan dengan Bung Karno. Dalam kesempatan ini perlulah diusahakan supaya karya-karyanya bisa dikenal, dan dikaji oleh sebanyak mungkin orang. Dengan membaca karya-karyanya, kita akan lebih mengerti apakah sebenarnya tujuan perjuangan Bung Karno. Setelah mengerti tujuan politik Bung Karno, dan kemudian membandingkannya dengan situasi negeri dewasa ini, maka kita bisa makin yakinlah bahwa gagasan-gagasan Bung Karno adalah agung sekali !!! Dan juga lebih yakin lagi bahwa sistem politik Orde Baru/Golkar adalah salah, karena bertentangan sama sekali dengan berbagai ajaran dan gagasan Bung Karno.

Membaca kembali karya-karya Bung Karno akan menggugah kita semua bahwa revolusi bangsa menuju masyarakat adil dan makmur - yang selalu didengung-dengungkannya - memanglah betul-betul belum selesai dan bahwa adalah tugas kita bersama untuk meneruskan revolusi ini. Yaitu, meneruskan revolusi dalam situasi nasional yang sudah berobah dan juga situasi internasional yang sudah mengalami berbagai transformasi, sehingga memerlukan syarat-syarat atau cara dan bentuk baru, sesuai dengan kondisi kongkrit sekarang ini.

Tiga puluh tahun yang lalu Bung Karno sudah meninggalkan bangsa dalam keadaan yang menyedihkan, sebagai akibat tindakan para pendiri Orde Baru. Sekarang ini, makin terasa bagi banyak orang, bahwa dengan hilangnya Bung Karno sebagai kepala negara dan pimpinan nasional, maka bangsa kita telah kehilangan pedoman perjuangan menuju masyarakat adil dan makmur, seperti yang dicita-citakan oleh proklamasi 17 Agustus. Banyak orang makin melihat bahwa Bung Karno adalah ORANG BESAR pada zamannya, dan yang juga akan tetap terus besar dalam ingatan bangsa Indonesia, berkat perjuangannya dan juga gagasan-gagasannya.

Hanya karena politik Orde Barulah maka kebesaran Bung Karno ini dikerdilkan selama puluhan, atau bahkan dicoba untuk dihapus dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Tugas bersama kitalah, sekarang, untuk memberikan tempat yang selayaknya, atau semestinya, kepada Bung Karno kita ini.

Paris, 2 April 2001

KONFERENSI BANDUNG : KANCAH
PERJUANGAN BESAR BUNG KARNO

Oleh :A. Umar Said

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (3)

Kalau kita berbicara tentang sejarah perjuangan Bung Karno, kiranya akan merupakan kekurangan yang amat besar, kalau tidak menyinggung Konferensi A-A yang diselenggarakan di Bandung dalam tahun 1955. Sebab, bagaimana pun juga, penyelenggaraan Konferensi Bandung yang bersejarah itu tidak bisa dipisahkan dari nama Soekarno, karena justru di belakang dan di dalam peristiwa yang bersejarah itulah jiwa dan semangat Bung Karno berkiprah. Konferensi Bandung adalah salah satu di antara berbagai kancah perjuangan besarnya, bagi bangsa Indonesia dan juga bangsa-bangsa lainnya. Patutlah disayangkan, bahwa sekarang ini, soal yang demikian besar dalam sejarah bangsa kita itu, tidak banyak diketahui secara baik oleh rakyat kita, terutama oleh generasi muda kita.

Padahal, buku-buku sejarah modern (kontemporer) yang ditulis oleh para sejarawan di seluruh dunia, selalu menghubungkan Konferensi Bandung itu dengan Soekarno. Tidak bisa lain. Sebab, peran Bung Karno adalah amat besar dalam penyelenggaraan peristiwa besar internasional ini. Konferensi Bandung adalah penggerak penting dalam perobahan-perobahan besar di Asia-Afrika, sesudah selesainya Perang Dunia ke-II, dan pendobrak utama sehingga di Afrika terjadi perobahan-perobahan besar.

Tidak salahlah kiranya kalau ada orang yang mengatakan bahwa Konferensi Bandung adalah pengejawantahan salah satu di antara aspirasi perjuangan Bung Karno sejak muda. Konferensi Bandung juga merupakan realisasi gagasan politiknya setelah ia menjadi kepala negara. Hal ini kelihatan, kalau kita membaca kembali koleksi pidatonya “Di Bawah Bendera Revolusi”, yang menunjukkan dengan jelas gagasan-gagasannya tentang internasionalisme dalam melawan imperialsime dan kolonialisme pada zaman itu.

Kalau kita telusuri dengan cermat perjalanan sejarah perjuangan Bung Karno maka akan nampak terpancangnya sejumlah tonggak-tonggak megah yang menonjol. Dan, jelaslah bahwa Konferensi Bandung adalah salah satu di antara tonggak megah sejarah perjuangannya. Oleh karena itu, dari segi ini juga bisa dilihat betapa besarnya kejahatan (atau dosa) para pendiri Orde Baru terhadap Bung Karno. Orde Baru telah secara sistematis dan selama puluhan tahun, menghilangkan peran dan jasa Bung Karno dalam banyak hal penting yang berkaitan dengan perjuangan bangsa, termasuk terselenggaranya Konferensi Bandung.

LATAR-BELAKANG YANG PANAS

Ada baiknya diketahui sekarang ini, walaupun peristiwa ini terjadi 45 tahun yang lalu, bahwa Konferensi Bandung adalah sumbangan besar kepada ummat manusia . Bagi banyak pemimpin bangsa dan tokoh angkatan tua gerakan progresif berbagai negeri Asia-Afrika, Bandung dan Sukarno adalah dua nama yang tetap, sampai sekarang (!), tertanam secara terhormat dalam ingatan mereka.

Di antara berbagai faktor, yang bisa membantu kita untuk mengingat kembali sebagian latar-belakang peristiwa bersejarah itu adalah sebagai berikut. Setelah Perang Dunia ke-II selesai, negeri-negeri kolonialis Barat (terutama Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol, Perancis, Itali – dan Jerman) mengalami kesulitan-kesulitan besar untuk mempertahankan daerah-daerah jajahan mereka, yang sebagian sudah mereka duduki selama puluhan atau bahkan ratusan tahun. Dengan berbagai cara perjuangan, akhirnya sebagian rakyat negeri-negeri itu memperoleh kemerdekaan nasional mereka. Antara lain ; Filipina dalam tahun 1945, India dan Pakistan tahun 1947, Birma dan Srilangka tahun 1948, Indonesia tahun 1945 (tetapi pengukuhan secara internasional baru dalam tahun 1949). Negeri-negeri Indo-Cina terpecah-belah dalam tahun 1954, dan Malaya (waktu itu) mendapatkan otonomi secara luas.

Di Afrika, banyak negeri masih dalam status jajahan atau setengah jajahan. Di negeri-negeri Arab atau Timur Tengah, gerakan pembebasan nasional juga berkembang. Perang Dingin makin bergejolak antara Blok Barat (AS beserta sekutu-sekutunya) dan Blok Timur ( yang didominasi oleh Soviet Uni). Lahirnya RRT dalam tahun 1949 telah mengobah peta geo-politik Asia secara fundamental. Kekuatan Kuomintang yang dikepalai Chiang Kai-sek terpaksa melarikan diri ke Taiwan.

Sejak berakhirnya Perang Dunia ke-II, AS menaruh perhatian yang amat besar kepada benua Asia, dan berusaha “membendung” perkembangan komunisme. Untuk itu, AS terlibat secara besar-besaran dalam Perang Korea (sampai 1953) dan Armada ke-7 dikerahkan untuk melindungi Taiwan dan “menjaga” negeri-negeri lain. Pangkalan militer telah dibangun di berbagai tempat. Pakta militer ANZUS (terdiri dari Australia, Selandia Baru, dan AS) untuk menjaga “keamanan” Pasifik telah didirikan (1 September 1951). Lambang kolonialisme Perancis di Vietnam telah ambruk, dengan jatuhnya benteng Dien Bien Phu (1954). Tanggal 17 Agustus 1954, Presiden Eisenhower menyatakan tegas-tegas bahwa AS melindungi pemerintahan Chiang Kai-sek, dan 3 September 1954 meriam-meriam RRT mulai menembaki pulau Quemoy. AS juga membentuk SEATO (Organisasi Perjanjian Asia Tenggara) dalam pertemuan dengan perwakilan sejumlah negara di Manila (September 1954).

Dari sejumlah peristiwa dan tanggal-tanggal tersebut di atas saja sudah kelihatan sekali betapa panasnya pergolakan-pergolakan politik dan “diplomasi” di bidang internasional (baik secara terbuka maupun tertutup) waktu itu di kawasan Asia. Di tambah lagi dengan adanya pergolakan besar di berbagai negeri Arab melawan politik Inggris dan Perancis (antara lain : masalah Israel, munculnya Gamal Abdul Nasser, mulainya bangkitnya perjuangan di Aljazair terhadap Perancis dll). Tidak salahlah kiranya kalau dikatakan bahwa walaupun peserta Konferensi Bandung terdiri dari dari negara-negara yang menganut politik “campur aduk”, namun, suasana anti-Barat adalah yang berdominasi waktu itu.

NAMA BUNG KARNO MASIH TERUS BERKUMANDANG

Konferensi Asia-Afrika diselenggarakan mulai tanggal 18 sampai 25 April 1955. Sejak beberapa bulan sebelum dibuka, rakyat Indonesia sudah mengikuti (lewat pers dan RRI) persiapan-persiapan yang mendahuluinya. Antara lain, adanya Konferensi Kolombo (April tahun 1954) yang dihadiri oleh Jawaharlal Nehru dari India, U Nu dari Birma, Mohamad Ali dari Pakistan, John Kotelawala dari Srilangka (Ceylon, waktu itu), dan Ali Sastroamidjoyo yang mewakili Bung Karno. Kemudian, hasil konferensi Colombo dilanjutkan dengan Konferensi Panca Negara di Bogor (Desember 1954) untuk menetapkan acara konferensi Asia-Afrika di Bandung (yang akan diadakan 5 bulan kemudian), merumuskan tujuannya dan juga negara-negara yang diundang.

Dalam mempersiapkan dan menyelenggarakan Konferensi Bandung, Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengambil peran yang aktif. Sebagai sahabat terdekat Bung Karno dan juga pejuang lama anti-kolonialisme (ingat : perjuangannya lewat Perhimpunan Indonesia di Nederland, bersama-sama Moh. Hatta, Abdulmadjid Djoyoadiningrat, Nazir Datuk Pamuntjak dll) ia bertindak sebagai penyalur gagasan-gagasan Bung Karno.

Negara-negara peserta Konferensi Bandung (seluruhnya berjumlah 29) adalah, dari Asia : Afganistan, Birma, Jepang, Filipina, India, Indonesia, Irak, Iran, Saudi Arabia, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Kamboja, Laos, Libanon, Muangthai, Nepal, Pakistan, Republik Rakyat Tiongkok, Siria, Srilangka, Turki, Yaman, Yordania. Sedangkan dari Afrika : Ethiopia, Ghana, Liberia, Libia, Mesir, Sudan. Dari komposisi peserta ini nampak bahwa negara-negara Asia merupakan bagian terpenting.

Di benua Afrika, pada waktu itu masih banyak negara yang dalam status jajahan dan semi jajahan, dan karenanya tidak bisa atau belum bisa mengirimkan peserta secara resmi. Justru dari segi ini pulalah Konferensi Bandung memberikan sumbangan besar kepada berbagai rakyat Afrika, karena mereka kemudian mendapat dorongan untuk mempercepat dan mengembangkan perjuangan mereka untuk merebut kemerdekaan nasional. Itulah sebabnya, sampai sekarang, maka nama Bandung dan Soekarno tetap sangat terkenal di Afrika. Konferensi Bandung dimasukkan sebagai bagian penting dalam buku-buku pelajaran sejarah. (Sekarang ini, dalam tahun 2001, para diplomat Indonesia yang bertugas di berbagai negara di Afrika, pastilah bisa menceritakan betapa nama Soekarno dan Bandung masih terus berkumandang).

Bagi para pemimpin perjuangan rakyat berbagai negeri di Afrika (waktu itu) nama Bung Karno (atau nama Bandung, atau nama Indonesia) adalah nama yang amat terhormat. Entah berapa kali saja Gamal Abdul Nasser (Mesir), Anwar Sadat (Mesir), Ahmad Ben Bella (Aljazair), L. Sedar Senghor (Senegal), Modibo Keita (Mali), Sekou Tour̩ (Guinea), Dr. Kwame Nkrumah (Ghana), Patrice Lumumba (Conggo), Mugabe (Zambia), Julius Nyerere (Tanganyika, yang kemudian menjadi Tanzania), Salim Ahmad Salim (Zanzibar, yang kemudian menjadi Sekjen OAU РOrganisasi) Persatuan Afrika), dan Nelson Mandela (Afrika Selatan) menyebut-nyebut nama Soekarno dan Bandung dalam pidato-pidato atau tulisan mereka.

DASA SILA BANDUNG YANG BERSEJARAH

Konferensi Bandung telah menghasilkan sejumlah keputusan bersama yang penting untuk menghadapi situasi internasional pada waktu itu, dan yang kemudian juga terus menjadi dasar hubungan antar-negara. Di antara keputusan-keputusan itu, yang amat menonjol adalah “Dasa Sila Bandung”. Dokumen penting ini, yang rumusan-rumusan di dalamnya kelihatan “lunak” adalah merupakan “kompromi” antara sikap negara-negara yang waktu itu “memihak” kepada Blok Barat (antara lain : Vietnam Selatan, Filipina, Turki, Jepang, Liberia) dan negara-negara yang kritis atau bahkan menentang politik Blok Barat. Tetapi, dari isi pidato-pidato para peserta konferensi (termasuk pidato Bung Karno), maka nyatalah bahwa dibalik dokumen “lunak” yang bernama “Dasa Sila Bandung” itu, sebenarnya, ada sikap anti-imperialisme dan anti-kolonialisme yang kuat sekali.

Teks “Dasa Sila Bandung berbunyi sebagai berikut :

1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat dalam Piagam PBB.

2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.

3. Mengakui persamaan semua ras dan persamaan semua bangsa baik besar maupun kecil.

4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal-soal dalam-negeri negara lain.

5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara endirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.

6. a) Tidak menggunakan peraturan-peraturan pertahanan kolektif untuk kepentingan khusus salah satu negara besar.
b) Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.


7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik suatu negara.

8. Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian secara hukum atau cara damai lainnya menurut pilihan fihak-fihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB.

9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.

10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

Kalau kita ingat kembali situasi internasional waktu itu, yaitu 10 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia ke-II, dan ketika kubu Barat (terutama negara-negara Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Belgia dan Spanyol) sedang berusaha untuk meneruskan politik penjajahan - antara lain dengan cara-cara neo-kolonialisme - maka kita bisa mengerti mengapa pers Barat waktu itu (terutama: the Economist, London) marah sekali dengan terjadinya Konferensi Bandung. Suratkabar ini mencap Konferensi Bandung sebagai anti-Barat, bahkan juga anti kulit-putih dll dll.

Banyak orang melihat bahwa Konferensi Bandung merupakan kesempatan yang sangat menguntungkan Republik Rakyat Tiongkok untuk menampilkan diri, untuk pertama kalinya secara besar-besaran, dalam panggung internasional. Perdana Menteri Chou En-lai, yang dikenal secara internasional sebagai diplomat ulung, telah menjadi bintang selama Konferensi. Salah satu di antara berbagai latar-belakang penting Konferensi AA adalah permusuhan (waktu itu) yang tajam sekali antara RRT dan Amerika Serikat. Sementara itu, Republik Indonesia pun mulai diancam oleh berbagai bahaya (antara lain : sisa-sisa akibat pembubaran RIS, pembrontakan RMS, Andi Azis dan Kahar Muzakkar, kemudian terjadinya peristiwa “Tiga Selatan” dll).

Sekarang ini, makin banyak dokumen sejarah yang mulai diangkat oleh berbagai sejarawan asing, bahwa Bung Karno dan Republik Indonesia sudah menjadi “diincer” oleh kubu Barat, sejak tahun 1950, dan kemudian makin meningkat menjelang dan sesudah terjadinya Konferensi Bandung (tentang soal ini ada catatan tersendiri).

MENYATUKAN PERJUANGAN BANGSA INDONESIA DENGAN YANG LAIN

Konferensi Bandung telah menampilkan orang-orang besar pada zamannya (waktu itu). Mereka itu adalah orang-orang besar bagi bangsa mereka masing-masing. Bahwa mereka menyatukan sikap terhadap musuh bersama waktu itu (yaitu imperialisme dan kolonialisme) dalam Konferensi Bandung adalah satu peristiwa yang bersejarah. Sekali lagi, dari segi inilah kita patut menilai politik Bung Karno. Ia telah mengangkat perjuangan bangsa Indonesia sebagai bagian dari perjuangan rakyat-rakyat Asia-Afrika (bahkan juga rakyat benua-benua lainnya).

Dengan kaca-mata inilah kita bisa mengerti bahwa Konferensi Bandung atau politiknya yang bebas-aktif, dan yang “non-blok”, bukanlah berarti “netral” terhadap imperialisme dan kolonialisme. Dalam buku “Di bawah Bendera Revolusi” kita bisa melihat bahwa hal inilah yang selalu dikatakannya berkali-kali sebagai kepala negara. Bahkan, sejak jauh ke belakang, ketika ia masih muda belia.

Bung Karno melihat bahwa imperialisme dan kolonialisme, yang sudah sejak lama menjajah berbagai rakyat di dunia, haruslah dilawan secara bersama-sama, secara nasional maupun secara internasional pula. Oleh karena itu, baginya, solidaritas internasional perlulah dibangun bersama-sama perjuangan rakyat berbagai negeri. Ini pulalah sebabnya mengapa nama Bung Karno, waktu itu, menjadi menonjol sekali di gelanggang internasional. Juga, itu pulalah sebabnya, mengapa nama Bung Karno masih tetap menjadi kenang-kenangan bagi banyak orang.

Mengingat itu semua, patutlah kiranya bagi kita semua sekarang ini, untuk menyadari akan pentingnya - dan juga akan urgensinya (!!!) untuk menampilkan kembali Bung Karno pada tempatnya yang semestinya, pada ketinggian yang selayaknya. Adalah kewajiban bersama kita semua untuk memberikan kehormatan yang selayaknya kepadanya. Bangsa kita perlu secara baik mengenal kepahlawanannya, keagungan gagasan-gagasannya, dan kebesaran jasa-jasanya. Untuk itu, perlu sekalilah agaknya dengan segera diusahakan berbagai langkah, umpamanya :

Mengkoreksi, melengkapi atau menyempurnakan buku-buku pelajaran sejarah bagi pelajar-pelajar SMP dan SMA, yang selama lebih dari 32 tahun telah dipakai sebagai bahan pendidikan. Sebab, bagi mereka yang mengamati dengan baik, maka akan jelaslah bahwa buku-buku pelajaran sejarah itu pada umumnya tidak menampilkan Bung Karno seperti yang selayaknya, bahkan juga tidak pada tempatnya! Di antara berbagai buku itu, antara lain (sebagai contoh) adalah PSPB 1987 (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) karangan Drs. C.S.T. Kansil SH dan buku PSPB “Patriotisme” karangan Agus Setiawan BA dan Drs Asep Suyono untuk pelajar-elajar SMA. Setelah membalik-balik halaman buku-buku itu, maka akan nyatalah bahwa nama dan peran Bung Karno “dikerdilkan”, atau bahkan “dikucilkan”. Sebaliknya, nama Suharto disanjung-sanjung secara berlebih-lebihan, yang sekarang ternyata bertentangan sama sekali dengan kenyataan yang sebenarnya.

Kiranya, dalam rangka Peringatan 100 Tahun Bung Karno, dan juga dalam rangka perjuangan untuk reformasi, perlulah masalah pengkoreksian buku-buku pelajaran sejarah bagi SD, SMP dan SMA (bahkan juga universitas) dijadikan sebagai salah satu di antara berbagai acara kegiatan. Bung Karno adalah pemimpin besar bangsa Indonesia, seperti halnya Kemal Ataturk bagi bangsa Turki, Nehru bagi bangsa India, atau Gamal Abdul Nasser bagi bangsa Mesir, atau Mao Tse-tung dan Chou En-lai bagi bangsa Tiongkok. Dan, generasi muda kita perlu tahu dengan jelas bahwa bangsa Indonesia pernah bangga mempunyai pemimpin seperti Bung Karno, dan bahwa Bung Karno sama sekali bukanlah seperti yang ditampilkan selama periode Orde Baru. Tegasnya, dan juga jelasnya, bahwa Bung Karno sama sekali bukanlah seorang “pemimpin” sekaliber Suharto.

* * *

Paris, 5 April 2001

MEMPERINGATI HUT KE 100 BUNG KARNO
DI BAWAH BENDERA REVOLUSI

Oleh :A. Umar Said

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (4)

Sekarang ini, sulit ditaksir berapakah kiranya jumlah buku "Dibawah Bendera Revolusi", yang berisi karya-karya Bung Karno, masih beredar di seluruh Indonesia. Mungkin, tidak banyak lagi. Juga sulitlah agaknya menebak-nebak, apakah mudah untuk mendapatkannya secara lengkap, baik dalam toko-buku maupun lewat saluran-saluran lainnya. Sebab, buku ini sudah lama sekali diterbitkan (lebih dari 35 tahun). Di samping itu, selama itu pula, banyak orang merasa takut untuk ketahuan bahwa memilikinya. Sistem politik (dan kebudayaan) Orde Baru telah membikin banyak orang takut atau segan berbicara tentang dirinya, tentang sejarah perjuangannya, dan tentang karya-karyanya. Oleh karenanya, banyak sekali orang (apalagi generasi yang sekarang) yang tidak tahu tentang adanya buku ini. Kalaupun pernah mendengarnya, maka tidak mengetahui isinya.

Begitu hebatnya kampanye "de-sukarnoisasi" yang dilakukan secara permanen dan sistematis terhadap sejarah bangsa kita, dan begitu parahnya trauma yang diakibatkan oleh tindakan para pendiri Orde Baru terhadap Bung Karno, sehingga banyak orang tidak berani menyimpan (atau menjual) buku-buku yang berisi karya-karyanya (pidato, ceramah, tulisan dll). Bahkan, konon, tidak sedikit yang terpaksa menyembunyikannya rapat-rapat, membakarnya atau menghancurkannya secara diam-diam. Oleh karenanya, amatlah sulit sekarang ini, untuk bisa mendapatkan buku "Dibawah Bendera Revolusi" ini, baik dikota-kota besar Indonesia, maupun (atau, apalagi!) dikota-kota kecil. Dalam banyak perpustakaan umum maupun perpustakaan universitas dan lembaga-lembaga penting pun, buku ini juga sudah "menghilang" atau dihilangkan.

Setelah sama-sama melampaui masa Orde Baru, maka nyatalah bahwa dalam rangka penghayatan sejarah perjuangan bangsa, dan pendidikan patriotisme dan nasionalisme, atau juga pemupukan moral bangsa dan semangat pengabdian kepada kepentingan rakyat, maka penyebarluasan buku-buku yang memuat ajaran atau gagasan Bung Karno adalah penting sekali. "Dibawah Bendera Revolusi" adalah salah satu di antaranya. Dari buku inilah kita akan dapat menelusuri kembali perkembangan fikiran atau gagasannya yang berkaitan erat dengan problem-problem nasional dan internasional yang terjadi baik sebelum Republik Indonesia diproklamasikan maupun sesudahnya. Dalam buku inilah kelihatan betapa cemerlangnya pemikiran-pemikirannya di bidang politik, betapa agungnya wawasannya di bidang persatuan bangsa, dan betapa besarnya kecintaannya kepada rakyat, dan terutama kepada rakyat "kecil".

BUKU-BUKU BUNG KARNO PERLU DIPERBANYAK

Zaman memang sudah berobah, waktu pun sudah bergulir panjang dan lama. Banyak problem yang dihadapi bangsa Indonesia kita dewasa ini juga jauh berbeda dengan yang dihadapi sebelum berdirinya Orde Baru. Di samping itu, situasi internasional pun sudah berobah, yang mendorong juga terjadinya perobahan-perobahan di Indonesia, termasuk perobahan dalam cara berfikir banyak orang. Namun, ketika membaca kembali karya-karya atau gagasan-gagasan Bung Karno, antara lain yang tertera dalam buku "Dibawah Bendera Revolusi", maka akan nampaklah bahwa banyak pandangan-pandangannya yang, sekarang ini, masih tetap relevan untuk dijadikan referensi. Dengan kalimat lain, bisalah kiranya dikatakan bahwa banyak pemikiran-pemikiran dasarnya yang masih tetap bisa dijadikan pegangan atau patokan untuk memandang berbagai persoalan yang sedang dihadapi bangsa kita dewasa ini. Mengingat itu semuanya, maka terasa sekalilah sekarang ini, betapa pentingnya untuk menerbitkan kembali karya-karya Bung Karno sebanyak mungkin dan juga menyebar-luaskannya. Dengan usaha bersama untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasan besar Bung Karno, maka kita akan memberikan sumbangan kepada bangsa untuk :

- Menemukan kembali arah tepat yang perlu bersama-sama ditempuh menuju cita-cita masyarakat adil dan makmur, mengingat bahwa Orde Baru telah membawa bangsa kita ke arah yang sesat selama puluhan tahun

- Membangkitan kembali bangsa, sehingga kesadaran akan pentingnya kesatuan dan persatuan bangsa menjadi pulih kembali, dan terhindar dari perpecahan yang berbau SARA

- Memupuk semangat kerakyatan dan semangat mengabdi kepada rakyat, patriotisme dan nasionalisme (yang tidak sempit)

- Menggugah semangat revolusioner seluruh bangsa, untuk bisa terus memperjuangkan tercapainya cita-cita revolusi 17 Agustus di bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Sekarang ini, suasana politik di Indonesia sudah memungkinkan untuk mngumandangkan lagi suara Bung Karno. Setelah kepengapan udara selama lebih dari 32 tahun, bangsa kita butuh menghirup angin segar atau hawa baru. Berbagai karya asli atau gagasan otentik Bung Karno yang bisa disebar-luaskan dalam berbagai bentuk juga akan merupakan vitamin bagi banyak orang untuk melanjutkan revolusi. Karya-karya ini seyogyanya bisa diterbitkan dalam brosur-brosur kecil, sehingga terjangkau oleh banyak orang. Di samping itu, berbagai ceramah atau seminar (atau tukar-fikiran dalam bentuk-bentuk lainnya) perlu bersama-sama digelar sebanyak mungkin di mana-mana.

SUMBER ILHAM YANG TIADA KERING-KERINGNYA

Dalam merenungkan pengalaman selama Orde Baru, maka terasa sekalilah bahwa bagi banyak orang terjadi kekosongan kepemimpinan moral yang berbobot dan kekosongan guru bangsa yang bisa menjadi sumber ilham perjuangan. Dengan tetap menghormati sejumlah tokoh di berbagai bidang yang berhak untuk mendapat penghargaan dan penghormatan, maka patutlah diakui bersama bahwa Bung Karno, bagaimana pun juga, adalah pemimpin bangsa yang terbesar selama ini. Ia besar bukan hanya berkat pandai berpidato atau mengobarkan semangat banyak orang, melainkan (dan, bahkan, terutama sekali!) berkat kebesaran ajaran-ajarannya. Sebagian besar dari ajaran-ajarannya yang penting itu terhimpun dalam buku "Dibawah Bendera Revolusi".

Sampai akhir tahun 1965, "Dibawah Bendera Revolusi" yang sudah beredar luas terdiri dari dua jilid. Jilid pertama terdiri dari 650 halaman, yang memuat dokumen-dokumen penting karya Bung Karno. Antara lain, yang berjudul :

- Nasionalisme, Islam dan Marxisme
- Indonesia Menggugat
- Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi
- Memperingati 50 tahun wafatnya Karl Marx
- Indonesia versus fasisme
- dll. dll.

Sedangkan jilid kedua (598 halaman), memuat 20 pidato kenegaraan Bung Karno setiap tahun (dalam rangka memperingati 17 Agustus) sejak tahun 1945 sampai 1964. Dalam jilid kedua ini dapat kita baca antara lain :

"Tahun tantangan", "Penemuan kembali Revolusi kita",
"Jalannya revolusi kita",
"Revolusi-Sosialisme Indonesia-Pimpinan Nasional",
"Tahun kemenangan",
"Genta suara Republik Indonesia",
"Tahun Vivere Pericoloso".

Dalam kata pendahuluan buku jilid kedua (diterbitkan 20 Agustus 1964), ketua Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, H. Mualliff Nasution (pembantu terdekat Bung Karno), menulis antara lain sebagai berikut :

"Seiring dengan tekad bangsa Indonesia untuk mengganyang terus proyek Neo-Kolonialis "Malaysia", khusus untuk jilid kedua ini dihimpun 20 buah pidato 17 Agustus dari Presiden Soekarno, dengan maksud bukan sekadar untuk memudahkan penelitian dan peninjauan kembali jalannya Revolusi Indonesia serta bahan perbandingan kemajuan antara babak yang satu dengan lainnya, tetapi dengan maksud utama, adalah agar himpunan 20 pidato 17 Agustus ini, tetap memberi api baru - memberi dorongan dan kekuatan baru - bahkan menjadi pusaka keramat untuk menjadi bimbingan yang menyeluruh ke arah tujuan Revolusi Indonesia, yaitu terbentuknya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Panca Sila.

Sesuai dengan penjelasan pada jilid pertama, maka himpunan 20 buah pidato 17 Agustus ini, bukan hanya sekadar untuk penghias lemari-buku dan memperkaya khasanah perpustakaan dengan sebuah buku yang bernilai dokumenter yang menjadi sumber bagi penulisan sejarah Revolusi Indonesia, tetapi adalah agar menjadi pegangan hidup yang senantiasa segar - menjadi sumber ilham yang tiada kering-keringnya - baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, demikian pula agar menjadi bahan penelitian ilmiah bagi ahli politik, ahli sosiologi, ahli hukum dan lain sebagainya.

Karena itu, persembahan himpunan 20 buah pidato 17 Agustus ini kepada rakyat Indonesia, adalah dengan maksud agar kita semua mempunyai pegangan yang sama menggerakkan Revolusi Indonesia menuju kemenangan" (kutipan habis).

PUSAKA UNTUK MENERUSKAN REVOLUSI

Mengingat besarnya kerusakan-kerusakan yang telah ditimbulkan oleh Orde Baru di berbagai bidang selama lebih dari 32 tahun, maka patutlah kiranya pada kesempatan Peringatan 100 Tahun Bung Karno sekarang ini, seluruh kekuatan pro-reformasi dengan berani - dan dengan lantang pula - bersuara kepada siapa saja bahwa Bung Karno adalah milik bersama seluruh bangsa Indonesia. Seluruh kekuatan pro-reformasi perlu dengan tegas menyatakan bahwa pusaka (warisan) berharga yang berupa ajaran-ajarannya adalah jalan untuk mempersatukan kembali bangsa kita, yang sekarang ini sedang di ambang perpecahan yang serius.

Perlulah diusahakan - dengan berbagai jalan dan bentuk - berkembangnya kesadaran di kalangan sebanyak mungkin golongan dalam masyarakat bahwa gagasan-gagasan Bung Karno (sejak muda sampai wafatnya) adalah demi kepentingan rakyat banyak, demi revolusi menuju masyarakat adil dan makmur. Oleh karenanya, dalam menghadapi situasi politik yang ruwet dewasa ini, ajaran-ajaran Bung Karno dapat dijadikan ikatan bersama untuk menyelesaikan reformasi. Pusaka Bung Karno ini dapat digunakan oleh seluruh kekuatan pro-reformasi untuk meneruskan revolusi, meneruskan pembangunan kekuatan bangsa di berbagai bidang.

Dengan makin dikenalnya ajaran-ajaran Bung Karno secara luas, maka akan makin nyatalah bagi banyak orang bahwa situasi yang diwariskan oleh Orde Baru - dan juga sistem politik yang dilakukan oleh rezim militer selama lebih dari 30 tahun - adalah bertentangan sama sekali dengan ajaran-ajarannya. Pengenalan atau penghayatan secara baik ajaran-ajaran Bung Karno akan memungkinkan bagi banyak orang untuk lebih mengerti mengapa ia telah digulingkan oleh para pendiri Orde Baru dan kekuatan-kekuatan asing (waktu itu). Dengan membeberkan sejarah perjuangannya dan menyampaikan dengan gamblang ajaran-ajarannya, maka banyak orang akan makin yakin bahwa Bung Karno adalah pejuang besar nasionalis yang dimusuhi oleh Orde Baru.

Mungkin saja, bahwa dalam rangka Peringatan 100 Tahun Bung Karno ini, akan muncul suara-suara yang serba negatif terhadapnya. Bahwa ada sikap yang bersifat kritis terhadap kesalahan-kesalahan Bung Karno, adalah wajar, atau bahkan baik. Tetapi, kalau ada orang-orang yang bersikap semata-mata memusuhi ajaran-ajaran Bung Karno dan meniadakan sama sekali jasa-jasanya terhadap perjuangan bangsa, adalah sesuatu yang patut disayangkan! Sebab, ketika kesalahan para pendiri Orde Baru terhadap Bung Karno sekarang ini sudah makin terbelejedi, maka patutlah disayangkan bahwa mereka itu masih mau meneruskan kesalahan-kesalahan itu. (Tentang soal ini ada catatan tersendiri).

MENGANGKAT BUNG KARNO DEMI REKONSILIASI NASIONAL

Agaknya, yang berikut ini bisa kita jadikan renungan bersama. Yaitu : mengangkat kembali Bung Karno bukanlah hanya masalah sejarah. Memang, sejarah tentang Bung Karno telah diusahakan untuk dibikin gelap oleh para pendiri Orde Baru beserta para pendukungnya, yang terdiri dari segala macam orang dan dari berbagai golongan ( bersyukurlah kita, hendaknya, bahwa sekarang ini banyak juga di antara mereka yang sudah mengobah pandangan salah mereka terhadapnya). Tetapi, usaha bersama untuk mengangkat kembali Bung Karno pada tempat yang selayaknya juga merupakan kebutuhan AKTUAL dan URGEN bagi bangsa kita dewasa ini, khususnya dalam merajut kembali kerukunan bangsa dalam rangka rekonsiliasi nasional.

Sebab, perlulah sama-sama kita sadari - dan juga tidak usah kita tutup-tutupi, - bahwa masalah Bung Karno pernah dijadikan sumber pertentangan oleh para pendiri Orde Baru beserta para pendukung setia mereka (yang, sekali lagi, sudah mulai banyak yang berobah). Bung Karno, yang seluruh hidupnya disumbangkan untuk mempersatukan bangsa demi perjuangan melawan kolonialisme Belanda dan imperialisme - dan membangun Republik Indonesia - telah dijadikan faktor perpecahan bangsa, dan, juga, dalam jangka yang lama sekali. Kesalahan mereka inilah yang sekarang ini harus dibetulkan bersama-sama. Demi persatuan kembali bangsa, demi kerukunan antar-golongan, antar-suku, antar-agama, antar-pandangan politik, maka Bung Karno perlu dijadikan lagi sebagai simbul persatuan.

Dalam kaitan betapa pentingnya Bung Karno sebagai simbul persatuan bangsa adalah menarik untuk dikemukakan dalam tulisan kali ini sikap yang diambil oleh wartawan senior Haji Mahbub Djunaidi, yang pernah menjabat sebagai anggota DPR-GR/MPRS, pemimpin redaksi suratkabar NU "Duta Masyarakat" (1960-1970), Ketua Umum PWI Pusat (1965-1970) dan Ketua DPP NU (1986). Ketika masa mudanya ia juga menjabat sebagai Ketua Umum yang pertama kali PMII (organisasi mahasiswa di bawah NU) dalam tahun 1960-1967.

Dalam buku "Mahbub Djunaidi, Asal Usul" ( diterbitkan oleh Kompas, 1996) wartawan senior M. Said Budairy (bekas sekjen PWI Pusat dan pimpinan Duta Masyarakat) menulis berbagai aspek tentang perjalanan hidup kawan dekatnya itu, dan juga tentang pandangan atau sikap Mahbub mengenai Bung Karno, Pancasila, Pramoedya Ananta Toer dll. Dalam tulisannya itu, bung Said Budairy antara lain menulis :

"Dalam suatu tulisan di harian Duta Masyarakat Mahbub mengemukakan pendapatnya bahwa Pancasila mempunyai kedudukan yang lebih sublim dibanding Declaration of Independence susunan Thomas Jefferson yang menjadi pernyataan kemerdekaan Amerika Serikat tanggal 4 Juli 1776, maupun dengan Manifesto Komunis yang disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels tahun 1874. Tulisan itu dibaca oleh Bung Karno, yang kemudian minta kepada KH Saifudin Zuhri agar Mahbub diajak ke istana" (kutipan habis).

Dalam buku "Sketsa Kehidupan dan surat-surat pribadi sang pendekar pena MAHBUB DJUNAIDI" (1996, penyunting Ridwan Saidi dan Husein Badjerei), ada tulisan Ketua Umum Yayasan Pendidikan Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, yang berupa sambutan terhadap terbitnya buku tersebut. Di situ dapat kita baca, antara lain, sebagai berikut :

Bapak H. Mahbub Djunaidi memang salah seorang pendekar Indonesia. Beliau dikenal sebagai pendekar pena, karena ketajaman analisanya atas peristiwa, sementara arah tulisannya tetap bertolak dari keyakinan cita-cita sebagai landasan ideologi. Beliau juga dikenal sebagai pendekar politik dari partai agama melalui lingkungan Nahdlatul Ulama, yang taat kepada azas hablum minannas, yakni hubungan yang setara antara manusia dengan manusia.

Namun di sisi lain, saya juga mengenal Bapak Haji Mahbub Djunaidi oleh sikap ksatrianya yang hampir tidak mungkin ditemui pada siapa pun dalam dekade setelah tujuhpuluhan. Suatu sikap tulus yang mengakui kebenaran ajaran Bung Karno, dengan menamakan sebuah beranda depan rumahnya di Bandung sebagai "Soekarno House". Dan di beranda itulah beliau kerap kali bertukar pikiran dengan para tamu, termasuk sesama pengurus Yayasan Pendidikan Soekarno (Y.P.S.) mengenai Bung Karno dan ajarannya.

Memang Bapak Haji Mahbub Djunaidi adalah Ketua Majelis Pendidikan Yayasan Pendidikan Soekarno, sampai pada akhir hayatnya. Oleh karena itu, saya juga menilai beliau sebagai salah seorang pendekar pelaksana ajaran Bung Karno" (kutipan singkat habis disini).

Beberapa kutipan tentang sikap rekan Mahbub Djunaidi ini (penjelasan : penulis pernah sama-sama menjadi Pengurus PWI Pusat selama periode 1963 sampai September 1965) patutlah kiranya menjadi renungan bagi banyak orang dewasa ini. Mengapa ia, sebagai seorang tokoh Islam dan wartawan terkemuka (yang juga pernah mengemban tugas penting dalam berbagai organisasi yang berafiliasi dengan NU) telah menjadi Ketua Dewan Pendidikan Yayasan Pendidikan Soekarno ? Mengapa ia menjadikan bagian depan rumahnya di Bandung sebagai "Soekarno House"? Dan, juga, mengapa ia yakin bahwa ajaran-ajaran Bung Karno perlu dipelajari oleh banyak orang?

* * *

Paris, 7 April 2001

JIWA PERJUANGAN BUNG KARNO
PERLU JADI SUMBER INSPIRASI

Oleh :A. Umar Said

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (8)

P.S. Penulis adalah salah seorang yang ikut mengumpulkan tanda-tangan di Budapest tahun 1962, dan menjadi anggota Panitia Pusat KWAA di Jakarta.

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sosok atau ketokohan Bung Karno sebagai pemimpin nasionalis revolusioner memang unik sekali. Karena itulah, dalam rangka memperingati HUT-nya yang ke-100, masalah ini penting juga untuk bersama-sama diangkat kembali atau ditelaah lagi, sebagai usaha untuk menempatkan peran sejarahnya pada ketinggian yang semestinya. Juga untuk mencoba mengerti mengapa ia sejak dari muda ia sudah menerjunkan dirinya dalam perjuangan yang penuh keberanian dan keteguhan hati untuk membela kepentingan rakyat melawan kolonialisme Belanda, dan mengapa pula ketika sudah menjadi kepala negara pun masih tetap mengemban pandangan revolusioner, baik secara nasional maupun secara internasional.

Dengan menelaah kembali ketokohan Bung Karno dari segi ini, maka akan nampak bahwa Bung Karno adalah seorang pemimpin nasionalis revolusioner yang luar biasa!!! Dengan mempelajari kembali sejarahnya, dengan membaca kembali tulisan-tulisan atau mendengarkan kembali pidato-pidatonya, dan dengan meneliti berbagai politiknya ketika sudah menjadi kepala negara, kita bisa mengerti bahwa Bung Karno adalah memang seorang pemimpin bangsa yang seluruh hidupnya telah diabdikan kepada kepentingan rakyat dan bangsa sebagai keseluruhan. Dalam hal ini, patutlah kiranya bahwa Bung Karno dijadikan sebagai sumber inspirasi bagi banyak orang, yang ingin mengabdikan diri mereka kepada kepentingan rakyat banyak, atau ingin mengabdikan diri mereka kepada persatuan bangsa dan kerukunan antara berbagai golongan dalam masyarakat.

Karena sejarah Bung Karno sudah begitu lama diusahakan dipendam selama Orde Baru/Golkar, dan karena begitu banyak serangan terhadap ajaran-ajarannya atau perlawanan terhadap pandangan-pandangan politiknya di bidang nasional maupun internasional, maka sudah sepantasnyalah kalau sekarang kita kenang kembali siapakah sebenarnya Bung Karno itu, dan apa pulakah artinya bagi perjuangan bangsa Indonesia.

(Sekedar untuk kita ingat-ingat bersama : alangkah pentingnya, untuk tujuan ini, bisa dikumpulkan kembali segala pidatonya yang tertulis dan yang terekam dalam piringan hitam maupun kaset - untuk dipakai sebagai kenangan dan bahan penelitian)

PERJUANGAN REVOLUSIONER SEJAK MUDA

Dengan membaca kembali sejarah Bung Karno ketika ia masih muda, jelaslah bahwa sejak dini sekali ia sudah terpanggil jiwanya oleh perjuangan bangsa. Banyak tulisan yang sudah mengungkap betapa besarnya pengaruh perjuangan Haji O.S. Tjokroaminoto (pimpinan Sarekat Islam) ketika ia mondok (in de kost) di rumahnya di Surabaya ketika Bung Karno menginjak usia dewasa. Sejak umur 15 tahun dan belajar di sekolah menengah Belanda (HBS) ia sudah bergaul dengan berbagai tokoh pergerakan nasional melawan kolonialisme Belanda. Tekad Bung Karno untuk berjuang bagi bangsa memang sudah terlihat dengan nyata sekali sejak muda. Tetapi, hal yang jarang disebut atau bahkan tidak diketahui oleh banyak orang adalah pengakuan Bung Karno sendiri dalam pidatonya di depan kongres PKI ke-6 di Jakarta (tahun 1959).

Dalam pidatonya itu, ia mengatakan bahwa dalam tahun 1922 atau 1923 -- artinya, ketika ia berusia 21-22 tahun telah menyelundup sebagai peninjau (penonton, katanya) untuk menghadiri kongres PKI yang diadakan di satu sekolah partikelir di Jalan Pungkur Bandung. Dikatakannya, bahwa dalam ruangan kongres yang sederhana itu, dalam deretan 15 kursi pimpinan PKI (hoofdbestuur, dalam bahasa Belandanya) ada 9 kursi yang kosong karena mereka yang harus duduk di atas kursi itu sedang meringkuk dalam penjara. (Catatan : Tentang pidato Bung Karno di depan Kongres ke-6 PKI ini, yang dikenal juga sebagai pidato "Yo sanak yo kadang, malah yen mati aku sing kelangan" - Sebagai saudara, sebagai keluarga, kalau mati saya yang kehilangan ada tulisan tersendiri).

Pengakuan Bung Karno sendiri, bahwa sebagai mahasiswa yang belajar di Sekolah Tinggi Belanda untuk menjadi insinyur, telah menyelundup untuk menghadiri Kongres PKI adalah suatu petunjuk penting untuk bisa mengerti tentang komitmennya sebagai pejuang nasionalis revolusioner. Sikapnya sebagai seorang nasionalis, yang sekaligus seorang Muslim dan juga seorang yang berpandangan Marxist diuraikannya secara jelas dalam pidatonya di depan Kongres ke-6 PKI itu (baca : Bintang Merah nomor istimewa Kongres Nasional ke-6 PKI, 1959).

Pidatonya di depan kongres PKI tahun 1959 itu mencerminkan bahwa gagasan dasarnya tentang persatuan revolusioner antara berbagai golongan bangsa bukanlah hanya ketika ia sudah menjadi kepala negara, melainkan sudah sejak ketika ia masih muda. Tulisan-tulisan Bung Karno dalam jilid pertama Dibawah Bendera Revolusi (antara lain : Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme yang ditulisnya untuk majalah Suluh Indonesia dalam tahun 1926) adalah bukti-bukti nyata tentang dasar-dasar gagasannya yang besar itu. Bagi mereka yang ingin mengerti siapa Bung Karno dan apa cita-citanya, membaca karya-karyanya dan mendengar isi berbagai pidato-pidatonya adalah penting sekali.

BUNG KARNO SEBAGAI PERPADUAN TRI-CITRA

Tentang sejarah perjuangan Bung Karno ketika ia masih muda, adalah menarik sekali untuk kita telaah kembali kata pengantar oleh Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi jilid pertama (1963), yang juga mengandung pesan bagi kita semua dalam situasi yang sedang dihadapi oleh bangsa dan negara dewasa ini, sesudah jatuhnya Orde Baru. Kata pengantar tersebut berbunyi antara lain sebagai berikut :

Kalau pembaca tergolong orang dari generasi baru, artinya tidak pernah merasakan atau melihat sendiri pasang-surutnya pergerakan kemerdekaan di jaman penjajahan Belanda (karena masih sangat muda atau belum lahir), akan mendapat pengertian yang lebih jelas tentang hakiki perjoangan kemerdekaan di masa yang lalu, yaitu yang tidak akan didapati dalam buku-buku sejarah. Antara lain akan mengerti, bahwa sejak tahun 1926 Bung Karno sudah mencita-citakan persatuan antara golongan Nasional, Islam dan Marxis, sehingga persatuan Nasakom sekarang ini pada hakekatnya bukan barang baru dalam rangka perjoangan rakyat Indonesia yang dipelopori Ir. Sukarno.

Apa yang tersurat dan tersirat dalam tulisan-tulisan itu, memperjelas pengertian si-pembaca, bahwa revolusi Agustus 1945 yang berhasil gemilang itu, bukanlah suatu maha-kejadian yang berdiri sendiri atau yang terjadi dengan sendirinya, tetapi cetusan di dalam sejarah yang sangat erat hubungannya dengan persiapan-persiapan yang sudah berpuluh-puluh tahun dilakukan oleh pergerakan-pergerakan kemerdekaan di Indonesia dengan pengorbanan yang tidak sedikit.

Bagi pembaca yang mengalami atau melihat sendiri pasang-surutnya perjoangan kemerdekaan di jaman penjajahan Belanda dan turut merasakan atau melihat sendiri peranan Bung Karno sebagai pemimpin terbesar, buku ini merupakan penyegaran kembali pengertian dan kesedaran tentang apa sesungguhnya jiwa dan tujuan pergerakan kemerdekaan di masa lampau itu. Dengan membaca lagi tulisan-tulisan Ir. Sukarno, orang dapat menelaah diri sendiri, misalnya dengan pertanyaan : Apakah sikap dan tindakan saya sekarang ini masih sesuai dengan jiwa dan maksud pergerakan saya di masa yang lalu, yakni tujuan-tujuan yang seharusnya tidak berhenti dengan tercapainya kemerdekaan Indonesia saja, tetapi harus berjalan terus menuju terkabulnya cita-cita pembentukan masyarakat adil dan sempurna (istilah Ir Sukarno di masa yang lalu) yang maksudnya tidak lain yalah masyarakat adil dan makmur. Apakah saya sudah berganti haluan dan berganti bulu, bercita-cita menjadi semacam Exponen dari kapitalisme nasional yang disinyalir dan dikutuk oleh tulisan-tulisan Bung Karno itu.

Di samping ada dua segi manfaat tersebut di atas, buku tebal inipun memberi gambaran tentang tulisan pribadi Ir. Sukarno. Dalam tulisan-tulisan itu tergambarlah Bung Karno sebagai "pendekar persatuan", sebagai "strateeg", sebagai "pendidik", sebagai "senopati" pemegang komando pergerakan kemerdekaan bangsa, sebagai seorang "Islam modern" yang gigih menganjurkan supaya pengertian Islam disesuaikan dengan kemajuan zaman yang pesat jalannya, sebagai "realis", sebagai "humanis" dan sebagai suatu pribadi tempat perpaduan tri-citra, yakni Nasionalis, Islamis dan Marxis (kutipan selesai).

MASA MUDA BUNG KARNO YANG PENUH GEJOLAK

Kalau kita teliti kembali sejarah perjuangan Bung Karno, maka nampak sekali dari tulisan-tulisannya selama masa kolonialisme Belanda, bahwa sebagai seorang pemuda ia sudah berusaha dengan segala cara untuk MEMBANGKITKAN kesadaran dan MENGHIMPUN semua kekuatan bangsa dalam melawan kolonialisme Belanda. Ketika ia masih belajar di Sekolah Tinggi Teknik Bandung, ia sudah melakukan kegiatan-kegiatan politik secara aktif. Dan sesudah tammat sebagai insinyur (tahun 1926) ia memilih jalan kehidupan yang mencerminkan tekadnya untuk mencurahkan tenaga dan fikirannya bagi perjuangan bangsa. Dalam usia 26 tahun ia sudah mendirikan PNI (4 Juli 1927) bersama-sama dengan Mr. Sartono, Mr Wilopo dan Mr Sunaryo, dengan tujuan utama : menentang kolonialisme dan imperialisme dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu cara yang ditempuh adalah garis politik tidak kerjasama (non-kooperasi) dengan pemerintahan Belanda.

Salah satu di antara hasil besar kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Bung Karno lewat PNI adalah terbentuknya PPPKI (Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) dalam bulan Desember 1927. Dalam PPPKI tergabung berbagai partai dan perkumpulan yang penting waktu itu. Dengan terbentuknya PPPKI, maka dapat dicegah adanya ketidaksatuan dalam perjuangan dalam melawan kolonialisme Belanda. Peran Bung Karno dalam PNI dan PPPKI adalah penting bagi berlangsungnya satu peristiwa yang amat bersejarah bagi bangsa Indonesia selanjutnya, yaitu diselenggarakannya kongres pemuda di Jakarta dalam tahun 1928. Dalam kongres inilah lahir Sumpah Pemuda : satu nusa, satu bangsa, satu bahasa : Indonesia!

Pemerintahan kolonial Belanda melihat PNI sebagai bahaya yang serius, dan karenanya dalam bulan Desember 1929, para pemimpinnya (Ir. Sukarno, Maskun, Gatot Mangkupradja dan Supriadinata) ditangkap dan diajukan ke depan pengadilan kolonial di Bandung. Dalam peristiwa pengadilan inilah Bung Karno telah makin menunjukkan kecermelangan gagagan-gagasan besarnya, lewat pidato pembelaannya yang bersejarah yang berjudul Indonesia Menggugat itu. Pada tanggal 17 April 193I pengadilan menjatuhkan vonnisnya dan karenanya Bung Karno dimasukkan dalam penjara Sukamiskin (Bandung). Kemudian, PNI terpaksa dibubarkan, demi keselamatan para anggotanya.

Setelah dibebaskan dari penjara dalam tahun 1932, Bung Karno menggabungkan diri dalam Partindo (Partai Indonesia) yang didirikan oleh teman-temannya untuk meneruskan perjuangan PNI dengan nama baru. Tetapi, karena kegiatan-kegiatan Bung Karno di Partindo dianggap terus berbahaya oleh pemerintahan kolonial Belanda, maka ia ditangkap lagi dan kemudian dibuang ke Endeh (Flores) dan diteruskan ke Bengkulu. Bung karno mengalami pemenjaraan selama dua tahun di Sukamiskin dan delapan tahun di pembuangan. Ia baru bebas dalam tahun 1942, setelah tentara Jepang menduduki Indonesia.

Kegiatan politik Bung Karno di masa mudanya (antara usia 20-an sampai 32 tahun) merupakan dasar yang membentuk kesosokannya dalam kehidupannya di kemudian hari. Tetapi, berbagai faktor situasi waktu itu juga punya pengaruh besar terhadap perjuangan Bung Karno. Di antara faktor-faktor itu adalah terjadinya pembrontakan PKI dalam tahun 1926 melawan pemerintahan kolonial Belanda (terutama di Banten dan di Sumatra Barat). Patut diingat bahwa karena pembrontakan melawan Belanda ini, sebanyak 1 300 orang telah ditangkap dan kemudian dibuang ke Boven Digul.

UNTUK MENGHANCURKAN BUNG KARNO PERLU DIHANCURKAN PKI

Dengan latar-belakang yang demikian itulah barangkali kita bisa mencoba mengerti kepribadian Bung Karno, sebagai pejuang kemerdekaan bangsa, dan juga, kemudian, sebagai kepala negara. Sejak muda ia sudah melahirkan gagasan-gagasan besar bagi bangsa. Gagasannya yang amat cemerlang adalah yang dituangkannya dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945, yang terkenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Bahwa pada usia 44 tahun ia telah dapat merumuskan berbagai fikiran yang begitu luas dan mendalam adalah sesuatu yang menunjukkan bahwa Bung Karno memang patut diakui sebagai pemimpin bangsa atau negarawan atau pemikir yang ulung.

Selama perjuangan revolusi fisik (antara 1945-sampai 1949), Bung Karno juga telah memainkan peran penting dalam memimpin revolusi besar melawan kolonialisme Belanda (dan juga Inggris, pada tahun-tahun permulaan kemerdekaan). Demikian juga setelah terbentuknya Republik Indonesia Serikat dan dibubarkannya (kemudian) negara federal ini, Bung Karno telah berhasil memimpin perjuangan bangsa, sampai terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tetapi, sejak tahun 1950 tidak henti-hentinya perjalanan sejarah bangsa kita mengalami berbagai persoalan yang rumit. Baik yang merupakan persoalan-persoalan dalamnegeri, sebagai bagian dari banyak persoalan negeri yang baru dibangun, maupun yang merupakan akibat dari persoalan yang berkaitan dengan faktor-faktor internasional waktu itu. Untuk sekedar mengambil sebagai contoh betapa banyaknya persoalan dalam negeri yang harus dihadapi oleh negara dan bangsa waktu itu : pembrontakan RMS, pembrontakan Andi Aziz, pembrontakan Kahar Muzakkar, pembrontakan DI-TII, akibat pemilu 1955, akibat diputuskannya perjanjian dengan Belanda, akibat pembrontakan PRRI-Permesta, perjoangan merebut kembali Irian Barat.

Di bidang internasional, faktor-faktor yang berikut juga mempunyai pengaruh langsung atau tidak langsung dengan perkembangan dalamnegeri Indonesia sejak tahun 1950 sampai 1965 : lahirnya RRT, persekutuan antara Taiwan (Kuomintang) dengan AS, pecahnya Perang Korea, berkobarnya perang di Indo-Cina, lahirnya ANZUS dan SEATO, penyelenggaraan konferensi Bandung dalam tahun 1955, hubungan Indonesia yang baik antara Uni Soviet dan juga RRT, peran Indonesia dalam Gerakan Non Blok, kerjasama tertutup antara TNI AD dengan AS, bantuan CIA kepada pembrontakan PRRI-Permesta, didirikannya Malaysia. Banyak faktor-faktor luarnegeri ini (terutama faktor Perang Dingin waktu itu) mempunyai hubungan atau pengaruh langsung terhadap persoalan-persoalan yang timbul di dalamnegeri.

Jelaslah dari jalannya perkembangan situasi waktu itu, bagi Bung Karno menjadi sasaran bagi kekuatan-kekuatan tertentu dalamnegeri, dan juga bagi kekuatan-kekuatan asing yang sudah sejak lama melihat pada sosok Sukarno sebagai kekuatan yang harus dihancurkan atau dilumpuhkan. Percobaan pembunuhan 7 kali terhadapnya, dikepungnya Republik Indonesia, pemboikotan ekonomi oleh pasaran Barat dll, adalah usaha-usaha untuk menghancurkannya.

Dengan mempertimbangkan situasi dalamnegeri yang demikian itu, dan juga gangguan (subversi) kekuatan-kekuatan asing waktu itu, Bung Karno telah mendorong atau menyetujui lahirnya idee untuk kembali ke UUD 45, diberlakukannya SOB, sistem demokrasi terpimpin, pembentukan kabinet Gotong Royong, gagasan Nasakom, lahirnya Manipol dan USDEK, dll. Kalau kita baca kembali pidato-pidato Bung Karno sejak tahun 1958 sampai 1965, persoalan-persoalan ini dibeberkannya dengan jelas. Inti segala pidato Bung Karno waktu itu yalah penggalangan persatuan revolusioner seluruh bangsa untuk menghadapi kontra-revolusi, baik yang datang dari dalamnegeri maupun dari luarnegeri. Sekarang, berbagai hasil penelitian banyak ahli luarnegeri dengan jelas membongkar adanya usaha-usaha kekuatan asing (antara lain CIA) untuk menghancurkan kekuatan politik Sukarno (tentang soal ini ada catatan tersendiri).

Kalau kita teliti kembali perkembangan situasi dalamnegeri, maka nampaklah bahwa sejak Pemilu tahun 1955, di antara kekuatan-kekuatan politik yang mendukung Bung Karno terdapat PKI. Karena dukungan PKI kepada berbagai politik Bung Karno inilah maka baik PKI maupun Bung Karno menjadi sasaran tembak, baik oleh kekuatan-kekuatan tertentu dalamnegeri maupun luarnegeri. Kekuatan dalamnegeri dan luarnegeri yang anti-Sukarno ini tahu betul bahwa untuk menghancurkan Bung Karno perlulah dihancurkan PKI terlebih dulu. Mereka juga tahu bahwa dengan dihancurkannya PKI maka seluruh kekuatan pendukung Bung Karno akan ikut terseret digulung. Mereka juga tahu bahwa dengan menghancurkan Bung Karno, maka seluruh kekuatan progresif di Indonesia akan bisa dilumpuhkan dalam jangka lama. Dan inilah yang telah terjadi selama Orde Baru.

SEJARAH AKAN MEREHABILITASI BUNG KARNO!

Mengingat itu semua, maka patutlah kiranya bahwa dalam rangka Peringatan HUT ke-100 Bung Karno kita renungkan kembali bersama-sama banyak hal yang berkaitan dengan sejarah perjuangan Bung Karno, yang antara lain adalah sebagai berikut (sekedar sebagai bahan renungan) :

- Berdasarkan pengalaman sistem politik dan praktek-praktek Orde Baru/GOLKAR selama lebih dari 32 tahun, maka jelaslah bahwa dihancurkannya Bung Karno secara fisik dan secara politik, merupakan kerugian monumental bagi nation and character building. Seperti yang kita saksikan dewasa ini, Orde Baru telah membikin kerusakan-kerusakan besar di bidang moral bagi dua generasi bangsa, sehingga negeri kita menghadapi krisis parah di seluruh bidang.

- Gagasan-gagasan besar Bung Karno, yang di-embannya sejak usia-mudanya, tentang :

semangat persatuan bangsa, kerukunan antar-berbagai suku dan ras, semangat pengabdian kepada rakyat untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur, nasionalisme yang tidak sempit, internasionalisme dalam melawan imperialisme, semangat berdikari dan gotong royong dll adalah gagasan-gagasan besar yang sampai sekarang masih punya arti penting dan berguna dijadikan referensi bersama, dan dipakai sebagai sumber inspirasi bangsa.
Bung Karno adalah pemimpin dan pendidik bangsa. Seluruh hidupnya mencerminkan bahwa ia adalah pejuang revolusioner, baik dalam skala nasional maupun skala internasional. Ia adalah negarawan yang humanis. Ia adalah seorang nasionalis, seorang Islamis (Muslim) yang juga sekaligus Marxist.

Melalui pengalaman dan waktu, sejarah akan terus membuktikan, bahwa Bung Karno memang seorang putera Indonesia yang patut dihormati. Dan juga dijadikan sumber inspirasi dalam perjuangan untuk mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa.

Paris, 24 April 2001

* * *

MEMBANGKITKAN KEMBALI BANGSA
DENGAN JIWA BESAR BUNG KARNO

Oleh :A. Umar Said

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (10)
Sekedar sumbangan dalam menyongsong Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei (2001)

Ada satu hal yang sudah selama puluhan tahun tidak menjadi pemikiran banyak orang, yaitu gejala bahwa Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei sudah tidak lagi diperingati secara khidmat atau selayaknya sebagai peristiwa yang penting dalam sejarah bangsa. Bagi mereka yang masih ingat kepada masa di bawah kepemimpinan Bung Karno, maka terasa sekalilah betapa besar bedanya antara peringatan Hari Kebangkitan Nasional sebelum 1965 dengan yang diselenggarakan selama Orde Baru. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan sampai 1965 selalu sarat dengan dikobarkannya semangat untuk menghormati jasa-jasa para perintis kemerdekaan, semangat untuk mempersatukan bangsa, semangat untuk bersama-sama meneruskan revolusi menuju masyarakat adil dan makmur. “Api” kebangkitan bangsa ini terasa menyala-nyala dalam kesempatan semacam itu.

Sayang sekali, bahwa justru “api” inilah yang selama Orde Baru menjadi terasa pudar, redup atau “loyo”. Maka, adalah menarik (dan penting) bagi kita semua untuk merenungkan mengapa timbul gejala-gejala semacam itu. Memang, selama Orde Baru ada juga berbagai peristiwa bersejarah (antara lain : Hari Pahlawan 10 November, peringatan 17 Agustus, hari Sumpah Pemuda, hari lahirnya Pancasila, Hari Kartini dll) yang diperingati. Namun, apakah peringatan-peringatan itu bisa menyentuh jiwa banyak orang sebagai pendidikan moral dan politik? Dan, apakah peringatan-peringatan itu diselenggarakan oleh orang-orang yang betul-betul menghayati pentingnya peristiwa-peristiwa bersejarah itu ? Atau, apakah peristiwa itu diadakan sekadar sebagai upacara ritual yang “mengambang”, yang tidak berbobot, yang dangkal, dan yang sama sekali tidak berisi pesan-pesan yang berarti?

Semua soal tersebut di atas patut kita telaah. Barangkali, para pakar ilmu sejarah, pakar ilmu politik, dan pakar lainnya, dapat memberikan sumbangan untuk meneliti mengapa selama 32 tahun Orde Baru masalah-masalah sejarah perjuangan bangsa, masalah revolusi 45, masalah pendidikan moral dan pendidikan politik terasa sebagai terabaikan atau terbelakang sekali.

BUNG KARNO ADALAH DILEMMA BAGI ORDE BARU

Kalau kita telusuri dengan cermat, maka akan nyatalah bahwa masa Orde Baru yang puluhan tahun adalah periode panjang yang “mandul” dalam hal pendidikan moral bangsa, “gersang” dalam hal pendidikan politik bangsa, atau “steril” dalam hal pendidikan tentang pengabdian kepada kepentingan rakyat. Dengan dalih mengutamakan pembangunan, maka pendidikan politik telah digencet selama puluhan tahun. Kasarnya, Orde Baru adalah suatu sitem politik yang takut kepada kesadaran politik rakyat. Yang pernah dilakukan oleh Orde Baru adalah indoktrinasi politik secara otoriter dan juga salah arah, yang justru mematikan kehidupan politik yang demokratis atau kerakyatan.

Dari sudut inilah kita bisa mengerti mengapa selama puluhan tahun Orde Baru telah berusaha menghilangkan peran Bung Karno dari sejarah bangsa. Dan di sini pulalah letak dilemma yang dihadapi oleh Orde Baru. Sebab, seandainya tokoh-tokoh Orde Baru mau berbicara tentang sejarah (yang benar) tentang perjuangan bangsa, maka terpaksalah mereka juga berbicara tentang peran dan ketokohan Bung Karno. Sedangkan, bagi Orde Baru, berbicara tentang ketokohan Bung Karno (yang sebenarnya!) adalah merugikan. Sebab, Bung Karno adalah musuh Orde Baru. Sejarah (yang sebenarnya) tentang latar belakang penggulingan kekuasaan Bung Karno oleh para pendiri Orde Baru/GOLKAR adalah sesuatu yang tidak bisa dibangga-banggakan oleh mereka, bahkan telah ditutup-tutupi, atau diputar-balikkan (tentang soal ini ada catatan tersendiri).

Oleh karena itu, seperti yang kita saksikan selama puluhan tahun, Orde Baru telah menempuh berbagai cara untuk “memperkecil” peran dan ketokohan Bung Karno dalam sejarah perjuangan bangsa, atau “merusak”-nya sama sekali. Antara lain dengan menyebarkan isyu tentang keterlibatannya dalam G30S, atau mengecam kedekatannya dengan PKI. Orde Baru juga menciptakan suasana sehingga para pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat tidak berbicara atau menyinggung nama Bung Karno dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat publik. Karena itu, selama puluhan tahun, banyak orang yang takut atau segan, atau tidak mau menyinggung nama Bung Karno, ketika mereka berbicara tentang sejarah perjuangan melawan kolonialisme Belanda atau ketika bicara tentang revolusi 45.

Sekadar sebagai contoh : adalah suatu hal yang menarik, kalau di kemudian hari bisa diadakan penelitian tentang pidato-pidato Suharto selama 30 tahun menjabat sebagai presiden. Berapa kalikah selama itu ia pernah bicara tentang sejarah kebangkitan nasional, tentang perjuangan menentang imperialisme dan kolonialisme, tentang peran sejarah Bung Karno, tentang revolusi 45, tentang lahirnya Pancasila?

BUNG KARNO ADALAH PROMOTOR KEBANGKITAN BANGSA

Dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, mau tidak mau kita harus mengingat kembali perjalanan sejarah bangsa kita, yang dimulai dengan lahirnya gerakan nasionalis pertama Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, hampir seratus tahun yang lalu. Pergerakan nasional ini dipimpin oleh Dokter Soetomo di Jakarta. Dengan dorongan dilahirkannya Boedi Oetomo ini, kemudian lahirlah di Surabaya dalam tahun 1912 Sarekat Islam di bawah pimpinan Haji O.S. Tjokroaminoto bersama Haji Agus Salim dan Abdul Muis. Sarekat Islam kemudian pecah menjadi SI merah dan SI putih. Dalam tahun 1912 itu lahir pula satu gerakan politik yang amat penting, yaitu Indische Partij yang dimpimpin oleh Douwes Dekker (Dr. Setiabudhi), R.M. Suwardi Suryaningrat dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Tahun 1913, partai ini dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemimpin-pemimpinnya ditangkapi dan kemudian dibuang dalam pengasingan.

Sebagai buntut perkembangan ini, maka pada tahun 1914 lahir di Semarang satu organisasi berfaham kiri (komunis), yaitu Indische Sociaal Demokratische Vereeniging (ISDV) di bawah pimpinan Sneevliet dan Semaun. Dalam tahun 1920 (23 Mei) ISDV ini telah berobah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan pimpinan Semaun juga. Dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda, PKI telah mencetuskan pembrontakan di Banten, Jakarta dan Yogyakarta dalam tahun 1926, dan kemudian juga di Sumatera Barat dalam tahun 1927. Setelah pembrontakan itu ditindas oleh pemerintahan kolonial Belanda, maka ribuan pimpinan dan anggota PKI ditangkapi, dan kemudian dibuang dalam pengasingan di Tanah Merah (Digul).

Perjuangan besar PKI melawan Belanda ini, setelah mengalami penindasan hebat sekali, telah diteruskan oleh Ir Soekarno dengan mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927. Pimpinan PNI waktu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Bung Karno, yang ketika masih mahasiswa di Bandung dan berumur 22 tahun sudah menghadiri Kongres PKI, kemudian terus berkembang menjadi seorang pemimpin gerakan nasionalis yang Muslim dan yang berhaluan kiri. (Sekedar untuk menyegarkan lagi ingatan kita bersama : dalam tahun 1926 ia sudah menulis untuk majalah Suluh Indonesia artikel tentang pentingnya persatuan perjuangan antara pergerakan politik yang beraliran nasionalisme, agama dan marxis).

Dengan menelusuri perkembangan berbegai gerakan nasional melawan kolonialisme Belanda sejak lahirnya Boedi Oetomo dalam tahun 1908 sampai 1965, maka nampak nyatalah bahwa Bung Karno adalah promotor atau penerus gerakan kebangkitan nasional. Bukan itu saja. Dari apa yang sudah diperjuangkannya sejak tahun 20-an sampai ia menjabat kepala negara, jelaslah kiranya bahwa Bung Karno telah muncul sebagai pemimpin besar kebangkitan bangsa. Gagasan-gagasan besarnya tentang kebangkitan bangsa ini telah dituangkannya dalam tindakan-tindakannya, dalam tulisan-tulisannya, dalam pidato-pidatonya, singkatnya : dalam perjalanan hidupnya. Kebangkitan bangsa adalah idam-idaman Bung Karno, menuju persatuan dan kerukunan bangsa demi memperjuangkan tercapainya masyarakat adil dan makmur.

GERAKAN KEBANGKITAN NASIONAL ADALAH KIRI

Dalam konteks perkembangan sejarah perjuangan melawan kolonialisme, gerakan-gerakan seperti Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia (PI) di Nederland, Sarekat Islam, PKI, PNI, Partindo, GAPI, Gerindo dan lain-lainnya, bolehlah kiranya dikatakan bahwa semua gerakan itu berhaluan kiri, atau, setidak-tidaknya memiliki aspek-aspek kiri. Sebab, dalam sejarah modern dunia atau literatur politik dunia, kata “kiri” disebut untuk mengungkapkan fikiran, sikap atau kegiatan yang menghendaki, antara lain : adanya perobahan dalam masyarakat untuk memperjuangkan keadilan sosial, melawan penindasan atau pemerasan terhadap rakyat banyak, melawan kediktatoran modal atau melawan kekuasaan sewenang-wenang segolongan orang atau suatu kekuasaan politik. Dalam konteks perjuangan melawan kolonialisme Belanda, gerakan yang secara tegas atau radikal melawan Belanda waktu itu telah digolongkan kiri. Gerakan kiri ini juga termanifestasikan dalam sikap “non-koperasi” (tidak mau kerjasama) dengan pemerintahan kolonial.

Dengan pengertian itu maka bisa dilihat bahwa perjuangan nasional melawan kolonialisme Belanda yang dipimpin oleh Bung Karno sejak tahun 1927 adalah gerakan kiri. Oleh karena itu pulalah Bung Karno (bersama-sama kawan-kawannya yang lain) dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda, dan kemudian harus ditangkap, diadili, dipenjarakan dan kemudian dibuang dalam pengasingan. Demikian juga halnya dengan PNI, yang karena dianggap berbahaya maka dinyatakan sebagai partai terlarang, dan harus dibubarkan.

Oleh karenanya, dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda kata “kiri” mempunyai arti yang terhormat di kalangan kaum pergerakan. Ini berlainan dengan kata “kanan” yang mempunyai konotasi yang negatif (umpamanya konotasi : sikap tidak tegas, sikap penakut, plintat-plintut, sikap “lunak” atau condong “kompromi”, bahkan ketaklukan atau pengkhianatan). Wajarlah kalau, pada waktu itu, para ambtenaar “inlander” (orang-orang Indonesia yang bekerja-sama dengan pemerintah kolonial Belanda) menganggap orang-orang kiri sebagai orang-orang yang jahat.

Pengertian yang sama juga bisa ditrapkan kepada peristiwa bersejarah lainnya, yaitu pembrontakan PKI tahun 1926. Bagi mereka yang berjuang melawan kolonialisme Belanda, peristiwa ini mendapat tempat yang terhormat dalam hati. Sebab, ini adalah manifestasi gerakan kiri yang menonjol, yang kemudian telah memberikan inspirasi bagi kelanjutan perjuangan bangsa selanjutnya. Pembrontakan PKI tahun adalah bagian penting dari sejarah kebangkitan nasional, dan telah memberikan sumbangan penting pula kepada kebangkitan bangsa.

Dalam rangka memperingati HUT ke-100 Bung Karno patutlah kiranya sama-sama kita ingat bahwa Bung Karno mempunyai peran sejarah yang penting dalam meneruskan, mengembangkan dan memimpin kebangkitan nasional yang dimulai 20 Mei 1908. Buku “Dibawah Bendera Revolusi” jilid pertama dan kedua, serta pidato-pidatonya yang lain, memantulkan dengan jelas gambaran betapa “gandrung”-nya (cinta-besarnya) kepada kebangkitan bangsa.

Sebaliknya, mohon sama-sama kita renungkan, betapa sedihnya bagi bangsa kita (termasuk bagi generasi yang akan datang) bahwa sejarah kebangkitan bangsa yang dipimpin oleh Bung Karno ini, telah secara besar-besaran dan juga dalam jangka lama, mengalami “de-politisasi”, atau “de-sukarnoisasi” atau “de-revolusi”. Mohon juga sama-sama kita tafakurkan, betapa sedihnya bahwa selama puluhan tahun ini Hari Kebangkitan Nasional ini telah diperingati secara hambar, secara dangkal, secara palsu, atau secara kosong-jiwa. Ini tidak hanya di Jakarta saja, melainkan juga di daerah-daerah atau di kota-kota kecil. Juga betapa sayangnya, bahwa tidak banyak tulisan-tulisan dalam media pers, yang berani (atau yang mau!) mengangkat peran sejarah Bung Karno yang cukup penting sebagai penerus atau pendorong kebangkitan bangsa. Dalam hal ini, dosa para pendukung setia Orde Baru adalah besar sekali.

BUNG KARNO YANG “KIRI” DIMUSUHI ORDE BARU

Dari sejarah penggulingan Bung Karno oleh para pendiri Orde Baru/GOLKAR, yang latar-belakangnya mulai terbuka sedikit demi sedikit, maka jelaslah bahwa ia telah dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan tertentu dalamnegeri (dan sekaligus juga oleh kekuatan-kekuatan luarnegeri) disebabkan oleh pendirian politiknya, gagasan-gagasannya dan cara berfikirnya. Dalam berbagai kesempatan, sejak umur 25 tahun, ia menyatakan bahwa ia adalah seorang nasionalis, yang sekaligus juga seorang penganut agama Islam, dan yang menggunakan metode berfikir marxis dalam memandang berbagai persoalan masyarakat dan bangsa.

Pendiriannya atau cara berfikirnya inilah yang telah membikin Bung Karno menjadi tokoh besar sejak ia menulis dalam Suluh Indonesia (1926) tentang gagasannya yang kemudian menjadi konsep NASAKOM di kemudian hari, sejak ia mengucapkan pidatonya yang bersejarah “Indonesia Menggugat”, sejak ia mendorong lahirnya Sumpah Pemuda (1928). Pendiriannya atau cara berfikirnya inilah yang menyebabkan ia dipenjara dan kemudian dibuang dalam pengasingan. Pendiriannya atau cara berfikirnya ini pulalah yang telah melahirkan Pancasila, yang melahirkan Konferensi Bandung, yang membikin terdengarnya pidatonya “To Build The World Anew” di PBB, yang menyerukan “Go to Hell With Your Aid” kepada AS, yang melahirkan Dekon (Deklarasi Ekonomi), yang melahirkan Manipol. Juga, pendiriannya atau cara berfikirnya inilah yang mengucapkan pidatonya “Yo sanak yo kadang, malah yen mati aku sing kelangan” (Ya saudara, ya keluarga, kalau mati saya ikut kehilangan) di depan resepsi Kongres ke-6 PKI (1959) di Jakarta.

Bagi pengamat sejarah atau pengamat politik, atau siapa saja yang menaruh minat kepada sejarah perjuangan Bung Karno ada satu hal yang menarik tentang gandrungnya atau komitmennya yang besar kepada kebangkitan bangsa Indonesia. Dalam setiap pidato “17 Agustus”-nya sejak 1958 sampai 1965, Bung Karno makin lama makin banyak menyebut “revolusi”, “perjoangan” atau “revolusioner”. Mungkin dalam sejarah modern dunia, jarang ada kepala negara atau pemimpin bangsa yang berbicara soal pentingnya revolusi sesering yang dibicarakan oleh Bung Karno. (sekadar perbandingan : Kemal Attaturk? Gamal Abdul Nasser? Jawaharlal Nehru? Mao Tse-tung? Dr. Kwame Nkrumah? ).

Yang berikut adalah ajakan penulis kepada para pembaca untuk mencoba bersama-sama menjabarkan satu gejala yang unik. Yaitu ke-“unik”-an Bung Karno dalam usahanya untuk terus-menerus membangkitkan bangsa, seperti yang tercermin dalam pidato kenegaraannya 17 Agustus 1964, yang terkenal dengan judul TAVIP (Tahun Vivere Pericoloso, atau “Hidup Menyerempet-rempet Bahaya”). Dalam pidatonya yang cukup panjang itu, Bung Karno telah mengucapkan kata-kata : “revolusi” lebih dari 140 kali, “revolusioner” lebih dari 30 kali, “rakyat” lebih dari 80 kali, “imperialis” lebih dari 30 kali, “perjuangan” lebih dari 20 kali, “Nasakom” lebih dari 7 kali, “buruh“ lebih dari 10 kali, “tani” lebih dari 12 kali.

Kalau direnungkan dalam-dalam, maka memang luarbiasa Bung Karno kita ini ! Dengan membaca kembali pidato TAVIP-nya Bung Karno itu (juga pidato-pidatonya yang lain), maka nyatalah bahwa Bung Karno selalu berusaha membangkitkan bangsa Indonesia, untuk menjadi bangsa yang besar, bangsa yang bersatu dalam kerukunan, yang rukun dalam perbedaan, yang bergotong-royong dalam perjuangan di bawah lambang Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila (yang asli !!!). Ia telah bisa membangkitkan bangsa, sejak muda, dengan konsep-konsep perjuangan yang berjiwa revolusioner kiri.

Bung Karno menjadi tokoh besar, baik dalam tingkat nasional maupun internasional, berkat gagasan-gagasannya yang berjiwa kiri, yang konsekwen mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa, yang melawan imperialisme dan neo-kolonialisme beserta kakitangan mereka di dalamnegeri. Karena itulah maka Bung Karno dianggap berbahaya dan telah dijatuhkan oleh para pendiri Orde Baru/GOLKAR dan sekaligus juga oleh kekuatan-kekuatan asing (tentang soal ini ada catatan tersendiri).

Sejak digulingkannya Bung Karno dari kepemimpinan nasional, maka “mandeg”-lah kebangkitan bangsa selama puluhan tahun. Seperti yang bisa disaksikan dewasa ini, apa yang terjadi selama Orde Baru adalah keterpurukan bangsa, kemerosotan moral secara besar-besaran atau kerusakan budi-pekerti yang menyeluruh di segala bidang, terutama di kalangan “elite”, baik yang di eksekutif, legislatif, judikatif, maupun di sebagian kalangan intelektual dan kebudayaan.

Perkembangan kehidupan politik akhir-akhir ini membuktikan dengan jelas bahwa gerakan ekstra-parlementer yang kuat dan besar diperlukan sekali untuk mencegah berkelanjutannya proses pembusukan bangsa. Dari praktek-praktek sebagian terbesar partai-partai politik kelihatan nyata sekali bahwa tidak banyaklah yang bisa diharapkan lagi dari mereka akan adanya perbaikan-perbaikan yang fondamental. Sebagian terbesar para anggota DPR, yang mewakili partai-partai hasil pemilu yang lalu, sudah diragukan oleh banyak orang tentang legitimasi mereka untuk berbicara atas nama rakyat. Sisa-sisa kekuatan Orde Baru masih bercokol di mana-mana.

Dalam situasi yang begini rumit dan parah di segala bidang, yang ditimbulkan oleh kebobrokan sistem politik Orde Baru/GOLKAR selama lebih dari 32 tahun, maka peran gerakan ekstra-parlementer untuk membangkitkan kembali bangsa adalah penting sekali. Adalah menggembirakan bahwa akhir-akhir ini berbagai gerakan mahasiswa, gerakan pemuda, gerakan buruh, gerakan tani, perkumpulan seniman dan budayawan, LSM atau Ornop sudah terus-menerus melancarkan berbagai aksi lewat segala macam cara dan bentuk dan di beraneka bidang.

Dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang akan datang, adalah perlu sekali untuk mengenang kembali jasa dan peran Bung Karno dalam membangkitkan bangsa. Jiwa besar Bung Karno dalam terus-menerus membangkitkan bangsa dapat dijadikan sumber inspirasi bagi perjuangan berbagai golongan dewasa ini untuk meneruskan reformasi. Makin terasa sekalilah, sekarang ini, bahwa suara Bung Karno perlu didengar lagi oleh sebanyak mungkin orang.

Paris, 3 Mei 2001

Artikel 1

Sukarno: Seorang Bima, Seorang Hamlet

"Tidak seorang pun dalam peradaban modern ini yang menimbulkan demikian banyak perasaan pro-kontra seperti Sukarno. Aku dikutuk seperti bandit dan dipuja bagai dewa." (Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat)
SUKARNO tidak dimakamkan "di antara bukit yang berombak, di bawah pohon rindang, di samping sebuah sungai dengan udara segar." Tidak seperti diinginkannya. Permintaan terakhirnya untuk dikuburkan di halaman rumahnya di Batutulis, Bogor, ditolak. Prospek bahwa makamnya akan menjadi tempat ziarah populer yang terlalu dekat dari Jakarta jelas merisaukan pemerintahan baru. Soeharto hanya mengizinkan Sukarno dimakamkan di Blitar, Jawa Timur, di samping makam ibunya.

Bahkan jasad matinya membuat gentar. Dan kini, 30 tahun sejak meninggalnya, nama serta wajah Sukarno tidak pernah benar-benar lumat terkubur. Kampanye puluhan tahun Orde Baru untuk membenamkannya justru hanya memperkuat kenangan orang akan kebesarannya, simpati pada epilog hidupnya yang tragis, serta maaf atas kekeliruannya di masa silam.

Sukarno tak pernah berhenti menjadi ikon revolusi nasional Indonesia yang paling menonjol—mungkin seperti Che Guevara bagi Kuba. Di banyak rumah, foto-fotonya, kendati dalam kertas yang sudah menguning di balik kaca pigura yang buram, tidak pernah diturunkan dari dinding meski pemerintahan berganti-ganti. Di kaki lima, posternya masih tampak dipajang bersebelahan dengan gambar Madonna, Iwan Fals, dan Bob Marley—simbol dari zaman yang sama sekali lain.

Pada Pemilihan Umum 1999, dia hadir sebagai juru kampanye "in absentia" bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin putrinya, Megawati Sukarnoputri. Gambar besarnya diusung dalam arak-arakan. Posternya dipajang di mulut-mulut gang. Dan Sukarno memenanginya. PDI Perjuangan meraih suara terbanyak, mengantarkan Megawati menjadi wakil presiden sekaligus melempangkan jalan bagi pemulihan nama Sukarno sendiri.

"Sejarahlah yang akan membersihkan namaku!"

Sumpah itu jadi kenyataan. Sejarah—dan waktu—kini berpihak padanya. Hari-hari ini, peringatan 100 tahun kelahirannya dirayakan dengan pesta akbar. Tidak hanya dalam kenangan penghuni gubuk reyot pedesaan dan kampung kumuh perkotaan—orang-orang Marhaen yang menjadi sumber ilham dan curahan simpati besarnya—tapi juga dalam konser musik klasik tempat orang-orang berdasi dan bermobil Baby Benz mendengarkan Aida gubahan komponis besar Italia, Giuseppe Verdi.

Untuk pertama kalinya sejak tragedi berdarah 1965, yang sebagian dosanya dibebankan padanya, dia memperoleh kembali secara lebih proporsional kehormatan yang menjadi haknya.

Seperti Verdi mengilhami pembebasan Italia lewat opera dan musik indahnya, Sukarno—lebih dari siapa pun—memang berjasa besar menyatukan bangsa Indonesia dalam kesadaran bersama meraih kemerdekaan, lewat orasi-orasinya yang berani dan menggemuruh pada 1920-an.

"Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia!"

Tak hanya mengantarkan kemerdekaan Indonesia, dia kelak memang
mengguncang dunia pula. Dari lembah Sungai Nil hingga Semenanjung Balkan, dari Aljazair hingga India, namanya dikenang sebagai salah satu juru bicara Asia-Afrika paling lantang dalam melawan "imperialisme dan kolonialisme Barat".

Sebagai orator, dia mampu menghipnotis dan menggenggam massa dalam
tangannya. Dan dengan itu dia mendesakkan "revolusi psikologis", menjebol
keyakinan umum pribumi Indonesia, yang kala itu hampir sekuat mitos dan
takhayul, bahwa kolonial Belanda berkulit putih tidak bisa dikalahkan.

Aktivisme politik Sukarno diilhami dari sumber-sumber yang beragam, dari buku yang dibaca dan tokoh senior yang ditemuinya. Dia menyerap semuanya, lalu menggumpalkan dalam dirinya, hampir sepenuhnya eklektis dan sinkretis—kemampuan khas Jawa.

Mengenyam pendidikan sekolah menengah (Hogere Burger School) di Surabaya, Sukarno tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, gerakan politik prakemerdekaan yang memiliki basis penerimaan paling luas. Dan Tjokro menjadi mentor politiknya yang pertama (bahkan kelak menjadi mertuanya)—tapi bukan satu-satunya.

Sukarno menyebut lingkungan rumah Tjokro sebagai "dapur revolusi Indonesia". Tidak berlebihan. Berbagai tokoh pergerakan, meski dengan aliran yang berbeda, sering bertemu di situ. Sukarno bisa menemukan Ki Hadjar Dewantoro, penggagas gerakan pendidikan Taman Siswa dan satu dari "Tiga Serangkai" pendiri Indische Partij—partai radikal pertama yang menyerukan kemerdekaan Indonesia secara tuntas dari Belanda. Dari Ki Hadjar, Sukarno menyerap bagaimana menyatukan pandangan Barat dengan pandangan tradisional Jawa. Di rumah itu pula Sukarno berkenalan dengan Hendrik Sneevliet (pendiri Indische Sociaal Democraticshe Vereeniging, leluhur Partai Komunis Indonesia) dan Alimin ("orang yang memperkenalkan saya pada Marxisme").

Islam dan Marxisme menjadi dua arus ideologi yang dominan dalam perlawanan terhadap penjajah kala itu. Tak jarang seorang tokoh pergerakan waktu itu menjadi pengurus Sarekat Islam dan ISDV sekaligus, seperti Semaun, misalnya. Namun, kendati kedua aliran memandang kolonial Belanda sebagai musuh bersama ("Kristen bagi Islam" dan "kapitalis-imperialistis bagi Marxis"), dua-duanya sendiri kelak akan terbukti dan tak terjembatani.

Sukarno berkenalan dengan arus ketiga yang lebih memukaunya, "nasionalisme". Ketika kuliah di Technische Hoogeschool (kini Institut Teknologi Bandung) beberapa tahun kemudian, dia bertemu dengan Ernest F.E. Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkusumo—dua keping lain dari "Tiga Serangkai". Khususnya dari Douwes Dekker, Sukarno menyerap gagasan nasionalisme sekuler, yang menolak dasar Islam dan realisme-sosial komunis sekaligus, serta memimpikan sebuah negara merdeka tempat manusia dengan ras berbeda, aliran berbeda, terikat kesetiaan pada satu tanah air.

Debut politik pertama Sukarno adalah ikut mendirikan Klub Studi Umum di Bandung pada 1926, sebuah klub diskusi yang berubah jadi gerakan politik radikal belakangan. Namanya kian menjulang ketika setahun kemudian dia menulis rangkaian artikel berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme dalam Indonesia Moeda—penerbitan milik Klub. Di situ, Sukarno mendesakkan pentingnya sebuah persatuan nasional, satu front bersama kaum nasionalis, Islamis, dan Marxis, dalam perlawanan tanpa-kompromi (non-kooperatif) terhadap Belanda.

Gagasan Sukarno di situ bukan yang pertama dan tidak sepenuhnya orisinal. Tokoh Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda, Mohammad Hatta, telah sejak 1923 mengumandangkan pentingnya persatuan dan muskilnya kerja sama dengan pemerintah kolonial.

Namun, peran Sukarno tak bisa dikecilkan. Jasa terbesarnya adalah menyerap apa yang dikemukakan Hatta, membuat sintesis darinya dan menerjemahkan ke dalam bahasa yang lebih mudah diserap massa. Ditambah daya magis orasinya, Sukarno memperoleh audiens serta dampak yang lebih luas—lebih dari yang bisa diharapkan Hatta, tapi sekaligus membuatnya miris.

Dengan kata-katanya, Sukarno menjembatani dan menyatukan berbagai elemen yang berbeda serta memberi mereka sebuah kebersamaan identitas. Dengan itu, Sukarno berjasa mengilhami Sumpah Pemuda 1928 dan secara brilian merumuskan dasar negara Pancasila.

Sukarno menjadi personifikasi "satu Indonesia" secara tak terbantah kala itu. Dia menjadi pusat perhatian dalam rapat-rapat umum—di atas podium, di tengah massa yang riuh. Di atas panggung, dia memukau audiens, dan audiens sebaliknya memukau dia dengan tepuk tangan yang kian lama kian memabukkan.

Dia memang pada dasarnya terpesona oleh elemen drama dalam sejarah—oleh unsur romantis dalam biografi George Washington, Garibaldi, dan Abraham Lincoln. Romantisme Sukarno diperkuat oleh cerita-cerita perwayangan—epik Mahabharata dan Ramayana—yang dia kenal sejak kecil dan menjadi medium komunikasinya yang pa-ling efektif dengan khalayak. Dia menyamakan dirinya dengan ksatria Pandawa dalam Perang Bharata Yudha-nya melawan kolonialis Belanda.

Namanya sendiri dipetik dari dunia wayang. Dalam autobiografi yang dituturkan kepada Cindy Adams, dengan antusias Sukarno bercerita tentang asal-muasal namanya. Dia terlahir sebagai Kusno, yang sakit-sakitan. Sesuai dengan kepercayaan Jawa, ayahnya harus memberinya nama baru untuk mengusir penyakitnya. Kusno menjadi Karno, nama ksatria Pandawa—seorang "pejuang bagi negaranya" dan "patriot yang saleh".

Menyusupkan unsur dramatik dan magis, Sukarno tak lupa menambahkan
bahwa Karno juga berarti "telinga". Syahdan, Dewi Kunti, ibunya, mengandung Karno dalam keadaan perawan. "Awan berahi" Batara Surya-lah, dewa matahari, yang membuatnya hamil. Musyawarah para dewa memutuskan Karno dilahirkan melalui telinga agar tidak merusak keperawanan Kunti.

Namun, tokoh favorit Sukarno dari dunia perwayangan adalah Bima—nama samaran yang sering dia pakai dalam tulisan-tulisannya. Bima adalah anomali di antara para ksatria Pandawa yang bertutur kata halus. Dengan suara baritonnya yang berat, Bima selalu memakai bahasa kasar, Jawa ngoko, bahkan jika bicara dengan para dewa—sebuah isyarat ketidaksopanan, tapi juga keberanian, pemberontakan pada feodalisme, dan ajakan pada egalitarianisme.

Di atas panggung, "Bima" membuat panas kuping pemerintah Hindia Belanda dengan agitasinya, dengan teriakan "Indonesia"-nya, dan dengan lagu Indonesia Raya yang diperdengarkan mengawali rapat-rapat akbarnya.

Sukarno ditangkap 1930. Namun, persidangannya menjadi pentas lain yang tak kalah dramatisnya. Dia tampil dengan pidato pembelaan yang gemilang, "Indonesia Menggugat", yang dibacakannya selama dua hari berturut-turut. Seperti Hatta di Den Haag pada 1928, pleidoi Sukarno di pengadilan Bandung itu adalah manifesto politiknya, yang ditujukan terutama kepada pendengar di luar sidang.

Belanda menghukumnya secara keras: Sukarno dijatuhi hukuman empat tahun, meski akhirnya diperingan menjadi satu tahun. Keluar dari Penjara Sukamiskin, Bandung, dia dihormati lebih dari sebelumnya—sebagai seorang ksatria yang keluar dari pertapaan dan memperoleh kesaktian lebih besar.

Namun, pamornya justru segera redup seiring mengerasnya tekanan pemerintah Hindia Belanda dan kesulitannya untuk kembali menyatukan berbagai kelompok pergerakan. Bahkan hubungannya dengan Hatta tak terjembatani, meski hanya karena perbedaan taktik. Hatta lebih ingin menggugah kesadaran nasional lewat pendidikan politik secara radikal, lewat partai kader, dengan anggota yang militan, untuk menciptakan "beribu-ribu, bahkan berjuta-juta Sukarno". Dia mengkritik Sukarno, yang cenderung hanya mengumpulkan kerumunan dengan satu Sukarno di tengahnya.

Bagi Sukarno, sebaliknya, kata-kata diperlukan untuk mengilhami tindakan, energi besar meraih kemerdekaan. Sukarno bukan pengagum Hitler, bahkan membencinya, tapi dia mengingat kata-kata Hitler dengan baik: "Gross sein heissat Massen bewegen kõnnen." (Besarlah seseorang yang mampu menggerakkan massa untuk bertindak.)

Hatta terbukti terlalu meremehkan betapa luas dan mendalam pengaruh Sukarno, dan betapa kuat personifikasi Sukarno atas rakyat jajahan. Pada 1940-an, Sukarno menjadi wakil Indonesia secara tak terelakkan ketika Jepang harus melakukan tawar-menawar dengan tanah jajahan baru. Dan selebihnya tak terhindarkan: sejarah memilihnya menjadi proklamator kemerdekaan Indonesia.

Bagi Sukarno, sejarah tidak memilihnya secara kebetulan. Mengenang ke
belakang, lewat autobiografinya, ia bercerita bagaimana ibunya memangku bayi Sukarno yang berumur dua tahun, menghadap ke timur, dan ketika fajar merekah meramalkannya kelak menjadi pemimpin besar. "Sukarno, Putra Sang Fajar".

Sukarno memang merasa terlahir sebagai pemimpin, dan bertindak secara sadar untuk meraih takdirnya. Namun, pada 1933, dia barangkali tidak bisa seyakin seperti itu. Ditangkap untuk kedua kali, Sukarno mengirim surat kepada Gubernur Jenderal Belanda: dia meminta maaf dan berjanji akan menghentikan aktivitas politiknya sama sekali. Kesendiriannya dalam Penjara Sukamiskin tampaknya menjadi pengalaman traumatis.

Keaslian surat maaf itu masih menjadi perdebatan para sejarawan hingga kini. Tapi, dalam pengasingan di Ende (1934-1938), Sukarno tampak benar-benar sudah memutuskan sebuah karir baru. Tidak politik, tapi tetap berbau panggung. Dia menulis 12 cerita sandiwara, salah satunya berjudul Dr. Setan, yang diilhami oleh Frankenstein. Dia juga mendirikan Perkumpulan Sandiwara Kalimutu—dari nama danau terkenal di pulau itu—membuat reklame sendiri untuk pertunjukannya, merancang kostum, dan menggambar dekor.

Karir politik Sukarno sepertinya akan habis di situ. Tapi sejarah ternyata
menikung ke arah lain. Kekalahan Belanda dari Jepang mengembalikan impian besarnya. Dia kembali tampil ke panggung, tapi dengan sejumlah pandangan yang sudah direvisi. Berkeyakinan besar bahwa Jepang akhirnya akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia, Sukarno menanggalkan sikap nonkooperasi serta mendukung rezim fasistik itu dengan sikap pragmatis yang mencengangkan, bahkan menggetirkan.

Mengerahkan keterampilan klasiknya berpidato, Sukarno membujuk puluhan ribu pemuda untuk bergabung dalam barisan romusha, yang dikirim ke kamp-kamp kerja paksa. Banyak dari mereka tidak pernah pulang.

Dia memang mengaku remuk hati mengenang itu. "Akulah orangnya. Akulah yang menyuruh mereka berlayar menuju kematian." Tapi, setelah tarikan nafas lainnya, dia mengatakan: "Dalam setiap peperangan ada korban. Tugas seorang panglima adalah memenangi perang. Andaikata saya terpaksa mengorbankan ribuan jiwa demi menyelamatkan jutaan orang, saya akan lakukan."

Episode itu bisa menjadi bahan perdebatan moral tiada habis. Namun, Sukarno tidak sendirian. Apa gerangan yang dipikirkan Harry Truman setelah menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, membunuh ratusan ribu orang tapi pada saat yang sama menghentikan Perang Asia Pasifik?

Para pemuda romusha pastilah pahlawan sejati kemerdekaan Indonesia, yang pada akhirnya mempersembahkan panggung lebih besar bagi Sukarno.

Bersama Hatta di sampingnya, Sukarno menghadapi masa-masa awal kemerdekaan yang sulit. Namun, keduanya sukses menangkis tantangan serius dari dalam negeri—keresahan, bahkan pemberontakan, di berbagai daerah. Juga dari luar—agresi ataupun ketatnya diplomasi dengan Belanda. Keduanya memang bisa berbuat banyak jika bekerja sama. Hatta memerlukan kehangatan dan kemampuan Sukarno untuk berkomunikasi dengan massa orang Jawa. Sukarno mengambil keuntungan dari disiplin, integritas, dan keterampilan Hatta di bidang ekonomi. Tapi semua tak berlangsung terlalu lama.

Tahun 1959 menandai awal kejatuhan Sukarno—tahun yang secara ironis disebutnya sebagai "Tahun Penemuan Kembali Revolusi Kita".

"Saya merasa seperti Dante dalam Divine Commedia," katanya dalam pidato kemerdekaan 17 Agustus tahun itu. "Saya merasa bahwa revolusi kita telah menderita semua jenis penderitaan inferno! Dan kini, dengan kembalinya kita ke Konstitusi 1945, kita menjalani pemurnian (untuk) masuk surga!"

Pada 5 Juli, Sukarno mengeluarkan dekrit presiden yang terkenal. Tak sabar menyaksikan eksperimen demokrasi parlementer yang penuh kisruh, Sukarno membubarkan Konstituante—dewan perwakilan rakyat hasil pemilu demokratis 1955. Dia mengubur tuntas "setan sistem multipartai yang menjerumuskan kita ke neraka" dengan meniadakan partai sama sekali. Dia mempro-klamasikan Demokrasi Terpimpin.

Jika yang diinginkannya adalah suasana harmoni tanpa konflik, Demokrasi Terpimpin jelas memenuhi obsesi besar Sukarno akan "persatuan dan kesatuan". Tapi itu jelas pula bukan demokrasi. Sukarno menyusun kabinet sendiri, menunjuk perdana menteri, dan mengangkat semua anggota parlemen.

Dengan kekuasaannya yang tiada terbatas, dia kini leluasa mengayuh roda revolusi. "Revolusi belum usai." Pidatonya tetap menggelegar. Panggung kian gemerlap. Tapi kampanyenya untuk merebut Irian Barat, konfrontasinya dengan Malaysia, dan pemberontakannya di Perserikatan Bangsa-Bangsa makin menjauhkannya dari bisa memahami masalah sebenarnya yang dihadapi negerinya. Sukarno "Singa Podium" berubah menjadi demagog dengan slogan-slogan kosong.

Dalam situasi normal, obsesinya terhadap monumen, gedung, dan patung-patung raksasa—yang kini menghiasi sudut-sudut kota Jakarta—harus diakui merupakan wujud selera tingginya terhadap seni. Tapi itu merupakan ironi besar di tengah kesulitan ekonomi yang menggigit kala itu, kelaparan di berbagai tempat, inflasi yang meroket ratusan persen.

Dia juga makin agresif terhadap lawan-lawan politiknya, menanggalkan citranya sendiri sebagai Sukarno sang penyatu. Dia memberangus pers dan memenjarakan para pengkritiknya—termasuk Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia pertama, yang kemudian meninggal secara tragis dalam status sebagai tahanan.

Watak pemerintahannya yang monolitik menjatuhkannya ke dalam simbol feodalisme Jawa, yang dulu ia kecam. Seperti raja-raja Jawa di masa silam, dan Soeharto yang menggantikannya kelak, dia memanipulasi simbol-simbol tradisi, mencitrakan diri memiliki aura kekuasaan supranatural, menikmati diri dikelilingi para adipati yang terlibat intrik politik istana, serta memanfaatkan konflik itu untuk menunjukkan diri sebagai kekuatan yang tak terhindarkan, satu-satunya dan selama-lamanya. Jika bisa.

Setelah partai-partai Islam praktis tersingkir, Sukarno mencoba berdiri di tengah menjaga kesimbangan yang rawan antara tentara (yang sejak 1950-an menjadi haus politik) di satu sisi dan Partai Komunis Indonesia di sisi yang lain. Dia gagal kali ini. Di bawah bayang-bayang ketegangan Perang Dingin global dan tekanan krisis ekonomi domestik, Sukarno terbakar di tengah-tengah persaingan dua kubu, dalam sebuah drama paling berdarah 1965.

Sukarno barangkali adalah contoh klasik yang tragis: seorang pemimpin idealistis yang dirusak oleh kekuasaan dan dikhianati oleh kebanggaan dirinya yang terlalu besar.

Lahir di bawah rasi bintang Gemini, Sukarno memang manusia penuh paradoks, seperti dikatakannya sendiri. "Gemini adalah lambang kekembaran; dua sifat yang berlawanan." Dia idealistis sekaligus pragmatis. Pemberang sekaligus pemaaf. Ekspresi kata-katanya kasar, tapi dia menyukai seni dan keindahan yang halus. Dan di balik penampilannya yang sangat percaya diri, langkahnya yang tegap, suaranya yang mengguntur, Sukarno adalah pribadi yang rapuh.

Sukarno bermimpi menjadi Hercules seperti yang digambarkan dalam sebuah plakat pada dinding Istana Bogor: bayi Hercules dalam pangkuan ibunya, dikelilingi empat belas bidadari cantik—semuanya telanjang. "Cobalah bayangkan betapa bahagianya dilahirkan di tengah empat belas wanita cantik seperti ini." Keperkasaan Hercules menuntut kasih sayang, haus kelembutan.

Sebagai orang yang percaya bisa memindahkan gunung dengan kata-kata, Sukarno membutuhkan dukungan total dari lingkungannya: cinta, pujian, dan penerimaan, jika bukan tepuk tangan. Di masa kecil, dia memperolehnya dari Sarinah, pembantu rumah tangga yang namanya kemudian dia abadikan dalam judul sebuah bukunya dan pada sebuah toko serba ada di Jalan Thamrin, Jakarta.

Dan ketika dewasa, Sukarno memperoleh tenaga Hercules-nya dari Inggit Garnasih, janda dengan usia selosin tahun lebih tua yang dikawininya di Bandung pada 1923. Inggit menjadi sumber semangat yang menyala dan ia menemaninya di masa-masa sulit. Tanpa Inggit, Sukarno barangkali benar-benar habis setelah ditahan di Penjara Sukamiskin dan diasingkan ke Ende. Kesendirian akan mudah membunuhnya. Ketika mengantarkan buku biografi Inggit, Kuantar ke Gerbang, sejarawan S.I. Poeradisastra melukiskan paradoks Sukarno yang lain: dia bisa tampak seperkasa Herakles, tapi juga serapuh "Hamlet yang tercabik-cabik dalam kebimbangan".

Sayang, Inggit tak bisa memberinya anak. Banyak orang masih mafhum ketika Sukarno kemudian berpaling pada Fatmawati. Namun, ketika atletisme seksualnya justru kian menjadi-jadi setelah perkawinannya dengan Hartini—wanita keempat dalam hidup pribadinya—orang melihatnya secara lain. Gelar internasionalnya sebagai "Le Grand Seducteur" mengundang kekaguman, tapi sekaligus membenamkannya lebih jauh. Alih-alih menunjukkan kejantanan, obsesi itu membuka kedok dari ketakutannya, dari perasaan tidak amannya. Sukarno seperti ingin memaksakan diri menunjukkan potensinya di tengah kemampuan politiknya yang kian merosot.

Tragis. Namun, fakta bahwa banyak wanita memang ingin dijamahnya, seperti juga banyak politisi menghamba dalam Demokrasi Terpimpin-nya, bahkan kemudian membolehkannya menjadi presiden seumur hidup, menunjukkan Sukarno tidak sendiri dalam cacatnya—dia manusia tak sempurna dalam dunia tak sempurna.

Hatta, seorang pengkritiknya yang paling keras, punya penilaian yang lebih adil terhadapnya. Sukarno, tulis Hatta suatu ketika, adalah kebalikan dari tokoh Memphistopheles dalam Faust-nya Goethe. "Tujuan Sukarno selalu baik, tapi langkah-langkah yang diambilnya sering menjauhkannya dari tujuan itu." Tapi, Sukarno punya ungkapan sendiri untuk meringkaskan hidupnya. "Dia mencintai negerinya, dia mencintai rakyatnya, dia mencintai wanita, dia mencintai seni, dan—melebihi segalanya—dia cinta kepada dirinya sendiri."

(Disadur dari berbagai sumber)

Jejak Langkah Putra Sang Fajar

6 Juni 1901
SUKARNO dilahirkan di Surabaya, dari pasangan Ida Ayu Rai Srimben (asal Singaraja, Bali) dan Raden Soekemi Sosrodihardjo (Probolinggo, Jawa Timur). Setelah pindah sebentar ke Sidoarjo, keluarga Soekemi menetap di Mojokerto, Jawa Timur, dan Sukarno mulai bersekolah di sekolah dasar zaman Belanda hingga kelas lima. Lalu, ia melanjutkan pendidikan ke Europeesche Lagere School (ELS), sekolah Eropa berbahasa Belanda, di Surabaya.

1915
Masuk Hoogere Burger School (HBS), sekolah menengah Belanda, dan ikut di rumah Tjokroaminoto, Ketua Sarekat Islam. Di situ, dia berkenalan dengan tokoh-tokoh senior pergerakan dan memulai proses magang politik.

21 Januari 1921
Artikel Sukarno yang pertama terbit di halaman depan koran Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam. Sukarno mengawini Oetari Tjokroaminoto--yang menjadi perkawinan pertama Soekarno.

Pertengahan 1921
Kuliah di (Technische Hooge School—Institut Teknologi Bandung).

1923
Menikahi Inggit Garnasih, janda berusia 12 tahun lebih tua dan induk semangnya selama ia kuliah di Bandung.

25 Mei 1926
Mendapatkan gelar insinyur dari THS. Hotel Preanger adalah salah satu karyanya. Pertengahan 1926: Ikut mendirikan Klub Studi Umum, Bandung, klub diskusi yang berubah menjadi gerakan politik radikal. Terbit artikelnya yang terkenal: "Nasionalisme, Islam, dan Marxisme".

4 Juni 1927
Mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandung. Pada kongres 1928, gerakan itu memproklamasikan diri sebagai partai, dengan nama baru: Partai Nasional Indonesia.

28 Oktober 1928
Sumpah Pemuda. Berbagai kelompok pemuda menyatakan "memiliki bangsa, bahasa, dan tanah air yang sama: Indonesia." Lagu kebangsaan Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan.

29 Desember 1929
Sukarno ditangkap bersama tokoh PNI lain dan dijebloskan ke tahanan Penjara Banceuy. Tuduhannya: merencanakan pemberontakan kepada Belanda.

Agustus 1930
Pengadilan Sukarno. Dalam pembelaannya yang amat terkenal, "Indonesia Menggugat", ia mengecam penjajahan dan menyerukan perlawanan. Untuk pertama kalinya dia memakai istilah "Marhaen" sebagai ganti kaum buruh (proletar).

31 Desember 1931
Hukuman Sukarno dipotong dua tahun dan ia dibebaskan. PNI pecah, Sukarno belakangan memilih masuk Partindo.

1 Agustus 1933
Sukarno ditangkap untuk kedua kalinya.

21 November 1933
Sukarno menyatakan diri keluar dari Partindo.

17 Februari 1934
Sukarno dibuang ke Ende, Flores.

Februari 1938
Pengasingan Sukarno dipindahkan ke Bengkulu.

9 Juli 1942
Sukarno kembali ke Pulau Jawa dan merebut simpati sebagai pemimpin pergerakan Indonesia di zaman Jepang

16 April 1943
Bersama Jepang, Sukarno membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera), yang ternyata dipakai Jepang sebagai pekerja paksa (romusha) dan menjadi propagandis Jepang.

7 September 1943
Penguasa Jepang menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia kelak di kemudian hari (tidak ada batas waktu spesifik).

1 Juni 1945
Dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Sukarno melahirkan istilah Pancasila, yang menjadi dasar negara Indonesia. Rapat itu juga menyekapati Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstituti negara Indonesia.

16 Agustus 1945
Sukarno menolak tuntutan pemuda untuk memproklamasikan Indonesia dengan alasan belum mendapat kepastian menyerahnya Jepang dalam perang. Mereka menculik Sukarno dan Hatta dan membawanya ke Rengasdengklok.

17 Agustus 1945
Proklamasi Indonesia dibacakan Sukarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia.

18 Agustus 1945
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang dan menetapkan Sukarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya. Kelak mereka dikenal dengan Dwi-Tunggal.

3 November 1945
Pemerintah mengeluarkan maklumat yang isinya menyukai terbentuknya partai politik dan mengadopsi sistem parlementer.

14 November 1945
Kabinet pertama yang baru berusia tiga bulan jatuh, digantikan kabinet kedua dengan bentuk parlementer di bawah Perdana Menteri Sjahrir. Sejak saat itu, kabinet selalu jatuh-bangun.

18 September 1948
Pecah pemberontakan PKI Madiun yang dipimpin Muso, tokoh PKI yang sejak 1920-an mengungsi di Moskow.

27 Desember 1949
Lewat Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda resmi menyerahkan
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Pada Agustus 1950, ia berhasil menyatukan negara dalam negara itu menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

17 Oktober 1952
Dikenal sebagai Peristiwa 17 Oktober, ketika sebagian tentara angkatan darat mengarahkan moncong meriamnya ke Istana dan menuntut Sukarno membubarkan parlemen.

18 April 1955
Berlangsung Konferensi Asia Afrika atas prakarsa Bung Karno.

31 Desember 1956
Muhammad Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI.

21 Februari 1957
Sukarno membekukan sistem demokrasi parlementer yang berlangsung sejak 1950 dan menggantinya dengan demokrasi terpimpin.

14 Maret 1957
Sukarno memberlakukan keadaan perang dan darurat perang (SOB) akibat
banyaknya pemberontakan militer di daerah.

30 November 1957
Terjadi percobaan pembunuhan terhadap Sukarno. Semua pelaku dihukum mati. Para pelaku diidentifikasi sebagai kelompok antikomunis.

5 Juli 1959
Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya membubarkan konstituante (DPR Sementara) dan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.

17 Agustus 1959
Sukarno memperkenalkan Manifesto Politik yang oleh MPRS dikukuhkan
menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Manipol memuat lima pokok: UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia (USDEK).

30 September 1960
Di depan Majelis Umum PBB, Sukarno menguraikan Pancasila dan perjuangan membebaskan Irian Barat dalam pidato berjudul To Build the World Anew.

1963
Untuk menandingi Olimpiade yang digelar negara-negara Barat, Sukarno
menggelar pertandingan olahraga internasional Ganefo (Games of New Emerging Forces) di Senayan, Jakarta, 10-22 November 1963, yang diikuti 48 negara.

3 Mei 1964
Karena kebenciannya kepada kolonialisme Inggris di Asia, Sukarno menyerukan "Ganyang Malaysia". Indonesia keluar dari PBB dan membentuk Poros Jakarta-Peking.

14 Januari 1965
Partai Komunis Indonesia mulai melancarkan provo-kasi dengan tuntutan untuk mempersenjatai buruh dan tani (angkat-an kelima). Sukarno belum menanggapinya.

26 Mei 1965
Beredar isu "Dokumen Gilchrist" yang menyebutkan adanya dewan jenderal
dalam tubuh angkatan bersen-jata untuk mengambil kekuasaan dari Sukarno.

Juli 1965
Sukarno mulai sakit-sakitan dan D.N. Aidit memerintahkan agar biro khusus PKI menyiapkan gerakan mengantisipasi dampak sakitnya Sukarno.

30 September 1965
Penculikan dan pembunuhan tujuh jenderal AD di Jakarta. PKI, yang memperoleh perlindungan Sukarno, dituding sebagai biang keladinya.

14 Oktober 1965
Mayor Jenderal Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat dan segara membekukan kegiatan PKI dan ormas-ormasnya. Sukarno menolak untuk bertindak tegas terhadap PKI.

11 Maret 1966
Dengan helikopter, Sukarno terbang ke Istana Bogor, setelah mendengar Istana dikepung pasukan tak dikenal. Di sanalah dia menandatangani Supersemar.

20 Juni 1966
Sidang Umum Ke-4 MPRS di Jakarta antara lain menetapkan, jika Presiden
berhalangan tetap, pengemban Supersemar, yakni Soeharto, menjadi presiden.

21 Januari 1967
Pidato pertanggungjawaban Sukarno pada 10 Januari, Nawaksara, ditolak MPRS dan DPRGR menyimpulkan ada petunjuk Sukarno terlibat dalam peristiwa 30 September.

22 Februari 1967:
Sukarno diberhentikan dari jabatan presiden dan digantikan Jenderal Soeharto.

21 Juni 1970:
Sukarno wafat di Istana Bogor setelah menderita sakit yang lama di Wisma Yasa, Jakarta. Jenazah Sukarno dimakamkan di Blitar. Hingga akhir hayatnya, Sukarno tak pernah diadili karena tuduhan pro-PKI.

Catatan A. Umar Said

SOAL G30S, BUNG KARNO DAN SUHARTO

Sebentar lagi akan datang 30 September. Bagi banyak orang, di masa yang lalu, tanggal ini dan hari-hari berikutnya, merupakan hari yang mengandung kenang-kenangan yang penuh kepedihan dan kegetiran. Bahkan, bagi sebagian bangsa kita, penderitaan yang diakibatkan buntut peristiwa G30S masih dirasakan sampai sekarang, lebih dari 37 tahun kemudian. Kekuasaan rezim militer Orde Baru di bawah pimpinan Suharto dkk, telah membikin peristiwa 30 September 1965 sebagai dasar serentetan pengkhianatan terhadap Bung Karno dan Republik Indonesia, dan sebagai sumber berbagai pelanggaran HAM secara besar-besaran yang dilakukan selama puluhan tahun.

Selama ini, sudah banyak yang ditulis – atau dibicarakan – tentang G30S serta buntutnya yang panjang. Tetapi selama jangka waktu yang lama ini, sebagian terbesar tulisan mengenai peristiwa ini, serta berbagai akibatnya, hanya menyajikan versi sefihak yang banyak diputarbalikkan atau dipalsu oleh para pendukung rezim militer. Oleh karena itu, perlu terus didorong lahirnya berbagai macam tulisan -atau kegiatan lainnya - tentang G30S serta akibatnya, yang memungkinkan kita bersama untuk meninjaunya dari banyak sudut pandang. Sebab, sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa G30S sebenarnya mengandung persoalan-persoalan yang rumit dan punya latar-belakang politik dan sejarah yang panjang dan berliku-liku. Jadi, masalah G30S bukanlah masalah yang sederhana. Dan, karenanya, makin banyak kalangan mempersoalkan berbagai aspek G30S adalah makin baik bagi bangsa dan generasi yang akan datang.

FAKTOR DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI

Peristiwa G30S, seperti banyak persoalan besar lainnya, dipengaruhi berbagai faktor sejarah, dan faktor dalamnegeri dan luarnegeri. Di antara faktor-faktor itu terdapat faktor Bung Karno; yang merupakan lambang terpusat perjuangan nasional untuk kemerdekaan melawan kolonialisme dan imperialisme (ingat pidato Bung Karno “Indonesia menggugat” dan kumpulan pidato-pidato beliau dalam “Di bawah Bendera Revolusi”). Ada juga faktor-faktor PKI, sebagian golongan Islam dan Angkatan Darat. Di samping itu, ada faktor perang dingin, sebagai perkembangan internasional penting sesudah Perang Dunia ke-II. Saling keterkaitan berbagai faktor dalamnegeri dan faktor luarnegeri ini tercermin di Indonesia dalam peristiwa-peristiwa penting, antara lain (sekadar menyebutkan sejumlah kecil contoh-contohnya) : revolusi 45, Konferensi Bandung 1955, pembrontakan PRRI-Permesta, politik konfrontasi Malaisia, Trikora, perang Vietnam, masalah Taiwan, hubungan Indonesia-RRT

Di antara faktor-faktor dalam negeri adalah naiknya prestise PKI sesudah pemilu tahun 1955. Kenaikan prestise PKI ini membikin tidak senangnya sebagian dari TNI-AD, dan juga sebagian negeri-negeri Barat. Sejumlah perwira-perwira TNI-AD, dengan mendapat sokongan Amerika Serikat (CIA) melakukan pembrontakan terhadap pemerintahan pusat di tahun 1958, dengan mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang disokong oleh partai politik Masjumi dan PSI. (Ingat juga peristiwa penerbang AS Allan Pope yang ditembak jatuh di Ambon tahun 1958).

Bung Karno, yang waktu itu merupakan tokoh internasional dalam melawan imperialisme dan kolonialisme (ingat, antara lain : gerakan Non-blok, Ganefo, Konferensi Wartawan Asia-Afrika, Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing) mendapat dukungan yang besar dari PKI. Berbagai politik Bung Karno jelas-jelas tidak menguntungkan kepentingan sejumlah negeri-negeri Barat. Politik negeri-negeri Barat tertentu ini punya pengikut juga di Indonesia, termasuk di kalangan Angkatan Darat dan sebagian golongan Islam.

MENGHANCURKAN PKI UNTUK MENGGULINGKAN BUNG KARNO

Dalam jangka waktu lama sekali (lebih dari 32 tahun), para pendiri rezim militer Orde Baru menyajikan kepada opini umum bahwa persoalan G30S adalah terutama berkaitan dengan PKI. Bahkan, nama resmi yang diberikan kepada peristiwa ini adalah GESTAPU/PKI. Tetapi, dalam berbagai kesempatan, pimpinan Angkatan Darat dan para pendukung Orde Baru lainnya menuduh bahwa dalam peristiwa ini Bung Karno “terlibat”, atau tidak mau bertindak tegas, atau bahkan bersimpati kepada PKI. Selalu dikemukakan oleh mereka bahwa PKI adalah dalang G30S atau penggeraknya. Bahwa sejumlah pimpinan PKI terlibat dalam rencana sejumlah perwira-perwira militer untuk mencetuskan G30S ini telah diakui sendiri oleh para pemimpin PKI. Tetapi, tidaklah bisa dikatakan bahwa PKI sebagai partai secara keseluruhan ikut terlibat dalam G30S.

Sampai sekarang, banyak sekali hal yang bersangkutan dengan G30S yang masih tetap menjadi misteri atau masih merupakan pertanyaan yang belum terjawab secara tuntas. Misalnya : sampai di manakah kebenaran berita bahwa Dewan Jenderal mau mengadakan kudeta? Siapakah sebenarnya Syam Kamaruzaman itu? Apakah Suharto sudah mengetahui rencana G30S? Sampai di manakah CIA tersangkut dalam peristiwa ini? Apa sajakah peran Bung Karno dalam menghadapi G30S dan sesudahnya?


ARTI TERGULINGNYA BUNG KARNO DAN HANCURNYA PKI

Sedikit demi sedikit, dan berangsur-angsur, sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan itu sudah mulai ada jawabannya. Meskipun masih banyak soal G30S yang belum jelas benar duduk perkaranya, tetapi satu hal sudah pasti, yaitu bahwa rezim militer Suharto dkk menjadikan masalah ini sebagai kesempatan untuk menghancurkan PKI dan melalui kehancuran PKI ini untuk kemudian menggulingkan Bung Karno. Dan hal yang sudah pasti lainnya, yalah bahwa hancurnya kekuatan PKI dan jatuhnya Bung Karno adalah merupakan “kemenangan” kubu imperialis, yang diketuai oleh AS.

Jadi, sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa dalam meninjau masalah G30S kita harus juga berusaha memperhitungkan faktor Bung Karno. Sebab, akhirnya, nasib Bung Karno terkait erat juga dengan peristiwa G30S ini. Para pendukung rezim militer Suharto memberi julukan “Gestapu Agung” kepada Bung Karno, dan kemudian digulingkan dari kedudukan beliau sebagai presiden. Beliau telah dikenakan tahanan rumah secara ketat, sesudah dijadikan sasaran demontrasi yang terus-menerus digerakkan oleh pimpinan Angkatan Darat. Bung Karno, panglima tertinggi ABRI, meninggal dalam tahanan Angkatan Darat sesudah mengalami berbagai siksaan batin dan jasmani.

Rezim militer Suharto dkk – yang didukung oleh Angkatan Darat dan Golkar sebagai tulang-punggung – telah bertindak secara amat kejam dalam menumpas kekuatan PKI. Dengan tujuan utama menyingkirkan Bung Karno dari tampuk pimpinan negara dan bangsa, maka Suharto dkk menghancurkan lebih dahulu kekuatan PKI. Sebab, jelas bahwa sejak akhir tahun 50-an dan permulaan tahun 60-an PKI merupakan kekuatan pendukung politik Bung Karno yang paling gigih ( ingat, antara lain : Manipol, Nasakom, Resopim, Trikora, Dwikora, Indonesia keluar dari PBB). Dan berbagai politik Bung Karno ini pada umumnya, atau pada pokoknya, adalah anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Karena itulah Bung Karno punya cukup banyak musuh, baik di luarnegeri maupun di dalamnegeri.


POLITIK BUNG KARNO ADALAH KIRI

Memang, sikap politik Bung Karno adalah pada pokoknya “kiri”. Politik “kiri” yang dianutnya sejak tahun-tahun mahasiswa inilah yang membikin beliau seorang pejuang nasionalis yang besar. Kebesaran Bung Karno adalah berkat sikap politik beliau yang “kiri”, yang anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, yang pro-rakyat. Sikap inilah yang dipertahankannya sampai terjadinya G30S. Dalam rangka ini perlu dicatat diselenggarakannya Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing –KIAPMA, permulaan Oktober 1965, di Hotel Indonesia Jakarta, yang dibuka oleh Bung Karno. Konferensi internasional ini penyelenggaranya adalah Indonesia dan sasaran utamanya adalah Amerika Serikat.

Jadi, dalam meninjau masalah G30S, di samping menyorotinya dari segi pertentangan antara segolongan Angkatan Darat dan PKI waktu itu, kita perlu sekali memperhitungkan di dalamnya juga faktor Bung Karno dan faktor internasional (baca: perang dingin), yang merupakan latar-belakang yang juga cukup penting. Berbagai aspek G30S punyai kaitan yang erat dengan perang dingin. Karena itu, hancurnya kekuatan PKI dan digulingkannya Bung Karno oleh Suharto dkk adalah peristiwa penting yang menggembirakan bagi negara-negara Barat.

Dari segi inilah kita dapat melihat mengapa dalam jangka lama rezim militer Suharto mendapat simpati, atau dukungan, atau bantuan – dalam berbagai bentuk dan cara – dari negara-negara Barat (terutama AS). Hancurnya kekuatan yang mendukung politik Bung Karno menyebabkan kemunduran besar dalam gelora perjuangan rakyat berbagai negeri melawan imperialisme dan kolonialisme. Itulah sebabnya, selama masa Orde Baru jiwa Konferensi Bandung menjadi loyo atau apinya jadi padam. Rezim militer Suharto dkk membikin akibat G30S sebagai sarana untuk menghapuskan arti penting dan bersejarah Konferensi Bandung. Ini wajar. Sebab semangat Konferensi Bandung adalah justru bertentangan sama sekali dengan tujuan politik rezim militer ini. Semangat konferensi Bandung banyak dijiwai oleh semangat “kiri” Bung Karno.


SUHARTO BUKANLAH PAHLAWAN BANGSA

Dalam mengenang kembali berbagai peristiwa yang berkaitan dengan G30S tahun 1965, sudah tentu saja kita harus menggugat pembunuhan besar-besaran - dan segala macam siksaan yang tidak berperi-kemanusiaan – terhadap jutaan manusia tidak bersalah oleh militer dan para pendukung Suharto dkk . Menggugat masalah ini adalah kegiatan penting untuk mengingatkan bangsa kita supaya kebiadaban besar-besaran yang pernah terjadi di kalangan bangsa kita itu tidak terjadi lagi di kemudian hari. Bukan itu saja. Menggugat berbagai kejahatan Suharto sekitar peristiwa G30S ini juga perlu untuk meyakinkan banyak orang bahwa Suharto dkk bukannya “pahlawan bangsa” yang patut disanjung-sanjung seperti selama puluhan tahun itu.

Sekarang makin banyak bukti yang nyata bagi banyak orang bahwa Suharto bukanlah “bapak pembangunan”, bukan pula Pancasilais sejati. Banyaknya cerita yang berbau busuk sekitar keluarganya (ingat : kasus Ibu Tien, Sigit, Tutut, Bambang, Tommy, Ari, Probosutedjo dll) meyakinkan banyak orang bahwa Suharto adalah seorang kepala keluarga yang tidak pantas dijadikan contoh bangsa. Selama lebih 32 tahun Suharto, yang mengkhianati Bung Karno ini, telah disanjung-sanjung oleh para pendukung Orde Baru.

Sudah terlalu lama G30S telah dijadikan dalih atau alasan oleh Suharto dkk untuk menyebar racun perpecahan, dengan indoktrinasi yang menyesatkan tentang Bung Karno dan pendukung utamanya (PKI). Indoktrinasi ini, yang dijalankan secara besar-besaran dan dalam jangka yang lama sekali, menimbulkan kerusakan mental yang besar sekali. Indoktrinasi lewat buku-buku di sekolah, lewat film dan televisi, lewat ceramah atau seminar dan bermacam-macam kursus, telah membikin “buta” banyak orang. Sampai sekarang, dalam masyarakat kita, masih banyak orang yang terpengaruh oleh indoktrinasi Orde Baru tentang Bung Karno dan PKI ini. Mereka ini terdapat di berbagai partai politik, badan pemerintahan, DPR/DPRD, ornop, kalangan agama (termasuk kalangan Islam).


GUNAKAN 3O SEPTEMBER UNTUK MENGGUGAT ORBA

Sekarang ini terbukalah kesempatan untuk menyajikan kepada bangsa Indonesia hal-hal yang selama ini ditutup-tutupi atau dipalsu oleh Orde Baru mengenai G30S. Kita semua harus berusaha membongkar, sejauh mungkin, latar-belakang peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia ini. Antara lain, kita harus membikin 30 September jadi hari menggugat berbagai kejahatan rezim militer Suharto dkk. Menggugat berbagai kejahatan rezim militer Suharto dkk ini adalah kewajiban kita semua. Ini perlu kita lakukan, demi pelurusan sejarah, demi rekonsiliasi nasional, demi persatuan bangsa, dan demi pendidikan generasi yang akan datang. Generasi muda kita, dan generasi yang akan datang, tidak boleh diracuni oleh segala pembusukan yang telah terjadi selama Orde Baru.

Dalam rangka ini pulalah tulisan kali ini menyambut adanya kegiatan-kegiatan di berbagai tempat di Indonesia untuk menjadikan tanggal 30 September sebagai hari untuk membongkar berbagai kejahatan Orde Baru terhadap peri-kemanusiaan. Di antara kegiatan-kegiatan itu terdapat pertemuan “Mengungkap Tabir '65 » di Jakarta (tanggal 29-30 September) yang diselenggarakan oleh Lakpesdam NU, Yappika, Elsam, SNB, PEC, Pakorba, LPRKROB, LPKP, JKB dll.

« Tabir ’65 » memang harus dibuka. Dan, seluas-luasnya.

Paris, 26 September 2003

Catatan A. Umar Said

MANIFESTO POLITIK MAHASISWA INDONESIA

Menurut suratkabar Suara Pembaruan (6 Januari 2004) delapan organisasi kemahasiswaan mendeklarasikan "Manifesto Politik Mahasiswa Indonesia". Isi manifesto itu antara lain menolak masuknya politisi bermasalah ke lembaga legislatif dan eksekutif.

« Kedelapan organisasi itu adalah Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP-IMM), Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Presidium Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB-HMI), Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (Kammi) Pusat, Pengurus Pusat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).

« Menurut Ketua PMII A Malik Haramain, Senin (5/1), di Jakarta, mereka telah menetapkan sejumlah kriteria untuk menentukan bermasalah atau tidaknya seorang politisi. Kriteria itu antara lain terlibat dalam kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, perusakan lingkungan, kejahatan seksual, narkoba, tindak pidana, malas dan berkinerja buruk, serta penyalahgunaan kekuasaan.

« Berdasarkan kriteria tersebut, Malik menyebutkan Akbar Tandjung dan Wiranto digolongkan sebagai politisi bermasalah. "Kami meminta kedua politisi itu legowo untuk tidak mencalonkan diri menjadi anggota legislatif atau duduk di lembaga eksekutif, sampai ada putusan final terhadap perkara yang kini dihadapi kedua politisi itu," katanya.

« Organisasi mahasiswa yang mengeluarkan manifesto itu, lanjutnya, masih akan terus mengumpulkan data dan membuka posko pengaduan dari masyarakat menyangkut politisi bermasalah, kemudian mengumumkannya secara terbuka kepada masyarakat. "Kami berharap dalam pemilu 2004, masyarakat tidak memilih politisi bermasalah," tegasnya.

« Dalam manifesto itu, mahasiswa juga menolak bercokolnya kembali kekuatan lama, yakni militer, Orde Baru, dan kelompok yang tidak mendukung reformasi. Selain itu, para mahasiswa juga akan melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dengan menginformasikan kriteria kelompok reformis dan antireformis, kelompok orang bermasalah dan Orde Baru, serta mengajak publik untuk menolak dan melawan upaya partai politik melakukan politik uang dan teror politik ». (kutipan dari Suara Pembaruan selesai)

MANIFESTO POLITIK YANG BERSEJARAH

Diumumkannya Manifesto Politik Mahasiswa Indonesia oleh delapan organisasi mahasiswa tersebut merupakan perkembangan penting dalam kehidupan kemahasiswaan, yang pada waktu akhir-akhir ini mengalami semacam « pasang surut », dan karenanya suaranya terasa kurang bergema dalam kehidupan nasional kita. Ini berlainan dengan tahun-tahun 1997 dan 1998, ketika gerakan mahasiswa secara besar-besaran telah merupakan motor pendobrak untuk menggulingkan rezim militer Suharto dkk dan melancarkan reformasi di semua bidang kehidupan negara dan bangsa yang telah dirusak atau dibusukkan oleh Orde Baru.

Manifesto politik mahasiswa Indonesia ini dikeluarkan pada saat yang amat tepat, yaitu ketika bangsa kita sedang menghadapi tugas besar pemilu, dan ketika situasi negeri kita makin menunjukkan keprihatinan yang serius di berbagai bidang, terutama di bidang moral atau akhlak. Ketika bangsa kita sedang menghadapi ekonomi yang sulit, atau utang yang banyak dan pengangguran yang membengkak , para « tokoh » dan para politisi kita kelihatan sibuk sekali mencari segala peluang untuk memperkaya diri dengan korupsi atau kejahatan-kejahatan dalam bentuk lainnya.

Berbagai kesulitan atau kerusakan yang dihadapi oleh bangsa dan negara kita dewasa ini ada hubungannya yang erat dengan membusuknya akhlak atau moral para tokoh dan para politisi kita, yang kebanyakan terdiri dari orang-orang yang dididik atau « dibina » selama puluhan tahun oleh rezim militer Orde Baru. Dari segi ini dapat dilihat betapa pentingnya Manifesto PolitikMahasiswa Indonesia. Dapatlah kiranya dikatakan bahwa Manifesto Politik tersebut adalah termasuk peristiwa yang bersejarah bagi angkatan muda kita.

INVESTASI HARI DEPAN INDONESIA

Sesudah tergulingnya Suharto dari tampuk kekuasaan, banyak orang mengharapkan bahwa berbagai pemerintahan yang menggantikannya akan bisa memperbaiki kerusakan-kerusakan berat yang dibikin oleh rezim mikliter Orde Baru selama 32 tahun. Tetapi, nyatanya, pemerintahan Habibi, Abdurrahman Wahid, dan Megawati-Hamzah sekarang iniu tidak bisa berbuat banyak sekali untuk mendatangkan perobahan-perobahan yang mendasar. Kerusakan dan pembusukan yang ditimbulkan rezim militer ternyata begitu besarnya, sehingga tidak mudah untuk diperbaiki dalam tempo singkat. Di samping itu, sisa-sisa kekuatan Orde Baru masih begitu kuatnya atau begitu luasnya, sehingga kekuatan pro-reformasi atau pro-demokrasi menghadapi banyak kesulitan dalam menjalankan tugasnya.

Dalam situasi menjelang pemilu, di mana partai-partai mulai sibuk mempersiapakan diri dalam perebutan suara, atau dagang sapi yang penuh dengan kongkalikong dan kompromi, atau pencarian dana dengan cara-cara haram dan bathil (korupsi, selingkuh, penyelewengan atau pencurian) itulah dikeluarkan Manifesto Politik inj. Manifesto ini adalah suara generasi muda yang sudah muak (dan marah !) melihat situasi bangsa dan negara yang begitu rusak oleh karena kelakuan atau perbuatan para politisi kita.

Arti penting dan bersejarah Manifesto ini adalah bahwa ini dilahirkan oleh angkatan muda dari berbagai aliran politik dan agama. Ini menunjukkan bahwa gagasan-gagasan besar yang dituangkan dalam Manifesto ini merupakan platform bersama angkatan muda dewasa ini, dan sekaligus juga program kegiatan atau program perjuangan bersama. Tekad bersama yang dicantumkan dalam Manifesto Politik ini merupakan investasi politik (dan moral) yang amat penting dan berharga bagi HARI DEPAN negara dan bangsa kita.

MANIFESTO POLITIK YANG BESAR ARTINYA

Dalam Manifesto Politik ini angkatan muda Indonesia – melalui 8 organisasi mahasiswanya – telah secara tegas dan jelas menolak masuknya politisi yang bermasalah dalam lembaga legislatif dan eksekutif, yaitu orang-orang yang terlibat dalam kasus korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, perusakan lingkungan, kejahatan seksual, narkoba, tindak pidana, malas dan berkinerja buruk, serta penyalahgunaan kekuasaan.

Isi yang juga amat penting dalam Manifesto ini adalah penegasan bahwa mahasiswa juga menolak bercokolnya kembali kekuatan lama, yakni militer, Orde Baru, dan kelompok yang tidak mendukung reformasi. Selain itu, para mahasiswa juga akan melakukan pendidikan politik kepada masyarakat dengan menginformasikan kriteria kelompok reformis dan antireformis, kelompok orang bermasalah dan Orde Baru, serta mengajak publik untuk menolak dan melawan upaya partai politik melakukan politik uang dan teror politik.

Ketegasan sikap dalam menolak bercokolnya kembali kekuatan lama, yakni militer, Orde Baru dan kelompok yang tidak mendukung reformasi, membuktikan bahwa angkatan muda Indonesia (termasuk mahasiswa) lewat Manifesto Politik ini sudah bertekad untuk meninggalkan samasekali atau berpisah dengan « kekuatan lama » ini. Karena, angkatan muda Indonesia melihat bahwa sudah tidak punya harapan lagi bahwa « generasi Orde Baru » (antara lain : generasi KAMI, KAPPI, Pemuda Pancasila, dan berbagai organisasi lainnya yang bernaung di bawah Golkar) masih bisa berbuat sesuatu yang baik atau berguna demi kepentingan bangsa dan negara.

PERLU DAPAT DUKUNGAN YANG LUAS

Mengingat besarnya arti Manifesto Politik dalam menghadapi masalah-masalah besar dan rumit sebelum dan sesudah Pemilu, maka jelas bahwa sudah semestinya kalau seluruh kekuatan pro-demokrasi dan pro-reformasi –tidak peduli dari kalangan yang mana pun atau golongan apa pun – memberi dukungan yang sebesar-besarnya terhadap tekad yang baik dari angkatan muda kita ini. Selain itu, Manifesto Politik ini perlu jadi pegangan bersama bagi berbagai organisasi mahasiswa di seluruh universitas di Indonesia.

Manifesto Politik Mahasiswa Indonesia yang isinya begitu penting adalah pertanda yang menggembirakan bahwa ketika banyak orang sudah pesimis menghadapi banyaknya kerusakan atau kebobrokan di negeri kita, angkatan muda kita mengambil sikap yang tegas dan angkat suara. Dan yang lebih menggembirakan lagi yalah bahwa sikap bersama ini bersifat lintas-partai, lintas-golongan, lintas-agama, dan lintas-ideologi. Ini mencerminkan jiwa dan pandangan Bhinneka Tunggal Ika, yang pada saat-saat ini terasa sangat dibutuhkan..

Manifesto Politik Mahasiswa Indonesia adalah program politik yang besar dari angkatan muda , sebagai perlawanan atau koreksi terhadap generasi Orde Baru atau Angkatan 66 (dan sebagian Angkatan 45). Di sini pulalah terletak kebesarannya, sebagai sumbangan kepada perjuangan selanjutnya generasi yang akan datang.

Paris 9 Januari 2004

Fakta seputar proklamasi

Mungkinkah Revolusi Kemerdekaan Indonesia disebut sebagai revolusi dari kamar tidur? Coba simak ceritanya. Pada 17 Agustus 1945 pukul 08.00, ternyata Bung Karno masih tidur nyenyak di kamarnya, di Jalan Pegangsaan Timur 56, Cikini. Beliau terkena gejala malaria tertiana. Suhu badannya tinggi dan sangat lelah setelah begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda.

Pating greges, keluh Bung Karno setelah dibangunkan de Soeharto, dokter kesayangannya. Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi.

Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta. Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah.

“Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!”, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati. Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih. Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai…

Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor dan tak ada pancaragam. Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sakral yang dinanti-nantikan selama lebih dari tiga ratus tahun!

Bendera Pusaka Sang Merah Putih adalah bendera resmi pertama bagi RI. Tetapi dari apakah bendera sakral itu dibuat? Warna putihnya dari kain sprei tempat tidur dan warna merahnya dari kain tukang soto!

Setelah merdeka 43 tahun, Indonesia baru memiliki seorang menteri pertama yang benar-benar orang Indonesia asli. Karena semua menteri sebelumnya lahir sebelum 17 Agustus 1945. Itu berarti, mereka pernah menjadi warga Hindia Belanda dan atau pendudukan Jepang, sebab negara hukum Republik Indonesia memang belum ada saat itu. “Orang Indonesia asli” pertama yang menjadi menteri adalah Ir Akbar Tanjung (lahir di Sibolga, Sumatera Utara, 30 Agustus 1945), sebagai Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga pada Kabinet Pembangunan V (1988-1993).

Menurut Proklamasi 17 Agustus 1945, Kalimantan adalah bagian integral wilayah hukum Indonesia. Kenyataannya, pulau tersebut paling unik di dunia. Di pulau tersebut, ada 3 kepala negara yang memerintah! Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (memerintah 4 wilayah provinsi), PM Anwar Ibrahim (Sabah dan Serawak) serta Sultan Hassanal Bolkiah (Brunei).

Hubungan antara revolusi Indonesia dan Hollywood, memang dekat. Setiap 1 Juni, selalu diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila semasa Presiden Soekarno. Pada 1956, peristiwa tersebut “hampir secara kebetulan” dirayakan di sebuah hotel Hollywood. Bung Karno saat itu mengundang aktris legendaris Marylin Monroe, untuk sebuah makan malam di Hotel Beverly Hills, Hollywood. Hadir di antaranya Gregory Peck, George Murphy dan Ronald Reagan (25 tahun kemudian menjadi Presiden AS). Yang unik dari pesta menjelang Hari Lahir Pancasila itu, adalah kebodohan Marilyn dalam hal protokol. Pada pesta itu, Maryln menyapa Bung Karno bukan dengan “Mr President” atau “Your Excellency”, tetapi dengan Prince Soekarno!

Ada lagi hubungan erat antara 17 Agustus dan Hollywood. Judul pidato 17 Agustus 1964, Tahun Vivere Perilocoso (Tahun yang Penuh Bahaya), telah dijadikan judul sebuah film The Year of Living Dangerously. Film tersebut menceritakan pegalaman seorang wartawan asing di Indonesia pada 1960-an. Pada 1984, film yang dibintangi Mel Gibson itu mendapat Oscar untuk kategori film asing!

Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah! Anehnya, naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan B. M. Diah. Diah menemukan draft proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik oleh Sajuti Melik. Pada 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.

Ketika tiba di Pelabuhan Sunda Kelapa 9 Juli 1942 siang bolong, Bung Karno mengeluarkan komentar pertama yang janggal didengar. Setelah menjalani pengasingan dan pembuangan oleh Belanda di luar Jawa, Bung Karno justru tidak membicarakan strategis perjuangan menentang penjajahan. Masalah yang dibicarakannya, hanya tentang sepotong jas! “Potongan jasmu bagus sekali!” komentar Bung Karno pertama kali tentang jas double breast yang dipakai oleh bekas iparnya, Anwar Tjikoroaminoto, yang menjemputnya bersama Bung Hatta dan segelintir tokoh nasionalis.

Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini. Saat tentara Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting tersebut, Frans Mendoer, fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka. Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang pun marah besar. Padahal negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman Kantor harian Asia Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada Jepang?

Kali ini, Bung Hatta yang berbohong demi proklamasi. Waktu masa revolusi, Bung Karno memerintahkan Bung Hatta untuk meminta bantuan senjata kepada Jawaharlal Nehru. Cara untuk pergi ke India pun dilakukan secara rahasia. Bung Hatta memakai paspor dengan nama “Abdullah, co-pilot”. Lalu beliau berangkat dengan pesawat yang dikemudikan Biju Patnaik, seorang industrialis yang kemudian menjadi menteri pada kabinet PM Morarji Desai. Bung Hatta diperlakukan sangat hormat oleh Nehru dan diajak bertemu Mahatma Gandhi. Nehru adalah kawan lama Hatta sejak 1920-an dan Gandhi mengetahui perjuangan Hatta. Setelah pertemuan, Gandhi diberi tahu oleh Nehru bahwa “Abdullah” itu adalah Mohammad hatta. Apa reaksi Gandhi? Dia marah besar kepada Nehru, karena tidak diberi tahu yang sebenarnya. “You are a liar!” ujar tokoh kharismatik itu kepada Nehru

Bila 17 Agustus menjadi tanggal kelahiran Indonesia, justru tanggal tersebut menjadi tanggal kematian bagi pencetus pilar Indonesia. Pada tanggal itu, pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya”, WR Soepratman (wafat 1937) dan pencetus ilmu bahasa Indonesia, Herman Neubronner van der Tuuk (wafat 1894) meninggal dunia.

Bendera Merah Putih dan perayaan tujuh belasan bukanlah monopoli Indonesia. Corak benderanya sama dengan corak bendera Kerajaan Monaco dan hari kemerdekaannya sama dengan hari proklamasi Republik Gabon (sebuah negara di Afrika Barat) yang merdeka 17 Agustus 1960.

Jakarta, tempat diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia dan kota tempat Bung Karno dan Bung Hatta berjuang, tidak memberi imbalan yang cukup untuk mengenang proklamator Indonesia. Sampai detik ini, tidak ada “Jalan Soekarno-Hatta” di ibu kota Jakarta. Bahkan, nama mereka tidak pernah diabadikan untuk sebuah objek bangunan fasilitas umum apa pun sampai 1985, ketika sebuah bandara diresmikan dengan memakai nama mereka.

Gelar Proklamator untuk Bung Karno dan Bung Hatta, hanyalah gelar lisan yang diberikan rakyat Indonesia kepadanya selama 41 tahun! Sebab, baru 1986 Pemerintah memberikan gelar proklamator secara resmi kepada mereka.

Kalau saja usul Bung Hatta diterima, tentu Indonesia punya “lebih dari dua” proklamator. Saat setelah konsep naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia rampung disusun di rumah Laksamana Maeda, Jl. Imam Bonjol no 1, Jakarta, Bung Hatta mengusulkan semua yang hadir saat rapat din hari itu ikut menandatangani teks proklamasi yang akan dibacakan pagi harinya. Tetapi usul ditolak oleh Soekarni, seorang pemuda yang hadir. Rapat itu dihadiri Soekarno, Hatta dan calon proklamator yang gagal: Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. “Huh, diberi kesempatan membuat sejarah tidak mau”, gerutu Bung Hatta karena usulnya ditolak.

Perjuangan frontal melawan Belanda, ternyata tidak hanya menelan korban rakyat biasa, tetapi juga seorang menteri kabinet RI. Soepeno, Menteri Pembangunan dan Pemuda dalam Kabinet Hatta, merupakan satu-satunya menteri yang tewas ditembak Belanda. Sebuah ujung revolver, dimasukkan ke dalam mulutnya dan diledakkan secara keji oleh seorang tentara Belanda. Pelipis kirinya tembus kena peluru. Kejadian tersebut terjadi pada 24 Februari 1949 pagi di sebuah tempat di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Saat itu, Soepeno dan ajudannya sedang mandi sebuah pancuran air terjun.

Belum ada negara di dunia yang memiliki ibu kota sampai tiga dalam kurun waktu relatif singkat. Antara 1945 dan 1948, Indonesia mempunyai 3 ibu kota, yakni Jakarta (1945-1946), Yogyakarta (1946-1948) dan Bukittinggi (1948-1949).

Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia Jenderal Soedirman, pada kenyatannya tidak pernah menduduki jabatan resmi di kabinet RI. Beliau tidak pernah menjadi KSAD, Pangab, bahkan menteri pertahanan sekalipun!

Wayang ternyata memiliki simbol pembawa sial bagi rezim yang memerintah Indonesia. Betapa tidak, pada 1938-1939, Pemerintah Hindia Belanda melalui De Javasche Bank menerbitkan uang kertas seri wayang orang dan pada 1942, Hindia Belanda runtuh dikalahkan Jepang. Pada 1943, Pemerintah Pendudukan Jepang menerbitkan uang kertas seri wayang Arjuna dan Gatotkoco dan 1945, Jepang terusir dari Indonesia oleh pihak Sekutu. Pada 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan uang kertas baru seri wayang dengan pecahan Rp1 dan Rp2,5 dan 1965 menjadi awal keruntuhan pemerintahannya menyusul peristiwa G30S/PKI.

Perintah pertama Presiden Soekarno saat dipilih sebagai presiden pertama RI, bukanlah membentuk sebuah kabinet atau menandatangani sebuah dekrit, melainkan memanggil tukang sate! Itu dilakukannya dalam perjalanan pulang, setelah terpilih secara aklamasi sebagai presiden. Kebetulan di jalan bertemu seorang tukang sate bertelanjang dada dan nyeker (tidak memakai alas kaki). “Sate ayam lima puluh tusuk!”, perintah Presiden Soekarno. Disantapnya sate dengan lahap dekat sebuah selokan yang kotor. Dan itulah, perintah pertama pada rakyatnya sekaligus pesta pertama atas pengangkatannya sebagai pemimpin dari 70 juta jiwa lebih rakyat dari sebuah negara besar yang baru berusia satu hari.

Kita sudah mengetahui, hubungan antara Bung Karno dan Belanda tidaklah mesra. Tetapi Belanda pernah memberikan kenangan yang tak akan pernah dilupakan oleh Bung Karno. Enam hari menjelang Natal 1948, Belanda memberikan hadiah Natal di Minggu pagi, saat orang ingin pergi ke gereja, berupa bom yang menghancurkan atap dapurnya. Hari itu, 19 Desember 1948, ibu kota Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.

Sutan Sjahrir, mantan Perdana Menteri RI pertama, menjadi orang Indonesia yang memiliki prestasi “luar biasa” dan tidak akan pernah ada yang menandinginya. Waktu beliau wafat 1966 di Zurich, Swiss, statusnya sebagai tahanan politik. Tetapi waktu dimakamkan di Jakarta beberapa hari kemudian, statusnya berubah sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

(disari dari berbagai sumber)

M. Fajrin

Litsus DPC GMNI Kota Pontianak

GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS

Tan Malaka –lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka—menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang –Sumatra Barat—Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.

Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris.

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”

Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.

Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya. Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. (Bek)

BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG, BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP !

(TAN MALAKA)

Biro Sejarah Bangsa GMNI Kota Pontianak

GERAKAN REVOLUSIONER UNTUK
MENUNTASKAN REFORMASI

(Oleh : A. Umar Said)

(Sekedar pengantar : Mohon perhatian bahwa berhubung dengan adanya berbagai reaksi atau tanggapan - yang merangsang semangat - terhadap tulisan _ Cegah neo-Orde Baru dan blejeti terus GOLKAR _, maka tulisan yang kali ini berusaha untuk menyajikan sejumlah bahan renungan lainnya sekitar topik ini).

Kiranya, adalah wajar kalau di antara kita banyak yang limbung atau bingung dalam memikirkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh negara dan bangsa kita dewasa ini. Beraneka-ragam problem serius terdapat di berbagai bidang, dan bertumpuk-tumpuk serta tumpang-tindih tidak karuan lagi. Semua persoalan kelihatan urgen dan menuntut pemecahan segera. Dan, karenanya, tidak begitu jelas lagi, mana yang lebih dulu harus ditangani, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, mau pun kebudayaan. Semua ada kait-mengaitnya, sehingga sulit ditemukan mana yang ujung dan mana yang pangkal. Di samping itu, ada pertanyaan yang sulit dijawab dengan sederhana dan pasti : gerangan, apa sajakah yang menjadi sumber itu semuanya?

Mungkin, karena di antara kita banyak yang disibukkan oleh pekerjaan untuk mencari nafkah masing-masing, atau oleh kegiatan praktis yang macam-macam, maka sering sekali tidak sempat untuk merenungkan dalam-dalam berbagai persoalan-persoalan serius dan besar yang sedang dihadapi bangsa dan negara dewasa ini. Padahal, bangsa ini sedang sakit keras. Dan, keadaannya gawat. Sehingga banyak orang tidak bisa lagi meramalkan apa saja yang akan terjadi. Ada juga yang menghitung-hitung berbagai kemungkinan yang akan menimpa rakyat yang berjumlah 210 juta orang ini.

Betapa tidak ? Sekarang ini diperkirakan sekitar 40 juta orang menganggur. Utang luarnegeri sekarang sudah melebihi 142 milyar $US. Di seluruh Indonesia sekarang ditaksir ada 1 juta orang yang mengungsi dari tempat tinggal mereka. Urusan penyelesaian sejumlah besar bank-bank yang ambruk dan dirundung utang masih macet. Kasus Bank Bali yang bikin kacau elite politik dan ekonomi juga belum jelas juntrungnya. Persoalan Bob Hasan, Texmaco, Prayogo Pangestu, Group Salim masih diliputi berbagai tanda tanya. Peristiwa Semanggi, 27 Juli, Tanjung Priok perlu diusut dan dituntaskan terus. Jutaan ex-tapol beserta keluarga mereka masih harus direhabilitasi (harap catat: mereka tidak bersalah!). Sejarah palsu versi Orde Baru perlu direvisi atau dikoreksi. Rakyat Aceh makin gencar menuntut kemerdekaan. Demikian juga di Irian Jaya. Sedangkan di Maluku jiwa orang masih melayang terus, sementara puluhan ribu rumah menjadi sasaran pengrusakan dan pembakaran. Pers juga menyiarkan tentang ruginya Pertamina, tentang utang PLN dan Garuda. Juga dipersoalkan terus masalah pengadilan Suharto. Sedangkan (ketika tulisan ini sedang diketik) Tommy masih terus jadi buronan __.!!!

MESIN BIROKRASI YANG DIBANGUN PULUHAN TAHUN

Melihat begitu banyaknya persoalan besar dan gawat yang harus diselesaikan oleh bangsa kita, maka patut-patut sajalah kiranya kalau banyak di antara kita - mungkin sama halnya, seperti Anda sendiri juga _ yang jengkel, marah, kecewa, dan prihatin. Ada orang-orang yang menjadikan Gus Dur sebagai _kambing hitam_ dari masih terbengkalainya penyelesaian begitu banyak persoalan-persoalan serius itu semua. Tetapi, ada juga yang beranggapan bahwa problem besar dan gawat memang terlalu banyak, sebagai warisan sistem politik Orde Baru yang sudah berjalan lebih dari 32 tahun. Karena itu pulalah maka reformasi berjalan tersendat-sendat, bahkan mandeg atau macet di sana-sini.

Kiranya, bisa dibenarkan adanya kritik atau pendapat bahwa Gus Dur mempunyai kelemahan-kelemahan dalam melaksanakan tugasnya sebagai presiden, bahkan juga kesalahan-kesalahan. Tetapi, agaknya, bisa juga dibenarkan pendapat yang mengatakan bahwa problem-problem serius memang sudah begitu bertumpuk-tumpuk sejak lama, sehingga sulit bagi siapa pun untuk bisa menyelesaikannya sekaligus atau serentak, apalagi dalam waktu yang singkat. Ibarat penyakit parah yang sudah menjangkiti seseorang selama lebih dari 32 tahun, untuk menyembuhkannya secara tuntas diperlukan pula proses yang sepadan.

Apalagi, kalau diingat bahwa struktur kekuasaan pemerintahan Gus Dur sebenarnya masih bertumpu sepenuhnya pada birokrasi lama Orde Baru, baik di tingkat pemerintahan pusat, maupun sampai di daerah-daerah (propinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan sampai kelurahan). Sesudah jatuhnya Suharto dan Habibi dari pucak pimpinan pemerintahan, birokrasi yang dibangun oleh Orde Baru ini boleh dikatakan masih utuh dan tidak mengalami perobahan yang signifikan (kecuali dihapuskannya Departemen Penerangan dan Sosial dan dipisahkannya Polri dari ABRI). Bagi mereka yang hidup di daerah-daerah, kenyataan ini kelihatan menyolok sekali. Dan, patutlah sama-sama kita ingat bahwa birokrasi Orde Baru ini, yang jumlahnya jutaan pegawai, telah dibangun selama puluhan tahun, melalui cara-cara _spesial_ (contohnya : ketentuan memakai uniform, upacara pemasangan bendera dan appel, penataran _Pancasila_ dan indoktrinasi lainnya, keharusan masuk Korpri dll). Pengamatan teliti tentang soal ini menunjukkan bahwa dengan cara-cara semacam itu, maka terciptalah selama puluhan tahun semacam mono-loyalitas jajaran birokrasi kepada GOLKAR. Mono-loyalitas ini telah dirajut dengan indoktrinasi, intimidasi, paksaan, rayuan, kebohongan politik, dan juga penyalahgunaan agama.

KERUSAKAN MORAL YANG PARAH

Dalam rentang waktu yang puluhan tahun, rezim militer Suharto dkk selalu membanggakan pentingnya peran dan dukungan dari jalur ABG (singkatan yang mereka gunakan untuk ABRI, Birokrasi dan Golkar), yang juga merupakan pilar utama Orde Baru. Manunggal-nya ABG inilah yang merupakan mesin kekuasaan raksasa yang telah membunuh kehidupan demokrasi begitu lama di negeri kita, yang menyuburkan korupsi dan kolusi, yang melecehkan hukum, yang menginjak hak asasi manusia dalam skala luas, yang merusak moral bangsa. Ini semua nampak jelas tidak hanya di pusat pemerintahan (Jakarta) saja, melainkan juga sampai di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan kelurahan, di seluruh negeri.

Dari ketinggian sudut pandang yang ini jugalah kita bisa melihat betapa besarnya skala tugas bersama kita untuk memperbaiki moral bangsa. Apalagi, kalau kita renungkan dampak kerusakan-kerusakan itu di bidang pendidikan. Bukan saja sebagian besar generasi muda zaman Orde Baru telah terkontaminasi oleh segala macam racun pola berfikir Orde Baru, melainkan juga mereka menjadi kader-kader, atau tokoh-tokoh muda, yang terseret ke dalam sistem yang bobrok. Seperti yang sudah ditunjukkan dalam sejarah bangsa-bangsa lain di dunia, sistem politik yang bobrok juga akan menciptakan sistem pendidikan yang tidak baik. Masuk nalar jugalah kiranya bahwa gabungan sistem politik yang bobrok dan sistem pendidikan yang bobrok, dengan sendirinya, akan menghasilkan juga manusia-manusia yang tidak unggul kualitasnya. Dan inilah yang sedang kita saksikan dewasa ini di mana-mana di negeri kita, dengan keprihatinan yang pedih sekali.

Marilah sama-sama kita renungkan yang berikut ini : selama zaman Orde Baru, jiwa asli Pancasila telah dikebiri sehingga dianggap gombal busuk oleh banyak orang; penciptanya (Bung Karno) malah dicap pengkhianat bangsa dan rakyat; kata gotong-royong sudah dijadikan barang yang asing; patriotisme sudah hilang artinya; pengertian revolusi dan revolusioner dijadikan tabu; semboyan _mengabdi kepada rakyat_ dijadikan cemooh; kata reaksioner dicurigai dan buruh diganti dengan karyawan. Pendidikan budi-pekerti tentang nilai kejujuran dan kesederhaan telah dimatikan. Perlombaan pamer yang serba gebyar muncul di mana-mana tanpa mempedulikan kesengsaraan hidup rakyat. Itu semua adalah logis, sebab Orde Baru adalah pada dasarnya, atau secara hakekatnya, adalah anti-rakyat (tarohlah, supaya kedengaran lebih lunak: tidak peduli kepada rakyat).

REFORMASI ADALAH PEKERJAAN RAKSASA

Inti tujuan gerakan reformasi adalah memperbaiki kerusakan-kerusakan yang sudah diwariskan oleh Orde Baru atau merombak segala tatanan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berbau Orde Baru. Tetapi, ini hanya bisa dilaksanakan kalau pola berfikir, kebiasaan, atau praktek-praktek Orde Baru bisa kita bongkar sampai ke akar-akarnya. Reformasi tidak mungkin bisa dilaksanakan dengan sisa-sisa pola berfikir rezim militer Suharto dkk. Jelasnya lagi, reformasi tidak akan bisa dilaksanakan oleh, atau bersama-sama, dengan oknum-oknum yang masih tetap terus menggembol semangat atau jiwa Orde Baru. Adalah omong-kosong belaka, dan adalah nol besar, kalau ada pendukung setia Orde Baru yang berbicara soal pentingnya reformasi. Titik.

Dengan mengamati tingkah-laku berbagai kalangan di beraneka-ragam sektor masyarakat, baik di Pusat (antara lain, dan termasuk di DPR) maupun di daerah-daerah, maka jelaslah bahwa sisa-sisa pola berfikir Orde Baru masih bercokol dalam kepala banyak tokoh-tokoh, sampai sekarang!. Dari sinilah justru kelihatan betapa besarnya, dan juga sulitnya, usaha bersama untuk meng-goal-kan reformasi. Padahal, reformasi adalah syarat mutlak untuk bisa diselesaikannya problem-problem besar dan parah yang diwariskan oleh sistem politik Orde Baru. Tanpa reformasi, tidak mungkin problem-problem yang sudah menggunung itu bisa dipecahkan. Dan, berikut inilah yang mungkin patut kita renungkan bersama : reformasi yang terpenting adalah reformasi mental, atau reformasi cara berfikir, atau juga reformasi moral, atau reformasi budi-pekerti, yang sudah begitu rusak itu. Dan karena kerusakan budi-pekerti itu sudah sangat lama, mendalam dan meluas, maka tidak akan mudah untuk memperbaikinya, apalagi dalam waktu singkat. Reformasi budi-pekerti ini memerlukan waktu yang relatif panjang, dilakukan bersama-sama secara besar-besaran, dan terus-menerus.

SEPULUH GUS DUR ATAU SERATUS MEGA ?

Seandainya kita mau meng-inventarisasi problem-problem di berbagai bidang yang harus diselesaikan oleh bangsa kita, maka mungkin beberapa puluh halaman tidak akan cukup untuk memuatnya. Untuk pekerjaan raksasa ini, seyogyanyalah kalau kita tidak menggantungkan harapan kita akan terlaksananya reformasi hanya dan melulu kepada peran Gus Dur atau Megawati saja. Sebab, 10 Gus Gus Dur atau seratus Megawati, tidak mungkin menyelesaikannya sendirian, dalam waktu singkat, dan dengan aparat birokrasi yang masih diracuni oleh mental Orde Baru. Di samping itu, masih saja ada golongan-golongan dalam masyarakat yang terus mengidap penyakit yang pernah disebarkan selama puluhan tahun oleh Orde Baru,

Oleh karena itu pulalah, perlu kita buang ilusi bahwa dengan Amin Rais atau Akbar Tanjung (atau tokoh-tokoh lainnya), reformasi akan bisa jalan lebih baik. Bahkan, dengan 500 Amin Rais pun reformasi bisa malahan melenceng kesasar ke-arah yang salah, dan menuju jurang kegagalan. Apalagi, dengan Akbar Tanjung! Dengan 1000 Akbar Tanjung, reformasi bahkan bisa berbalik arah dengan kecepatan tinggi, artinya : kembali menuju masa gelap Orde Baru. Dan, kalau sudah begitu, maka celaka dua kalilah bangsa kita. Sebab, pengalaman sudah membuktikan, dan dengan pahit pula, bahwa GOLKAR tidak dapat diharapkan untuk menyelamatkan negara dan bangsa. Bahkan, kebalikannya!!! Titik.

Perjuangan untuk reformasi adalah urusan seluruh bangsa. Dan rakyatlah yang paling membutuhkannya, demi kehidupan yang lebih baik bagi generasi yang sekarang, mau pun bagi yang akan datang. Kalangan atas - dari jenis aliran politik yang mana pun - mungkin saja kurang membutuhkannya, dan karenanya kurang jugalah tekad dan keteguhan untuk memperjuangkannya. Sebab, umumnya mereka sudah mapan, dalam situasi yang bagaimanapun juga (kecuali ribut-ribut dan hiruk-pikuk antar-elite dalam memperebutkan kedudukan dan pembagian rezeki). Apa yang kita saksikan dalam DPR dewasa ini adalah hanya secuwil dari kenyataan keruh yang sesungguhnya. Reformasi yang sungguh-sungguh mengandung syarat-syarat untuk dilaksanakannya demokrasi sepenuhnya, ditegakkanya hukum dan keadilan, dijunjungtingginya hak asasi manusia. Itu semua tidak akan menguntungkan maling-maling besar berdasi, dan juga akan lebih menyempitkan lagi ruang gerak bagi para reformis gadungan serta parasit bangsa lainnya, dalam segala jenisnya.

GERAKAN REVOLUSIONER UNTUK MENUNTASKAN REFORMASI

Sekarang terdengar suara ribut-ribut yang menuntut mundurnya Gus Dur dari kedudukannya sebagai presiden. Tetapi, banyak orang meragukan, apakah kalau diganti dengan orang lain, ada jaminan bahwa banyak soal akan menjadi lebih baik. Atau, apakah reformasi kemudian bisa dituntaskan? Dan orang pun bertanya-tanya siapakah gerangan yang bisa menyelesaikan begitu banyak soal besar dan gawat, yang sebagian terbesar adalah peninggalan Orde Baru itu. Baiklah sama-sama kita ingat bahwa pengertian reformasi adalah : merobah, atau merombak, atau membangun kembali, atau menyusun kembali.

Kalau diteliti benar-benar, dan dengan menyimak latar-belakang sejarah sebelum dan sesudah lahirnya Orde Baru, maka nyatalah bahwa friksi, konflik atau kontradiksi, yang dewasa ini muncul dalam berbagai bentuk dan di beraneka-ragam bidang, adalah tetap merupakan pertentangan antara kekuatan pro-rakyat melawan kekuatan anti-rakyat. Dengan kalimat lain, antara kekuatan pro-reformasi dan pro-status quo (baca: kekuatan pro-Orde Baru, dalam segala bentuknya dan kadar kekentalannya).

Karena reformasi adalah urusan bersama rakyat dan bangsa, dan karena reformasi tidak bisa - dan tidak boleh - diserahkan semata-mata dan mentah-mentah di tangan kaum atasan saja, maka agaknya sudah benarlah sikap berbagai organisasi dalam masyarakat (gerakan pemuda, mahasiswa, LSM, yayasan dll) untuk menjadikan tuntutan reformasi sebagai salah satu kegiatan utama mereka. Ketika dari pemerintah, dari lembaga-lembaga resmi, dari DPR dan DPRD dll tidak bisa lagi diharapkan adanya kesungguhan mereka untuk memperjuangkan reformasi, maka bendera perjuangan ini harus direbut oleh gerakan massa yang luas.

Hasil gerakan reformasi, yang pernah dikobarkan beberapa tahun oleh perjuangan mahasiswa, (sehingga Suharto dan Habibi tumbang), sekarang mulai diserobot dan diperebutkan oleh tokoh-tokoh reformis gadungan. Di tangan politisi dan tokoh-tokoh masyarakat semacam mereka itulah gerakan reformasi sudah mulai dibelok-belokkan arahnya. Bukan ke arah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan parah yang sudah ditimbulkan Orde Baru, dan bukan pula untuk memperbaiki kehidupan rakyat banyak, tetapi untuk tujuan sempit yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok mereka masing-masing.

Di tengah-tengah kekelaman kabut yang menyelimuti agenda gelap para reformis gadungan inilah reformasi menghadapi bahaya kemacetan atau kehancuran. Oleh karena itu, sudah waktunyalah kiranya bagi gerakan massa extra-parlementer, yang luas dan besar-besaran, yang lintas-aliran politik, yang lintas-agama dan lintas-suku, untuk lebih menggalakkan lagi aksi-aksinya. Gerakan reformasi extra-parlementer yang luas dan besar-besaran ini harus bertujuan untuk melindungi kepentingan rakyat banyak, dan menjaga persatuan bangsa. Gerakan revolusioner reformasi ini adalah gerakan politik yang sekaligus juga gerakan moral, untuk memperjuangkan hak asasi manusia. Artinya, suatu perjuangan bersama demi kepentingan kita semua, sebagai sesama warnegara, dan sebagai sesama Manusia.

Paris, musim dingin

BHINNEKA TUNGGAL IKA" KITA

MENGHADAPI BAHAYA !

(Oleh : A. Umar Said)

Tulisan ini adalah sekedar _urun rembug_ dan sekaligus juga merupakan ajakan, untuk bersama-sama, mencoba merenungkan gejala-gejala berbahaya yang akhir-akhir ini muncul di tanah-air kita. Bangsa kita sedang melalui masa transisi, dengan berusaha meninggalkan masa panjang yang kelam selama lebih dari tiga puluh tahun, menuju ke arah yang menjadi idaman kita bersama, yaitu kehidupan demokratik bagi rakyat, kemajuan ekonomi yang bisa dinikmati oleh sebagian terbesar bangsa kita, kestabilan keamanan yang bisa mengayomi seluruh warganegara republik kita.

Tetapi, dengan amat sedih _ dan perasaan was-was _ banyak di antara kita dewasa ini menyaksikan bahwa harapan akan datangnya perbaikan di berbagai bidang itu masih jauh, di ufuk sana! Ternyata, (dan ini kelihatan jelas sekali di banyak bidang), bahwa kekuatan Orde Baru masih cukup kuat. Dan, mereka tidak diam. Karena itu, tidak boleh diremehkan atau dianggap enteng saja. Seperti yang bisa kita baca dalam media pers setiap hari, banyak orang mendapat kesan bahwa reformasi, yang menjadi tuntutan angkatan muda sebelum dan sesudah jatuhnya Suharto dalam tahun 1998, berjalan lambat, pincang, bahkan sudah macet.

Kekuatan Orde Baru ini bukan hanya terdapat di kalangan militer (terutama TNI-AD), tetapi juga di kalangan birokrasi (pemerintahan), dan bukan hanya di Jakarta saja, tetapi juga (dan bahkan, terutama !) di tingkat propinsi, kabupaten, bahkan kecamatan. Dan gejalanya bukan hanya tercermin pada masih megahnya kantor-kantor Golkar, dan bukan pula pada masih banyaknya papan-papan nama Korpri, Darmawanita dll, yang sampai sekarang masih_ bersemarak_ di seluruh Indonesia. Gejala yang paling menyolok adalah yang berikut ini : _kultur_ Orde Baru_ yang masih berakar kuat dalam fikiran banyak orang, terutama di kalangan _elite_. Ini bisa kita saksikan dalam ucapan dan tingkah laku politik sebagian besar anggota DPR, MPR, tokoh-tokoh berbagai partai politik dan kalangan agama, dalam menghadapi berbagai masalah gawat dan pelik yang dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini..

Ketika berseliweran berbagai perbenturan kepentingan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, atas nama agama atau Tuhan, atas nama bangsa, atas nama tegaknya hukum atau keadilan, maka penting sekali bagi kita semua untuk tidak kesasar dalam membaca situasi yang semrawut seperti sekarang ini. Pada intinya, sekarang ini, sedang berkecamuk _ baik secara terbuka maupun tertutup, dan, dalam berbagai bentuk pula - perjuangan yang sengit antara kekuatan pro-rakyat atau pro-reformasi berhadapan dengan sisa-sisa kekuasaan politik Orde Baru. Artinya, antara berbagai golongan dalam masyarakat (mohon catat : jadi, bukan hanya mereka yang pro-PKI atau pro-Bung Karno saja, yang anggota keluarga mereka dibunuhi, atau dikucilkan, dipersekusi, selama puluhan tahun) menghadapi kekuatan laten pendukung-pendukung Suharto dkk. Kita menyaksikan bahwa mereka yang tadinya pernah tertipu oleh indoktrinasi rezim militer, sekarang juga ikut dalam perjuangan, karena menyadari betapa jahatnya sistem politik yang lama. Dan, jumlah mereka yang begitu itu cukup banyak.

PERJUANGAN INI AKAN PANJANG

Mengingat itu semua, seyogyanyalah kita menanamkan persiapan mental : perjuangan ini akan makan waktu panjang! Sebab, dari pengamatan perkembangan situasi akhir-akhir ini, jelaslah bahwa kita harus mencampakkan ilusi bahwa sesudah Suharto dkk tumbang, maka tugas kita bersama untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan besar yang telah dibuat rezim Orde Baru akan bisa berjalan mulus dan cepat. Nalarnya begini: Suharto dkk (sekali lagi baca : pimpinan TNI-AD, Golkar, dan sebagian kalangan Islam) telah mengangkangi sambil sekaligus mengobrak-abrik tatanan negara kita selama lebih dari 32 tahun, artinya, lebih dari separoh umur republik kita!

Hiruk-pikuk akrobasi politik yang sedang digelar oleh para reformis gadungan dan pendukung-pendukung gelap Orde Baru di DPR, MPR dan oleh berbagai tokoh masyarakat dewasa ini, kiranya dapat dilihat dengan kaca-mata yang demikian itu. Artinya, bahwa sisa-sisa kekuatan Orde Baru masih kuat, dan juga mampu membikin onar politik, dan makin menambah banyaknya kekisruhan yang sudah bertumpuk-tumpuk sebagai warisan zaman gelap itu. Itu semua dengan tujuan untuk menggulingkan Gus Dur, dan merebut kembali kekuasaan politik. Jadi, bahaya restorasi Orde Baru (dalam kemasan baru tetapi dengan isi yang itu-itu juga) adalah nyata.

Karena itu, adalah kewajiban kita bersama untuk waspada dan siap-siap untuk menghadapi adanya _arus balik _. Demi kelanjutan reformasi, seluruh kekuatan pro-rakyat dan pro-demokrasi perlu memobilisasi diri untuk mencegah kelahiran Orde Baru edisi kedua. Tantangannya berat, dan risikonya juga besar. Sedikit kemajuan kehidupan demokrasi (kemerdekaan pers dan kebebasan berpolitik), yang sudah direbut oleh rakyat akhir-akhir ini, akan bisa lepas, kalau bahaya restorasi Orde Baru ini tidak kita cegah bersama-sama.

Edisi kedua Orde Baru, dalam bentuknya yang bagaimanapun, berarti kemunduran ke belakang yang panjang bagi rakyat yang mendambakan perobahan-perobahan mendasar. Penderitaan yang berkepanjangan akan bisa terulang lagi. Cukuplah sudah kiranya bangsa kita mengalami malapetaka yang bernama Orde Baru!. Terulangnya, sekali lagi, walaupun dengan bentuk baru, akan makin membikin negara lebih porak-poranda lagi. Pedoman besar bangsa kita Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika akan, seperti yang sudah-sudah selama kekuasaan rezim militer Suharto dkk, akan dikentuti saja oleh para penguasa baru.

Pengalaman di masa-gelap yang lalu membuktikan bahwa pembodohan politik (dan perusakan moral!) yang dijalankan secara besar-besaran oleh kekuasaan yang lama itu telah membikin banyak orang lupa - atau bahkan tidak mengerti - tentang kebesaran arti kedua pedoman besar kita itu. Memang, seperti kita saksikan di mana-mana, lambang Bhineka Tunggal Ika banyak dipasang di kantor-kantor atau gedung-gedung, baik yang pemerintah atau pun swasta. Tetapi, kita juga bisa mengamati bahwa lambang negara dan bangsa yang agung itu hanyalah dijadikan pajangan saja, yang tidak mempunyai arti apa-apa.

Kenyataan ini bukan saja memprihatinkan, tetapi juga menyakitkan hati. Sebab, justru begitu banyak politik atau _kebijakan_ Orde Baru telah terang-terangan di bikin dalam ruangan-ruangan yang dihiasi oleh Bhineka Tunggal Ika. Seolah-olah, segala kejahatan Orde Baru telah di buat dengan _kesaksian_, atau _pengayoman_ atau _restu_ sang Bhineka Tunggal Ika. Dan ini merupakan kejahatan ganda. Sebab, begitu banyak politik Orba yang ternyata terang-terangan bertentangan dengan jiwa atau isi yang dikandung dalam Bhineka Tunggal Ika. Dalam bahasa yang polos, Orde Baru telah mengkhianati, atau melecehkan, atau merusak jiwa besar yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika.

PERSATUAN DALAM KERAGAMAN

Seperti yang kita fahami atau hayati, Bhineka Tunggal Ika mengandung pesan : berbeda-beda tetapi satu, bersatu dalam perbedaan, kesatuan dalam keragaman. Wawasan agung inilah yang telah ditegakkan oleh para pejuang kemerdekaan dan para pembangun bangsa Indonesia dalam tahun 20-an. Dengan menyimak lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengan lambang negara kita itu, maka makin jelas pulalah keagungannya. Penjelasannya adalah, antara lain, yang berikut :

Penduduk Republik Indonesia berjumlah sekitar 210 juta orang, yang terdiri dari sekitar 300 suku, dan yang menggunakan sekitar 580 bahasa dan dialek. Mereka menghuni 6000 pulau dari seluruh jumlah kepulauan sebesar 17 508 pulau. Di antara penduduk yang begitu besar itu (ke-4 di dunia) kira-kira 87% memeluk agama Islam, 6% agama Protestan, 3% agama Katolik, 2% agama Hindu, 1% agama Budha, dan selebihnya memeluk berbagai kepercayaan.. Luas wilayahnya (darat dan laut) dari Sabang ke Merauke bisa menutupi seluruh Eropa, dari London sampai pegunungan Ural.

Kalau melihat angka-angka tersebut di atas maka nyatalah bahwa bangsa Indonesia memang terdiri dari beraneka ragam suku, agama (atau kepercayaan), adat-istiadat, kebiasaan hidup sehari-hari, dan berbagai aspek lainnya.

Dari sejarah kita mengetahui bahwa gerakan politik rakyat untuk melawan kolonialisme Belanda, telah mempersatukan atau menyatukan berbagai golongan, suku dan agama, dan aliran politik dalam semangat Sumpah Pemuda dalam tahun 1928, yang mengikrarkan : _satu bangsa, satu tanah-air dan satu bahasa_.

Dari sudut pandang inilah kiranya kita bisa menilai betapa besarnya arti lambang Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan produk perjuangan yang begitu panjang oleh para perintis kemerdekaan dan pejuang pembebasan nasional. Dan dari sudut pandang itu pulalah kita bisa mengukur betapa besar kerusakan yang telah disebabkan oleh rezim militer Orde Baru. Akibat kesalahan-kesalahan politik itulah yang sekarang sedang kita warisi dewasa ini, umpamanya : berbagai gejolak di daerah-daerah yang menginginkan kemerdekaan, tuntutan otonomi yang lebih luas (catatan : tuntutan ini adil!), ketidak-percayaan kepada Pemerintah Pusat, pertentangan antar-suku dan antar-agama.

Ketika membaca bagian di atas, mungkiin ada orang yang menyeletuk bahwa Orde Baru telah bisa berhasil mempersatukan bangsa atau menjaga kesatuan negara kita selama 32 tahun. Terhadap ungkapan orang yang semacam ini patutlah kiranya dijawab bahwa persatuan bangsa atau kesatuan negara selama itu adalah sebenarnya semu, dan di dasarkan pada ancaman ujung bayonet. Persatuan yang sungguh-sungguh (artinya, bukan semu) tidak mungkin dibangun oleh suatu diktatur militer. Jadi, singkatnya, dan pada intinya, kekuasaan militerlah (dalam hal ini, sekali lagi, TNI-AD) yang merusak Bhineka Tunggal Ika.

Dan sekarang ini, kekuatan-kekuatan gelap Orde Baru beserta reformis gadungan sedang berusaha untuk tampil lagi di panggung kekuasaan politik. Mereka sedang melakukan berbagai kegiatan (baik terbuka maupun tertutup) untuk menimbulkan berbagai keruwetan politik dan keonaran, untuk menggulingkan Gus Dur. Menghadapi bahaya ini, seluruh kekuatan pro-reformasi dan pro-demokrasi perlu mengatur barisan dan mempersatuan kekuatan untuk melawannya. Sebab, betapapun merdunya nyanyian yang mereka dendangkan, adalah omong kosong besar kalau para reformis gadungan akan bisa, atau akan mau, melaksanakan reformasi secara tuntas dan sungguh-sungguh.

Reformasi berarti talak-tiga dengan fikiran, praktek, mental atau _kultur_ Orde Baru. Reformasi yang sungguh-sungguh tidak mungkin dilakukan oleh para reformis gadungan yang bersekongkol dengan kekuatan-keuatan gelap Orde Baru. Karenanya, reformis gadungan ini harus tetap terus dijadikan sasaran serangan besar-besaran yang dilancarkan oleh kekuatan demokrasi dan pro-reformasi. Sebab, mereka ini sama berbahayanya dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru yang masih bersembunyi di mana-mana. Bahkan mungkin lebih berbahaya, sebab mereka bisa menipu dengan topeng yang molek.

Dengan menggelar berbagai kegiatan - dan keonaran _ untuk menggulingkan Gus Dur, pada hakekatnya kaum reformis gadungan ini sedang menyatukan diri dengan kepentingan Suharto dkk. Sebab, kalau seandainya Gus Dur bisa digulingkan, maka kekuatan-kekuatan gelap Orde Baru akan mendapat peluang yang besar untuk melanjutkan kejahatan mereka terhadap rakyat dan negara. Dengan kalimat lain, kalau Gus Dur bisa digulingkan, maka bahaya restorasi Orde Baru mungkin akan bisa menjadi kenyataan.

DENGAN ATAU TANPA GUS DUR, BERJUANG TERUS

Tetapi, apakah Gus Dur akan bisa mereka gusur? Berbagai faktor, termasuk yang tidak bisa disangka-sangka terlebih dulu (unexpeted factors, yang sering terjadi dalam sejarah) akan menentukannya. Namun, berbagai hal sudah bisalah kiranya kita jadikan bahan pertimbangan. Faktor dalam negeri memang merupakan faktor penting, tetapi dalam situasi yang sedang dihadapi negeri kita dewasa ini, faktor luarnegeri juga tidak kalah pentingnya. Imbangan kekuatan dalamnegeri (termasuk opini umum) masih akan naik turun, dalam kaitan dengan gencarnya serangan-serangan dari kubu anti-Gus Dur (yang pada dasarnya anti-reformasi ), dengan menggunakan berbagai isyu (Buloggate, Brunaigate, kasus penggantian Kapolri dll dll).

Namun, yang jelas adalah bahwa Gus Dur mendapat simpati yang luas, dan dukungan yang solid, dari dunia internasional. Banyak negeri di dunia melihat pada sosok Gus Dur sebagai seoarang demokrat, yang menghargai hak asasi manusia, yang punya toleransi besar antar-agama dan antar-suku. Di dalamnegeri sendiri, tidak kecil jumlah orang yang menganggap Gus Dur sebagai pemersatu bangsa, yang mengayomi minoritas agama atau suku. Pada diri Gus Dur orang bisa melihat cemerlangnya lambang Bhineka Tunggal Ika yang sudah dicoreng-moreng oleh Orde Baru. Dalam hal-hal itu semua, Gus Dur berada di posisi yang jauh di depan Amien Rais dan sebangsanya, yang sekarang berusaha, dengan segala cara, untuk mendongkelnya.

Peta situasi politik di Indonesia masih dinaungi oleh kabut gelap, dan kita tidak bisa meramalkan kapan dan bagaimana prahara akan terjadi. Apapun yang akan terjadi, satu hal sudah jelas : kekuatan pro-reformasi harus menggunakan ruang demokrasi yang terbuka sekarang ini untuk terus mengembangkan kekuatannya. Segala fihak, tanpa pandang bulu tentang suku, agama, ras, aliran politik, perlu menyadari bahwa reformasi harus jalan terus, baik dengan atau tanpa Gus Dur. Untuk itu, berbagai bentuk kegiatan aksi aksi untuk membela kepentingan rakyat perlu digelar terus, sebagai persiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam masa datang.

Paris, musim gugur, 22 Oktober 2000

ARTIKEL VI

MENGAPA BUNG KARNO PERLU KITA KENANG

KEMBALI DEWASA INI

Oleh :A. Umar Said

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO

P.S. Penulis adalah salah seorang yang ikut mengumpulkan tanda-tangan di Budapest tahun 1962, dan menjadi anggota Panitia Pusat KWAA di Jakarta.

Peringatan Seabad HUT Bung Karno makin mendekat juga! Sekarang ini, kita semua masih belum bisa meramalkan bagaimana situasi negara dan bangsa kita, ketika hari yang bersejarah itu diperingati nantinya. Sebab, ketika tulisan ini dibuat, suasana di negeri kita sedang diliputi oleh pertentangan sengit antara berbagai golongan politik dan permusuhan tajam antara beraneka-ragam kelompok suku dan agama. Para anggota DPR dari berbagai fraksi atau partai politik mengeluarkan ucapan-ucapan yang mencerminkan betapa rusaknya moral politik di kalangan “elite”, sedangkan di kalangan eksekutif juga banyak hal yang dipersoalkan oleh opini publik. Di kalangan judikatif, sisa-sisa kerusakan berat yang dibuat oleh Orde Baru masih terus merupakan halangan besar ditrapkannya hukum. Hiruk-pikuk sekitar perlu dijatuhkannya Presiden Abdurahman Wahid atau tidak, telah membuka tabir bahwa masih banyak sekali tokoh-tokoh berbagai golongan yang dihinggapi penyakit-peyakit parah yang diwariskan oleh Orde Baru.

Begitu hebatnya kekacauan yang yang disebabkan oleh pertarungan di antara beraneka-ragam golongan dan kalangan “elite” itu, sehingga banyak orang bertanya-tanya mengapa keadaan yang begitu parah ini bisa terjadi. Sebagian orang membandingkan dengan situasi di bawah kepemimpinan Bung Karno, baik selama sebelum kemerdekaan, selama revolusi 1945-1949, maupun setelah Bung Karno menjadi kepala negara sampai 1965. Pada waktu itu, tidak pernah terjadi permusuhan antar-golongan dan antar-agama yang begitu hebat seperti sekarang ini. Bagi mereka yang pernah mengalami zaman kepemimpinan Bung Karno (yang jumlahnya masih banyak, walaupun kebanyakan sudah menginjak usia lanjut) masih terkenang betapa bersatunya rakyat dan bangsa menghadapi berbagai kesulitan, termasuk dalam menghadapi musuh-musuh dalamnegeri maupun luarnegeri waktu itu.

Semangat perjuangan dan persatuan rakyat yang dibangun oleh Bung Karno dkk sejak zaman kolonialisme Belanda, dapat terus berkobar selama puluhan tahun. Semangat berbakti kepada kepentingan rakyat, dan semangat bersedia berkorban demi kepentingan tanahair tetap terus menyala di bawah kepemimpinannya. Seluruh bangsa yang terdiri dari banyak suku merasa satu dalam perjuangan, dan semangat untuk mengabdikan diri kepada kepentingan bersama bukanlah omongkosong saja. Semangat gotong-royong dalam menghadapi berbagai kesukaran bangsa menjadi ciri utama pada periode itu. Kemewahan kebendaaan bukanlah menjadi kebanggaan yang utama di kalangan masyarakat. Korupsi adalah dianggap noda besar bagi opini publik. Jarang ada pejabat yang jadi penjahat.

Banyak orang yang masih ingat, bahwa walaupun kehidupan waktu itu sulit (yang disebabkan oleh berbagai faktor dalamnegeri dan intervensi subversif kekuatan asing), tetapi rakyat merasa satu dengan kepemimpinan nasional Bung Karno. Karena, baik Bung Karno sendiri maupun banyak pendukung-pendukung politiknya mengutamakan kepentingan rakyat, tidak elitis, tidak korup, tidak mengejar kemewahan bagi pribadi mereka masing-masing.

BEDANYA DENGAN ZAMAN ORDE BARUNYA SUHARTO DKK

Ketika kita sekarang ini dihadapkan kepada begitu banyak persoalan rumit, yang merupakan reruntuhan atau puing-puing kebobrokan yang ditinggalkan Orde Baru, maka nampak sekalilah perbedaan besar antara zaman kepemimpinan Bung Karno dan sesudahnya. Yang amat menyolok adalah perbedaan besar di bidang sikap mental atau kehidupan moral para “tokoh” di berbagai kalangan (yang kemudian juga berdampak besar kepada kehidupan masyarakat). Kerusakan moral besar-besaran dan parah inilah merupakan salah satu di antara sejumlah sumber utama bagi timbulnya berbagai persoalan besar yang dihadapi negara dan bangsa kita dewasa ini. Sekarang, makin banyak orang yang yakin bahwa Orde Baru telah membuat berbagai kesalahan parah di banyak bidang, tetapi, masih banyak orang yang tidak melihat bahwa kerusakan yang paling besar yang dibuat oleh Orde Baru adalah justru adalah di bidang moral ini.

Mohon, marilah, dengan hati jernih, bersama-sama kita renungkan tentang besarnya kerusakan moral di negeri kita, yang sekedar contohnya adalah antara lain sebagai berikut:

- Sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa keluarga Presiden Suharto telah menjadi pusat KKN yang besar-besaran, berjangka-lama, dan bercabang-cabang seperti gurita. KKN keluarga Suharto telah menyeret sederetan panjang sekali nama-nama penting tokoh-tokoh Orde Baru/GOLKAR, baik di bidang eksekutif, legislaif dan judikatif maupun konglomerat hitam. Bahwa kepala negara telah terjerumus – selama tempo begitu lama pula! - dalam lembah yang begitu hina dan kotor, adalah merupakan noda besar dan bangsa. Alangkah besar beda sejarah hidup Bung Karno dengan sejarah hidup Suharto dkk.

- Kerusakan moral keluarga Suharto, telah mengakibatkan kerusakan moral besar-besaran juga di seluruh jajaran kekuasaannya. Tidak salahlah kalau opini dunia memandang Orde Baru adalah sistem politik (atau sistem pemerintahan) yang luar biasa korupnya, dan bahkan menduduki tempat yang paling buruk dalam daftar korupsi di dunia. Betapa tidak! Kalau Mahkamah Agung, pengadilan negeri, kejaksaan, kepolisian dipenuhi oleh pejabat-pejabat yang menjadi penjahat atau maling, maka pastilah hukum tidak bisa ditrapkan dengan baik. Kalau para pegawai negeri yang penting-penting sudah menjadi pemeras atau penipu rakyat (dalam segala bentuk dan cara), maka pantaslah kalau banyak kalangan masyarakat pun ikut-ikutan merusak kepentingan negara. Alangkah besarnya perbedaan dengan sikap aparat negara di zaman kepemimpinan Bung Karno, ketika rasa pengabdian kepada kepentingan rakyat terasa menonjol sekali waktu itu.

- Di zaman kepemimpinan Bung Karno, jarang sekali terdengar adanya pertikaian antar-suku, atau permusuhan antar-agama, atau perbenturan politik yang mengambil proporsi, bentuk atau skala seperti yang terjadi dewasa ini. Pertikaian dan permusuhan saling bunuh yang memakan korban puluhan ribu jiwa di berbagai daerah dewasa ini, dan terjadinya pengungsian penduduk sampai satu juta orang di seluruh Indonesia, adalah suatu fenomena tentang kemunduran besar dalam peradaban bangsa. Artinya, kerusakan moral yang parah sekali. Sebabnya, adalah karena Orde Baru tidak memberikan pendidikan moral toleransi dan kerukunan kepada bangsa, bahkan sebaliknya, merusaknya!

- Alangkah menyedihkannya, bahwa semangat perjuangan dan pengabdian kepada rakyat yang telah dibangun oleh perintis-perintis kemerdekaan sejak Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Sumpah Pemuda dstnya, telah “dimatikan” selama Orde Baru. Alangkah besarnya kerugian bagi bangsa bahwa apa yang telah dirajut oleh Bung Karno sejak tahun 1926 sudah dirusak oleh Suharto dkk. Dan, alangkah besarnya pula dosa para pendiri Orde Baru/GOLKAR, karena apa yang sudah dikerjakan oleh Bung Karno sebagai Kepala Negara dan pemimpin bangsa selama 20 tahun (antara 1945 sampai 1965) telah diporak-perandakan oleh Orde Baru/GOLKAR selama 32 tahun. Sebagai akibatnya, adalah situasi yang seperti kita saksikan bersama dewasa ini.

KEAGUNGAN KEPEMIMPINAN BUNG KARNO MAKIN TERASA

Sekarang, setelah bangsa kita mengalami masa Orde Baru dan sedang mewarisi segala akibat buruk sistemnya, terasa sekali betapa besarnya keagungan kepemimpinan Bung Karno dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya selama ini. Ia besar bukan karena diagung-agungkan oleh para pengagumnya secara artisifial (buatan). Ia betul-betul besar, berkat kepribadiannya yang memang besar, berkat ajaran-ajarannya yang cemerlang baik mengenai masalah-masalah dalamnegeri, maupun yang berkaitan dengan masalah-masalah internasional pada zamannya. Ia dicintai rakyat dan dihormati di luarnegeri, karena gagasan-gagasannya, karena perjuangannya, karena pengabdiannya kepada bangsa.

Sekarang, setelah bangsa kita dihadapkan kepada begitu banyaknya kerusakan-kerusakan parah yang disebabkan oleh peninggalan masa gelap Orde Baru, nyata sekalilah kebenaran berbagai ajaran Bung Karno tentang beraneka-ragam persoalan negara dan bangsa. Dengan membalik-balik lagi buku-buku yang berisi karya-karyanya (yang asli), maka kelihatan memancar kembali keagungan pemikiran-pemikirannya. Bukan hanya yang terungkap dalam Indonesia Menggugat”, atau dalam “Lahirnya Pancasila” saja, melainkan juga yang dituangkannya dalam teks pidato-pidatonya setiap tanggal 17 Agustus. Manifesto politik (Manipol) Bung Karno dalam tahun 1959 adalah satu rentetan berbagai gagasan-gagasannya yang besar untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa dan negara waktu itu, baik secara nasional maupun internasional (mohon baca kembali : Dibawah Bendera Revolusi, jilid dua).

Sekarang, setelah jutaan orang yang tidak bersalah telah dibunuh secara sewenang-wenang dalam tahun 1965/1966 oleh tindakan-tindakan para pendiri Orde Baru/GOLKAR dan juga pemenjaraan ratusan ribu orang tidak bersalah lainnya (harap catat : tanpa pengadilan!), maka terasa menjulang tinggi pulalah keagungan kenegarawanan Bung Karno. Patut sekali kita catat bersama, bahwa di bawah kepemimpinannya, para pendukung atau simpatisan pembrontakan RMS, Kahar Muzakkar, Andi Azis, DI-TII, PRRI-Permesta tidak mengalami perlakuan sekejam yang dialami oleh orang-orang (yang tidak bersalah apapun!) yang dituduh atau dicap sembarangan sebagai “terindikasi” tersangkut G-30S. Hanya sejumlah kecil pentolan-pentolan atau gembong-gembong gerakan-gerakan pembrontakan itulah yang dijatuhi hukuman setimpal atau menurut hukum. Dan ketika Masyumi dan PSI dinyatakan dilarang pun, maka anggota-anggotanya juga tidak dipersekusi seperti yang dialami para anggota atau simpatisan PKI. Padahal, sejarah sudah membuktikan bahwa pembrontakan PRRI-Permesta (yang mendirikan pemerintahan tandingan, dengan bantuan CIA) telah melakukan pengkhianatan terhadap Republik Indonesia secara besar-besaran.

100 TAHUN UNTUK BAYAR UTANG LUAR NEGERI

Sekarang, ketika banyak tokoh-tokoh Orde Baru/GOLKAR satu per satu mulai antri dalam deretan orang-orang yang harus diperiksa kejahatan mereka karena menjadi maling kekayaan negara dan rakyat, maka juga nyata sekalilah betapa besar kerusakan moral di kalangan “elite” yang telah menyeret negara dan rakyat dalam jurang krisis ekonomi yang berkepanjangan dan parah sekali dewasa ini.

Banyak pakar ekonomi Indonesia (dan asing) meramalkan bahwa kesulitan ekonomi Indonesia tidak akan mudah dipecahkan dengan segera. Bahkan ada pakar-pakar yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia membutuhkan waktu sekitar 100 tahun guna mengembalikan utang luarnegeri yang dewasa ini mencapai sekitar 145 milyar dolar AS (bulan April 2001), atau setiap penduduk mendapat beban utang Rp 10,5 juta. Luar biasa! Utang luarnegeri tidak mendatangkan keuntungan bagi rakyat banyak. Utang luarnegeri yang sebesar itu hanya menguntungkan sejumlah konglomerat hitam dan pejabat-pejabat korup yang tidak bermoral. Adalah ketidak-adilan yang keterlaluan, kalau rakyat (dan generasi yang akan datang) harus menanggung beban begitu berat, sedangkan utang yang begitu besar itu hanyalah menguntungkan sejumlah kecil orang-orang yang mempersetankan kepentingan negara dan bangsa.

Karena itu, baik juga kita renungkan hal yang berikut : Ketika Bung Karno digulingkan, utang luarnegeri pemerintah RI adalah sekitar 2 milyar dolar AS. Itu pun sebagian terbesar adalah untuk membiayai perlengkapan angkatan perang, dan pengeluaran-pengeluaran yang ada sangkut-pautnya dengan konfrontasi Malaysia dan pembebasan Irian Barat. Jadi, utang itu tidak disebabkan oleh perbuatan-perbuatan kriminal atau tidak bermoral seperti halnya yang dilakukan para “tokoh-tokoh” Orde Baru (baik sipil maupun militer, termasuk para konglomerat hitam).

Selama puluhan tahun banyak tokoh Orde Baru/GOLKAR telah menikmati (melalui berbagai cara yang tidak sah) utang luarnegeri Republik Indonesia itu. Cerita tentang adanya “kebocoran” dana untuk anggaran pembangunan sebesar 30% setiap tahun sudah berkali-kali kita dengar selama ini. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela selama Orde Baru adalah sudah sedemikian parahnya sehingga sampai sekarang pun masih sulit untuk diberantas dengan cepat dan secara tuntas. Kasus BLBI, kasus Bank Bali, kasus “larinya” Tommy, hiruk-pikuk tentang Ginanjar dan Prayogo Pangestu, di “Nusakambangkan”-nya Bob Hasan hanyalah secuwil saja dari segunung masalah KKN yang perlu dibongkar terus.

Masalah korupsi berhubungan erat dengan masalah moral, sedangkan moral punya pengaruh juga terhadap kehidupan politik. Korupsi dan kerusakan moral politik inilah yang dewasa ini terasa sekali sedang melanda kalangan “elite” negeri kita, yang termanifestasi, antara lain, dalam hiruk-pikuk tentang perlunya Presiden Abdurahman Wahid turun dari kedudukannya sebagai kepala negara. Sejarah telah mulai membuktikan, bahwa para pendukung setia Orde Baru adalah pada hakekatnya, atau pada intinya, golongan yang tidak mungkin akan mendatangkan kebaikan apa pun bagi bangsa dan negara. Bahkan, sebaliknya. Tentang hal ini, perkembangan situasi di kemudian hari pastilah akan membuktikannya lebih jelas lagi.

HIDUPKAN KEMBALI AJARAN-AJARAN BUNG KARNO!

Kita semua selama ini telah menyaksikan bahwa sesudah Bung Karno digulingkan, ternyata para pendiri Orde Baru/GOLKAR (dan juga pendukung-pendukung setianya), tidak mampu menyajikan kepada bangsa kita konsep-konsep besar di bidang pembangunan bangsa (nation building) dan juga pendidikan watak bangsa (character building). Bahkan, gagasan-gagasan besar Bung Karno dalam bidang ini telah diusahakan untuk dimatikan. Padahal justru bidang inilah yang sejak puluhan tahun telah diusahakannya dengan susah payah, termasuk dengan darah dan air-mata oleh para perintis kemerdekaan lainnya.

Ini wajar, sebab Orde Baru/GOLKAR yang dibangun dengan dasar-dasar moral yang tidak luhur, tentu saja tidak mungkin melahirkan konsep-konsep besar mengenai bangsa. Kalaupun sejumlah konsep di di bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan telah diciptakan selama Orde Baru, maka ternyata dalam praktek bahwa konsep-konsep itu hanya bertujuan untuk memperkokoh sistem kekuasaan otoriter, dan bukan demi kepentingan rakyat banyak. (Untuk sekedar menyegarkan ingatan kita bersama: Secara terus-menerus pernah dikumandangkan semboyan-semboyan bagus seperti : Trilogi Pembangunan, Delapan Jalur Pemerataan, membudayakan ideologi Pancasila, Eka Prasetya Pancakarsa, mentrapkan “Demokrasi Pancasila secara konsekwen” dan segala macam semboyan atau berbagai “gerakan” lainnya).

Tetapi, pengalaman selama puluhan telah membuktikan bahwa Orde Baru bukan saja telah mengebiri Pancasila, melainkan juga telah menyalahgunakannya untuk melakukan praktek-praktek yang justru bertentangan sama sekali dengan jiwa atau tujuan Pancasila. Apa yang dilakukan oleh Orde Baru selama lebih dari 32 tahun adalah bertolak-belakang dengan konsep-konsep besar Bung Karno. Kalau kita baca kembali pidato-pidato Bung Karno, antara lain : “Jalannya revolusi kita” (Jarek), “Revolusi-Sosialisme Indonesia –Pimpinan Nasional” (Resopim), “Tahun Kemenangan” (Takem), “Genta Suara Republik Indonesia” (Gesuri), “Tahun Vivere Pericoloso” (Tavip), maka jelaslah bahwa Orde Baru telah menentang ajaran-ajaran Bung Karno.

Kalau diperas, atau dirumuskan secara tajam, maka bisalah kiranya dikatakan bahwa dengan menentang ajaran-ajaran Bung Karno ini, pada hakekatnya Orde Baru telah mengkhianati kepentingan rakyat dan bangsa. Apa yang sedang disaksikan oleh bangsa kita dewasa ini adalah bukti-bukti nyata dari akibat parah pengkhianatan ini.

Oleh karena itulah, ketika sekarang ini bangsa dan negara kita sedang kehilangan pedoman, dan sedang menghadapi kekosongan kepemimpinan moral, maka perlu sekali ajaran-ajaran besar Bung Karno diangkat atau dikenang kembali. Ketika banyak orang di negeri kita sedang bingung atau putus asa menghadapi situasi yang penuh pertentangan (agama, suku, ras, golongan politik dll) maka “jiwa” atau “saripati” ajaran Bung Karno masih tetap berguna untuk dipakai sebagai pegangan bersama.

Ajaran-ajaran Bung Karno berguna untuk direnungkan bersama dimana-mana, baik di Poso, Sampit, Bengkulu, Payakumbuh, Meulaboh, Medan, Banyuwangi, Purwokerto, Garut, maupun di Menado atau di tempat-tempat lainnya. Mengenang kembali dan menghayati sejarah perjuangan Bung Karno adalah salah satu cara bagi bangsa kita untuk menemukan kembali jalan yang benar.

Paris, 30 April 2001

BELAJAR DARI PANDANGAN BUNG KARNO
TENTANG MARXISME

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO (11)

(Oleh :A. Umar Said )

Mohon diperkenankanlah hendaknya, bahwa tulisan kali ini, di samping disajikan kepada para pembaca, dimaksudkan juga sebagai surat terbuka yang bersisi curahan-hati dan imbauan kepada para pimpinan dan kader-kader Nahdatul Ulama, Muhammadiayah, Majlis Ulama Indonesia, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Golkar, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan, Partai Nahdatul Umat, Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan juga partai-partai lainnya yang tidak disebutkan (karena terlalu panjang!). Juga mohon diperbolehkan kiranya, sebagai seruan atau ajakan kepada para pimpinan pondok pesantren dan berbagai organisasi Islam, untuk merenungkan hal serius yang berikut :

Menurut berita yang sudah tersiar di luarnegeri, sejak beberapa hari ini toko-toko buku Gramedia, baik yang di Jakarta maupun yang di kota-kota lain, terpaksa menarik dari peredaran buku-buku yang mengandung ajaran Marxisme, komunisme atau ajaran-ajaran kiri lainnya. Sekitar 30 judul buku sudah dihilangkan dari rak-rak penjualan, termasuk buku karya pengarang ternama Pramoedya Ananta Toer, filosuf Frans Magnis Suseno dan pengamat politik Hermawan Sulistyo. Langkah ini telah diambil oleh pimpinan Gramedia, karena ada ancaman dari Aliansi Anti Komunis dan Gerakan Pemuda Islam bahwa mereka akan menyerbu toko-toko buku Gramedia dan membakari buku-buku yang berbau kiri.

Menurut pimpinan Gerakan Pemuda Islam (GPI), sekitar 36 000 anggota GPI Jakarta Raya akan melancarkan aksi-aksi terhadap toko-toko terkemuka di Jakarta pada tanggal 20 Mei yad, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Aksi ini untuk menunjukkan komitmen mereka dalam menentang komunisme. Gramedia mempunyai 42 cabang di seluruh negeri, dan 16 di antaranya terdapat di Jakarta. (kutipan dari Jakarta Post 3 Mei 2001).

(Catatan : tulisan ini bebas untuk diteruskan kepada siapa saja.)

Apa yang terkandung dalam berita tersebut di atas patutlah kiranya mendapat perhatian yang serius dari para tokoh-tokoh dari berbagai kalangan Islam. Sebab, kalau rencana aksi tersebut jadi dilaksanakan juga, maka akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan siapa saja. Sebaliknya, aksi-aksi semacam itu akan merugikan kita semua sebagai bangsa, dan juga akan bisa merugikan citra Islam sebagai keseluruhan, walaupun hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari kalangan Islam. Marilah persoalan ini sama-sama kita telaah dari berbagai segi, demi kepentingan kita semua.

Selama ini, citra Indonesia sudah sangat buruk di arena internasional, sebagai akibat begitu banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan secara besar-besaran oleh rezim militer Orde Baru/GOLKAR selama puluhan tahun (harap ingat, antara lain : pembunuhan massal jutaan orang tidak bersalah dalam tahun 65/66, penahanan terhadap orang-orang tidak bersalah selama puluhan tahun, perlakuan terhadap para eks-tapol beserta keluarga mereka, dimatikannya demokrasi, kasus Timor-Timur dll). Citra yang sejak lama sudah buruk ini, akhir-akhir ini masih, dan makin, diperburuk lagi dengan adanya permusuhan berdarah antar-agama atau antar-suku. Di samping itu, masalah korupsi besar-besaran yang begitu banyak dilakukan oleh para tokoh Orde Baru/GOLKAR (yang kebanyakan juga mengaku beragama Islam!) menambah juga buruknya citra bangsa kita sebagai keseluruhan. Bagi banyak orang Indonesia yang tinggal di luarnegeri, masalah ini terasa sekali.

Oleh karena itu, adalah kewajiban kita bersama (terutama bagi tokoh-tokoh Islam) untuk melakukan pekerjaan pendidikan, penjelasan, atau “peringatan” terhadap golongan-golongan yang sehaluan (atau sealiran fikiran) dengan Aliansi Anti Komunis dan GPI supaya rencana aksi mereka itu jangan sampai dilaksanakan. Sebab, pada hakekatnya, dengan ditariknya buku-buku kiri dari peredaran bukanlah berarti “kemenangan” bagi mereka (dan golongan-golongan yang sefikiran dengan mereka). Bahkan sebaliknya. Tindakan-tindakan ini, atau tindakan dalam bentuk lainnya yang senafas, menunjukkan kwalitas rendah jati diri pelaku-pelakunya (dan organisatornya atau para sponsornya!!!). Ancaman, teror, tekanan, apalagi aksi kekerasan yang serupa, bukanlah sesuatu yang bisa membikin citra Islam menjadi lebih baik. Bahkan sebaliknya. Padahal, perbuatan semacam itu hanyalah ulah segolongan kecil orang-orang yang menamakan diri mereka Islam.

Mengingat itu semuanya, alangkah menyedihkannya, kalau para tokoh Islam (atau tokoh dari golongan atau kalangan yang manapun!) membiarkan saja adanya gejala-gejala yang semacam itu. Lebih-lebih lagi, kalau mereka senang atau menyetujuinya. Sebab, kalau memang demikian halnya, maka akan lebih kelihatanlah betapa parahnya “kekerdilan” jiwa para tokoh-tokoh itu. Kekerdilan atau kepicikan cara berfikir para “elite” demikian itu adalah kerugian bagi bangsa dan negara kita. Juga kerugian bagi citra Islam.

PENGHINAAN TERHADAP HARI KEBANGKITAN NASIONAL

Ancaman oleh Aliansi Anti Komunis dan Gerakan Pemuda Islam untuk menyerbu, atau membakar, atau melarang peredaran buku-buku “kiri” itu saja sudah patut menjadi bahan renungan serius kita bersama. Apalagi, ditambah pula bahwa aksi itu akan dilakukan pada Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, hari bersejarah KITA SEMUA. Padahal, sesuai dengan jiwa dan namanya, Hari Kebangkitan Nasional adalah, selama ini, merupakan hari mulia bagi semua komponen bangsa, semua suku, semua agama dan kepercayaan, semua ras, dan semua aliran politik, yang terdapat di Indonesia.

Kalau kita tengok ke belakang, nyatalah bahwa sejarah kebangkitan nasional kita adalah suatu rentetan panjang perjuangan. (Ma’af, bahwa dalam tulisan ini diulangi lagi hal-hal yang sudah dikemukakan dalam tulisan terdahulu, supaya lebih jelas lagi). Rentetan ini yang dimulai oleh lahirnya Boedi Oetomo dalam tahun 1908, telah diteruskan, telah dipupuk dan dikembangkan oleh banyak orang dari berbagai golongan dan aliran. Kita ingat kepada Sarekat Dagang Islam (1911) yang dipimpin oleh Haji Samanhudi. Kepada Sarekat Islam (1912) yang dipimpin oleh Haji O.S.Tjokroaminoto. Kepada Sarekat Islam merah (Semarang) yang dipimpin oleh Semaun, Alimin dan Darsono. Kepada Sarekat Islam putih (Yogyakarta) yang dipimpin oleh H. Agus Salim, Abdul Muis dan Suryopranoto. Kepada Indische Partij (1912) yang dipimpin oleh Dr Douwes Dekker (Dr Setiabudhi), Suwardi Suryaningrat dan Dr Tjiptomangunkusumo. Kepada Muhammadiyah (lahir di Yogyakarta, tahun 1912) yang dipimpin oleh Haji Ahmad Dahlan.

Proses kebangkitan nasional ini kemudian diteruskan oleh lahirnya PKI (1920), yang juga dipimpin oleh Semaun, dan disambung oleh pembrontakan PKI melawan pemerintahan kolonial Belanda dalam tahun 1926 dan 1927. Lahirnya Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda dalam tahun 1922, yang tokoh-tokohnya adalah Moh.Hatta, Nazir Datuk Pamuncak, Abdulmadjid Djoyodiningrat, Ali Sastroamidjoyo juga merupakan mata-rantai kebangkitan nasional bangsa. Lahirnya PNI tahun 1927 di bawah pimpinan Bung Karno adalah peristiwa besar dalam proses kebangkitan nasional bangsa kita, yang diiringi oleh peristiwa besar lainnya, yaitu Sumpah Pemuda (1928).

Mengingat sejarah Kebangkitan Nasional yang demikian itu, maka terasa sekalilah betapa besar penghinaan aksi yang direncanakan oleh Aliansi Anti Komunis dan Gerakan Pemuda Islam dengan “menggerebeg” toko-toko buku yang mengedarkan penerbitan-penerbitan yang berhaluan kiri atau bercorak komunis dan Marxis, pada hari yang kita muliakan bersama itu. Dari segi inilah kita bisa melihat betapa parahnya akibat buruk yang ditimbulkan oleh ketetapan MPRS 25 tahun 1966, yang telah dipaksakan oleh rezim Orde Baru/GOLKAR.

Dalam kaitan ini, adalah amat penting bagi kita semua (termasuk mereka yang sehaluan dengan Aliansi Anti Komunis dan GPI) berusaha menelaah dengan jernih dan nalar sehat, mengapa para pendiri rezim Orde Baru (khususnya pimpinan TNI-AD, waktu itu) memaksakan dikeluarkannya TAP MPRS 25/1966 itu, dan apa pula akibat-akibatnya bagi bangsa kita. Tanpa merentang-panjangkan lagi persoalannya (dalam tulisan ini) maka jelaslah bahwa TAP MPRS itu telah digunakan untuk menghancurkan PKI beserta seluruh kekuatannya yang terhimpun dalam berbagai organisasi massa. Walaupun jutaan simpatisan, anggota, atau yang dituduh anggota PKI sudah dibunuhi dan ratusan ribu lainnya dipenjara dalam jangka panjang sekali, mereka (para pendiri Orde Baru/GOLKAR) masih menginginkan supaya dengan ketetapan MPRS 25/1966 itu semua orang tidak berani mencoba-coba lagi untuk “menghidupkan” kembali PKI.

Selama lebih dari 32 tahun (sampai sekarang!!!) TAP MPRS 25/1966 ini telah dijadikan alat terror yang luar biasa ganasnya. Sebagai akibatnya, bukan hanya keluarga atau simpatisan PKI saja yang merasa dipersekusi, tetapi juga orang-orang lain (yang non-PKI) dalam masyarakat. Ditambah dengan kampanye dan peraturan “bahaya laten PKI”, “bersih lingkungan”, “surat bebas G30S”, maka seluruh negeri telah diterror secara mental. Indoktrinasi “PKI jahat” itu yang dilancarkan oleh Orde Baru secara intensif sekali, - lewat berbagai cara dan dalam jangka lama - telah meracuni fikiran banyak orang di berbagai golongan, baik di kalangan pejabat, kalangan agama, maupun kalangan pelajar dan pemuda.

Kalau kita telaah pengalaman bangsa kita selama Orde Baru, nyata sekalilah bahwa penyebaran racun “PKI jahat” ini adalah tindakan yang tidak berperi-kemanusiaan, yang telah membikin kesengsaraan bagi banyak sekali orang. Banyak sekali anggota keluarga para korban 65 dan keluarga eks-tapol yang mengalami berbagai penderitaan yang berkepanjangan. Padahal, banyak di antara mereka itu yang juga beragama Islam. Adalah suatu hal yang patut menjadi pemikiran bagi para tokoh-tokoh Islam mengapa keadaan yang menyedihkan ini dibiarkan saja. Apalagi, kalau diingat bahwa perlakuan yang begitu kejam itu dilakukan (atau didukung) oleh kalangan “elite” kita (termasuk, bahkan terutama, “elite” yang menamakan diri Islam).

BELAJAR DARI SEJARAH BUNG KARNO

Oleh karena aksi Aliansi Anti Komunis dan GPI itu direncanakan akan dilaksanakan dalam rangka Hari Kebangkitan Nasional dan juga menjelang akan dirayakannya HUT ke-100 Bung Karno, maka ada baiknya kita melihat persoalan ini dari sudut pengalaman sejarah Bung Karno. Sebab, agaknya, bangsa kita perlu terus-menerus ingat bahwa Bung Karno, sebagai tokoh nasionalis yang berorientasi politik kiri, telah memimpin perjuangan bangsa sejak muda (sampai menjelang akhir hayatnya) dengan gagasan besar mempersatukan seluruh bangsa atas dasar persatuan golongan nasionalis, agama dan komunis (Marxis). Tulisannya dalam Suluh Indonesia Muda (1926) ketika ia masih berumur 25 tahun (!) - dan sebelum mendirikan PNI (1927) - sudah menggambarkan dengan jelas konsepnya ini. Konsep besarnya inilah yang kemudian telah membimbingnya dalam memimpin perjuangan bangsa, sampai ia menjadi kepala negara. Konsep besarnya inilah yang juga dituangkannya dalam memperkenalkan Marhaenisme (sekitar tahun 1930), yang merupakan ekspressi : Ketuhanan Yang Maha Esa, Socio-nasionalisme dan Socio-demokrasi.

Dalam berbagai kesempatan, Bung Karno telah mengungkapkan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang ditrapkan atau disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Dinyatakannya juga berkali-kali bahwa ia adalah seorang sosialis, seorang kiri, seorang Muslim yang menggunakan materialisme-histori dalam memandang persoalan-persoalan sejarah dan masyarakat. Agaknya, dasar-dasar pemikirannya ini pulalah yang bisa menunjukkan mengapa Bung Karno sejak muda sudah menghubungkan soal perjuangan bangsa Indonesia dengan perjuangan bangsa-bangsa lain.

Dalam tulisannya “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” dalam Suluh Indonesia Muda itu (1926) ia sudah menegaskan bahwa “nyawa pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat, yaitu NASIONALISTIS, ISLAMISTIS DAN MARXISTIS” (ungkapan dalam bahasa Belanda. Pen). Dinyatakannya di situ bahwa “Partai Boedi Oetomo, Nationaal Indische Partij, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia dan masih banyak partai-partai lain … itu masing-masing mempunyai roh Nasionalisme, roh Islamisme, atau roh Marxisme”. Juga dinyatakannya :” Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita yalah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu”.

Bagi mereka yang belum pernah membaca tulisannya itu (terutama bagi berbagai tokoh partai atau berbagai organisasi, baik yang Islam maupun yang lainnya) adalah sangat berguna untuk bisa membacanya dengan cermat, dan, sedapat mungkin, juga menghayatinya. Tulisannya itu, merupakan karya pemikirannya yang cemerlang. Di dalamnya, ia dengan cukup jelas membahas masalah nasionalisme, masalah Islam, masalah Marxisme.

TAP MPRS 25/1966 JUGA UNTUK MENGHANCURKAN BUNG KARNO

Aspek yang jarang terfikir oleh banyak orang adalah bahwa TAP MPRS 25/1966 adalah juga salah satu cara untuk menghancurkan sejarah dan ketokohan Bung Karno. Hal-hal yang dikemukakan berikut mungkin bisa merupakan bahan bagi pemikiran kita bersama :

- Pimpinan TNI-AD mengetahui (waktu itu) bahwa PKI adalah pendukung yang besar (dan aktif) terhadap politik Bung Karno sejak tahun-tahun 50-an, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah dalamnegeri maupun luarnegeri. Dan sesuai dengan perkembangan situasi nasional dan internasional waktu itu, dukungan PKI kepada Bung Karno juga makin lama makin membesar. Para pakar sejarah, atau pengamat politik yang cermat, tentunya ingat bahwa Bung Karno, sebagai nasionalis kiri dan revolusioner memang sejak muda sudah menjadi musuh kolonialisme Belanda dan kemudian (sejak tahun 1950) juga sudah “diincar” oleh imperialisme Barat, terutama AS dan Inggris.

- Berbagai data, bukti, analisa, yang dibikin oleh ahli-ahli Barat telah membongkar bahwa dalam rangka “perang dingin”, Bung Karno memang sudah sejak lama harus dilawan, dikalahkan, bahkan “dihancurkan” baik oleh musuh-musuhnya di dalamnegeri maupun luarnegeri. Antara lain, buku “Plot TNI AD-Barat di balik tragedi ‘65”, yang diterbitkan bersama-sama oleh LSM Tapol, MIK, dan Solidamor (Juli 2000), sudah menyajikan sebagian dari bahan-bahan tentang latar-belakang digulingkannya Bung Karno. Buku ini merupakan kumpulan penting tulisan ahli dan peneliti terkenal, umpamanya : Coen Holtzappel, W.F. Wertheim, David Johnson, Kathy Kadane, Ralp McGehee, Mark Curtis, Mike Head (mengenai peran kekuatan asing dalam penggulingan Bung Karno ini ada catatan tersendiri. Pen).

- Bung Karno sudah terang-terangan menyatakan diri sebagai seorang Muslim yang menggunakan cara berfikir marxis, dan Marhaenisme dinyatakannya sebagai pentrapan Marxisme dalam kondisi kongkrit Indonesia. Di samping itu Bung Karno telah mencetuskan gagasan NASAKOM, dan kemudian juga memimpin untuk dilaksanakannya konsepsinya ini di berbagai bidang. Oleh karenanya, dalam rangka inilah TAP MPRS 25/1966 juga berfungsi untuk menghancurkan ketokohan Bung Karno dalam sejarah bangsa kita. Dengan melarang Marxisme, secara langsung atau tidak langsung ajaran-ajaran Bung Karno juga menjadi “terlarang”, selama lebih dari 32 tahun. Karenanya, dalam jangka yang lama sekali semasa Orde Baru, banyak orang tidak berani bicara atau menulis tentang Marhaenisme atau tentang Bung Karno.

* * *

Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka makin jelaslah kiranya, mengapa para pendiri Orde Baru/GOLKAR telah menggulingkan Bung Karno, dan mengapa pula para pendukung setia Orde Baru terus-menerus selama puluhan tahun berusaha merusak citranya sebagai pemimpin bangsa. Juga, makin jelas mengapa kekuatan-kekuatan asing (terutama AS dan Inggris) berkepentingan sekali untuk ikut aktif menggulingkannya, sebagai bagian dari pergolakan "perang dingin" waktu itu. Dan, untuk tujuan itu, maka PKI sebagai pendukungnya yang besar, haruslah dihancurkan terlebih dulu. Penghancuran PKI telah melapangkan jalan bagi penghancuran Bung Karno, baik secara fisik maupun secara politik.

Sebagai akibat dihancurkannya kekuatan PKI dengan cara-cara yang luar biasa ganasnya, Orde Baru/GOLKAR juga telah dengan mudah melumpuhkan seluruh kekuatan pendukung Bung Karno lainnya, terutama para pendukung Marhaenisme. Gagasan besar Bung Karno yang diidam-idamkannya sejak umur 25 tahun, yaitu NASAKOM, dihabisi oleh Orde Baru. Dengan dilumpuhkannya kekuatan pendukung Bung Karno dalam jangka yang begitu lama, maka bangsa kita telah mengalami kemunduran dan kerusakan yang besar di berbagai bidang. Persatuan dan kerukunan nasional menjadi tercabik-cabik, Pancasila telah dirusak, KKN merajalela, agama telah diperalat untuk tujuan-tujuan yang tidak luhur, moral di kalangan .atasan. sudah makin membusuk, hukum diperjual-belikan, kepentingan "rakyat kecil" diabaikan.

Sekarang, banyak di kalangan rakyat melihat sendiri, bahwa sebagian besar di antara para pendiri Orde Baru/GOLKAR ( yang memusuhi ajaran-ajaran Bung Karno dan menggulingkannya), ternyata bukanlah tokoh-tokoh yang terhormat atau patut dihormati oleh rakyat. Sebaliknya, sekarang banyak orang mulai melihat (lagi!) sosok Bung Karno sebagai pemimpin rakyat yang sebenarnya. Perjalanan waktu di kemudian-hari pasti akan lebih menunjukkan lebih jelas lagi bahwa ia memang seorang tokoh yang patut menjadi kebanggaan kita bersama.

Paris, 6 Mei 2001

Tidak ada komentar: